Merapi Membawa Mbah Maridjan

LEBIH kurang satu bulan tak kutengok blog ini. Bukan apa-apa. Soalnya memang ada banyak hal yang menyebabkannya. Merapi? Itu pasti. Ada banyak korban, banyak pengungsi. Bahkan hujan abu pun sampai di sini, di tempatku berdomisili, kira-kira 40 km dari puncak Merapi. Konon, inilah letusan terdahsyat sejak 1800-an...tepatnya aku lupa...he...he...

Ya, ya. Karena Merapi aku bisa merasakan pengapnya hujan abu; kembali disadarkan bahwa sebuah gunung memiliki dua sisi, yakni sejuk-indah-subur dan garang. Yeah... Merapi juga gunung biasa: bisa garang!

Hujan abu memang bikin repot. Apalagi untuk urusan-urusan di luar ruangan. Dada terasa sesak, muka panas, kering... walaupun sudah bermasker. Namun, sejujurnya excited juga. Ya, aku merasakannya demikian. Kata Budhi Margono, "Ini kan momentum zaman!"  Yap! Setuju banget aku dengan pendapatmu, Pak. Beruntunglah kita punya kesempatan menjadi saksi dari momentum zaman itu. Bukankah tak semua generasi bisa menjadi saksi?

Begitulah Merapi yang tahun ini membawa pergi sang juru kunci, Mbah Maridjan. Di letusan pertamanya pada 26 Oktober 2010...

Kisah duka acap kali bersisian dengan bahagia. Tetapi bagiku, kali ini duka Merapi bersisian dengan kisah lucu dari putriku. Gara-gara hujan abu dia harus bermasker ketika pergi ke sekolah... Wah, senang bukan main dia! Kayak Ipin dan Upin...komentarnya. He... he.. dasar anak-anak.

Kini, Merapi kembali tenang. Jogja mulai beranjak normal. Tapi belum semua pengungsi pulang, kembali membangun kehidupan....