Resume buku Gadis Pantai
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara (Jakarta)
ISBN: 979-97312-8-5
Cet th: 2003
Hlm: 272
--------------------------------------
--------------------------------------
COVER depan buku ini sudah berbicara banyak. Di cover tersebut terdapat gambar tiga sosok: dua pria dan seorang wanita. Ketiganya sama-sama berpakaian adat Jawa, tetapi tampak jelas adanya perbedaan kasta di situ. Yang dua orang dari golongan priyayi (bendoro), yang seorang dari golongan proletar (sahaya). Sang wanita merupakan bendoro. Pakaian, gelang di kedua tangan, giwang, dan kalung dengan gamblang telah menjelaskannya. Namun yang terasa kontradiktif, dia duduk di bale-bale bambu di sebuah gubug reyot tepi pantai. Hmmm, siapakah sebenarnya dia? Seorang bendoro (putri) tulen ataukah seseorang yang berasal dari rakyat kebanyakan?
Sementara kedua sosok pria yang berdiri jelas merupakan bendoro dan sahaya. Sang bendoro dengan blangkon, baju surjan, bawahan kain batik, selop, dan tongkat berjalan tampak berdiri dengan sikap angkuh. Adapun sahaya laki-laki di belakangnya terlihat sedang memayungi sang bendoro. Cara berpakaian sahaya itu tentu saja berbeda dengan bendoronya. Ia hanya mengenakan sarung, baju lengan panjang yang tak dikancingkan, ikat kepala/udeng (bukan blangkon), dan tanpa alas kaki.
Selain berbeda cara berpakaian, keduanya juga berbeda dalam ekspresi wajah. Lihat saja tatap mata sang bendoro. Dilengkapi dengan kumis tebal yang melengkung di atas bibir yang sedikit merengut, sang bendoro terkesan angkuh dan sinis memandang dunia. Berlainan dengan tatap mata si sahaya yang justru tertuju ke arah bawah, sedikit terlihat kosong, seolah mencerminkan kepasrahan abadi seorang rakyat jelata atas nasib yang diterimanya.
Selain berbeda cara berpakaian, keduanya juga berbeda dalam ekspresi wajah. Lihat saja tatap mata sang bendoro. Dilengkapi dengan kumis tebal yang melengkung di atas bibir yang sedikit merengut, sang bendoro terkesan angkuh dan sinis memandang dunia. Berlainan dengan tatap mata si sahaya yang justru tertuju ke arah bawah, sedikit terlihat kosong, seolah mencerminkan kepasrahan abadi seorang rakyat jelata atas nasib yang diterimanya.
Ya, ya. Demikianlah cover depan GADIS PANTAI. Gambarnya telah mengilustrasikan isi buku secara tepat. Seorang gadis belia tiba-tiba direnggut dari kehidupannya yang sederhana; dari sebuah kampung nelayan miskin ke dalam kehidupan yang lebih complicated -- yaitu kehidupan di dalam tembok rumah kaum priyayi-santri penganut feodalisme tulen. Ia dijadikan sebagai istri percobaan alias gundik oleh seorang pembesar setempat, yakni seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Kasarnya, ia bertugas melayani kebutuhan seks sang pembesar hingga kemudian pembesar tersebut memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat.
Apa hendak dikata? Pada waktu itu (maksudnya saat zaman kolonial Belanda, yakni latar waktu dari kisah ini) ada aturan tak tertulis yang membolehkan seorang pembesar Jawa berganti-ganti gundik dengan mudah. Begitu suka dengan seorang gadis, maka begitu saja sang pembesar akan mengambilnya. Tak peduli keluarga si gadis dan si gadis sendiri setuju atau menolak; kemauan sang pembesar mutlak dipenuhi. Begitu pula ketika sang pembesar merasa bosan dengan gundiknya, atau menemukan gundik lain yang lebih memikat hatinya, begitu saja si gundik lama akan dicampakkan. Jangan pertanyakan soal perasaan dan kemanusiaan di sini. Perasaan hanyalah milik penguasa. Rakyat kebanyakan, orang kecil, sahaya... mana boleh punya perasaan?
