NOVEL ini memang bukan novel baru. Masa booming-nya sudah lewat. Namun, percayalah. Pesan moral yang dikandungnya tidaklah menguap, tersebab lewatnya masa booming itu.
Aku pun tidak barusan usai menuntaskannya. Hanya saja, baru sekarang diriku sempat untuk mengulasnya. Tapi tidak menjadi soal 'kan? Rencanaku untuk mengulas sudah dari dulu. Sejak usai membacanya. Tapi ternyata, takdir terwujudnya baru sekarang.
Iya, takdir. Takdir itu pula yang membawa Alif (tokoh utama novel ini) merantau ke Jawa, dari tanah kelahirannya di Maninjau (Sumbar). Yakni sebuah perantauan yang di luar rencana cita-citanya. Namun rupanya, justru perantauan tersebut yang menjadi titik awal dari warna hidupnya di masa depan.
Di bawah kekuatan mantra man jadda wajada, Alif akhirnya sampai pada titik-titik terindah dari cita-cita masa mudanya. Tentunya setelah melewati banyak kesulitan dan proses belajar yang tak mudah.
Demikian inti dari Negeri 5 Menara yang ditulis berdasarkan kisah nyata. Tepatnya kisah nyata si penulisnya, Ahmad Fuadi. Yeah! Sebuah kisah yang menyenangkan secara komplet. Nakal-nakal masa remajanya ada. Serius-seriusnya dalam belajar juga ada.
Dan yang jelas, Negeri 5 Menara membuat pembaca awam (seperti diriku ini) jadi memahami sistem belajar di pondok pesantren. Bahkan bagiku pribadi, novel ini sukses bikin diriku menyesal berat: mengapa dulu tak berusaha mencari jodoh lulusan ponpes, ya? Eh! Maksudku, mengapa dulu aku tidak menjadi anak ponpes saja? #cengarcengirdotcom
O, ya. Pesan moral Negeri 5 Menara sangat perlu didengarkan oleh seluruh insan muda negeri ini. Supaya mereka berani bercita-cita setinggi langit sap ketujuh. Simaklah: Tuhan sungguh Maha Mendengar. Maka jangan pernah meremehkan sebuah impuan yang semustahil apa pun kedengarannya. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Jadi rekan-rekan mudaku yang ada di sana dan di mana saja, yuk ah... mari bermimpi yang setinggi-tingginya. Lalu, berusaha sekeras-kerasanya untuk mewujudkannya. Setuju?
Secara umum novel ini kuberi acungan jempol. Terkhusus pada poin inspiratifnya. Lagi pula, gaya penuturannya lumayan enak. Tambahan informasinya pun amat menarik minatku. Alhasil, membaca buku setebal lebih dari 400 halaman ini pun tak terasa membosankan.
Eh? Kalian belum pernah membacanya? Aih, rugi lah ya... kalau tak baca buku keren ini. Usai menyimak ulasanku ini segera ke perpustakaan untuk meminjamnya, ya. Bahkan akan jauh lebih keren kalau ke toko buku, baik online maupun offline, untuk membelinya. Haha!
Negeri 5 Menara, A Fuadi, GPU, Cetakan kesebelas 2011 |
Wahh saya belum baca, hehe. 400 halaman sehari habis mbak?
BalasHapusenggaakk laah yaaaa.... 400 halaman itu aku cicil, totalnya seminggu baru kelar :)
Hapusini ada kelanjutannya gak sih, kok kayak berseri gitu bukunya :D
BalasHapusiyaa, ada...trilogi jadinya. setelah ini ada dua lainnya.
Hapuswah ... menarik ni cerita novelnya
BalasHapusiya, sangat menarik. Plus sangat bermanfaat.
HapusBaru nonton filmnya aja, belum baca novelnya hehe..
BalasHapusohhh gitu ya, Mbak? klo aku seringnya ketinggalan buat nonton pelemnyaah...hehehe...
HapusKeren mbak buku yg inspiratif, buat orangtua yang ragu menyekolahkan anak ke pondok wajib baca biar melek apa itu pondok
BalasHapusKeren mbak buku yg inspiratif, buat orangtua yang ragu menyekolahkan anak ke pondok wajib baca biar melek apa itu pondok
BalasHapusKeren mbak buku yg inspiratif, buat orangtua yang ragu menyekolahkan anak ke pondok wajib baca biar melek apa itu pondok
BalasHapusyoi, Mbak.... apalagi buku ditulis oleh "orang dalam" dan sekaligus penulisnya telah membuktikan bahwa dirinya tetap bisa mendunia sekalipun bermula dari ponpes. Terima kasih atas kunjungannya.
Hapus