Walaupun derajat sosial si gadis yang dijadikan gundik naik menjadi Mas Nganten, sesungguhnya kehidupannya justru menjadi terbelenggu. Ia tak lagi bebas mengerjakan sesuatu yang dulu biasa dilakukannya. Misalnya memasak untuk bapaknya yang sedang melaut, bekerja menumbuk tepung.... Begitulah. Kedudukan barunya sebagai bendoro putri sebenarnya tidaklah mendatangkan kebahagiaan. Kalaupun ada sedikit hal yang bisa membuat senang hatinya, itu pun sejenis kebahagiaan semu.
Di awal, begitu saja ia dipisahkan dari kedua orang tua dan kakaknya. Sebab kasta yang telah berbeda, kedua orang tua si gadis pantai pun tak bisa seenaknya menemui sang anak. Yang lebih membuat miris, mereka harus menyebut diri "sahaya" jika anaknya (si gadis pantai itu) memanggil/mengajak bicara. Naifnya, kedua orang tua tersebut --juga para orang tua lain yang bernasib sama-- justru menyikapinya dengan penerimaan yang tulus. Hal itu mereka pandang sebagai suatu kewajaran; sebagai harga yang memang harus dibayarkan demi perbaikan taraf hidup putri mereka; demi meningkatnya kehormatan keluarga di mata orang sekampung.
Amboi! Mereka bahkan lupa bahwa sang bendoro bisa sewaktu-waktu menendang putri mereka sejauh-jauhnya jika telah merasa bosan. Ya, lupa atau sengaja melupakannya sebab mereka toh sebenarnya tak pernah berani berharap untuk menjadi mertua seorang bendoro. Mana mungkin mereka berani menyerahkan anak kepada seorang bendoro jika si anak tidak diminta terlebih dahulu?
Di awal, begitu saja ia dipisahkan dari kedua orang tua dan kakaknya. Sebab kasta yang telah berbeda, kedua orang tua si gadis pantai pun tak bisa seenaknya menemui sang anak. Yang lebih membuat miris, mereka harus menyebut diri "sahaya" jika anaknya (si gadis pantai itu) memanggil/mengajak bicara. Naifnya, kedua orang tua tersebut --juga para orang tua lain yang bernasib sama-- justru menyikapinya dengan penerimaan yang tulus. Hal itu mereka pandang sebagai suatu kewajaran; sebagai harga yang memang harus dibayarkan demi perbaikan taraf hidup putri mereka; demi meningkatnya kehormatan keluarga di mata orang sekampung.
Amboi! Mereka bahkan lupa bahwa sang bendoro bisa sewaktu-waktu menendang putri mereka sejauh-jauhnya jika telah merasa bosan. Ya, lupa atau sengaja melupakannya sebab mereka toh sebenarnya tak pernah berani berharap untuk menjadi mertua seorang bendoro. Mana mungkin mereka berani menyerahkan anak kepada seorang bendoro jika si anak tidak diminta terlebih dahulu?
Namun, pengorbanan si gadis pantai tidak berhenti di situ. Dia masih harus mengorbankan perasaannya selama jadi Mas Nganten. Para kerabat dan keponakan suaminya --yang tinggal menumpang di rumah bendoro-- tak pernah "menganggap" keberadaannya. Mereka selalu meremehkannya; terkait dengan asal-muasalnya. Maka sungguh tidak mudah baginya untuk beradaptasi dan bermetamorfosis dari seseorang yang lugu menjadi seorang Mas Nganten. Apalagi ia berasal dari golongan rakyat miskin yang tak punya akses dalam bidang pendidikan. Berbagai intrik pun dilakukan para kerabat bendoro. Tujuannya jelas, yakni untuk menyingkirkan si gadis pantai.
Akhirnya suatu ketika si gadis pantai mengandung. Selama mengandung, diam-diam ia dilanda resah. Ia merasakan suatu dilema. Di satu sisi ia senang calon anaknya kelak tak menderita kemiskinan seperti dirinya. Di sisi lain, ia sedih memikirkan bahwa kelak si anak yang dilahirkannya akan menjadi musuhnya -- menjadi bendoronya...; yang berarti pula ia turut andil memunculkan seorang bendoro baru, kekuasaan baru, kesewenang-wenangan baru! Selintas harapan kuat juga memenuhi benaknya: ia ingin anaknya laki-laki! Sebab jika anaknya laki-laki, posisinya sebagai Mas Nganten relatif 'aman'.
Hari demi hari pun berlalu. Hingga tibalah saat melahirkan. Dengan bantuan dukun beranak, tanpa dukungan suami, si gadis pantai melahirkan... seorang bayi perempuan. Apa boleh buat? Itulah takdirnya. Harapannya berkebalikan dengan kenyataan yang direngkuhnya. Ia bahagia memandangi putri mungilnya. Ia ingin segera menunjukkan bayi itu kepada ayah kandungnya, yang tak lain adalah sang bendoro. Namun, bendoro yang ditunggu-tunggu tak kunjung menengok. Dukun beranak menghibur gadis pantai dengan mengatakan bahwa mungkin bendoro masih sibuk.
Ketika akhirnya muncul, bendoro hanya berdiri di depan pintu kamar. Itu pun hanya sebentar. Perkataan yang terlontar darinya juga pedas, "Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar? Jadi cuma perempuan?" Begitu saja. Kemudian sang bendoro berlalu tanpa menengok anaknya. Sampai tiga bulan lebih, tak sekalipun bendoro datang menengok. Maka gadis pantai tak lagi merindukannya. Perhatian kini tercurah penuh pada si bayi.
Kemudian, tiba-tiba bapak datang berkunjung. Gadis pantai senang campur heran menyambutnya. Ia pikir bapak hendak menjenguk cucu. Rupanya tidak. Kedatangannya sebab dipanggil bendoro.
Sungguh tak terduga, ibarat petir di siang terik, ternyata panggilan itu bermakna duka-lara. Gadis pantai dikembalikan pada orang tuanya! Itulah sebabnya bapak dipanggil dari kampung. Ya, bapak disuruh membawa pulang gadis pantai yang 'cuma' bisa melahirkan bayi perempuan. Bendoro memberikan segepok uang untuk kompensasi, tetapi bapak dan gadis pantai harus segera angkat kaki dari situ tanpa membawa si bayi. Khusus bagi gadis pantai, ia bahkan tak boleh lagi menginjakkan kaki di kota itu.
Sungguh tak terduga, ibarat petir di siang terik, ternyata panggilan itu bermakna duka-lara. Gadis pantai dikembalikan pada orang tuanya! Itulah sebabnya bapak dipanggil dari kampung. Ya, bapak disuruh membawa pulang gadis pantai yang 'cuma' bisa melahirkan bayi perempuan. Bendoro memberikan segepok uang untuk kompensasi, tetapi bapak dan gadis pantai harus segera angkat kaki dari situ tanpa membawa si bayi. Khusus bagi gadis pantai, ia bahkan tak boleh lagi menginjakkan kaki di kota itu.
Tentu saja gadis pantai tak terima. Dengan berani ditentangnya titah bendoro. Ia bersikeras membawa serta bayinya. Kepada bendoro ia mengatakan, " Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa pulang ke kampung." Maka bendoro murka tiada tara. Priyayi-santri tersebut tega pula memukulkan tongkat kepada bekas gundiknya itu. Demikian akhir kisah si gadis pantai. Ia dicampakkan dan dihinakan oleh bekas suaminya sendiri. Tragisnya, atas nama kesetiaan dan kepatuhan pada atasan, tak seorang pun berani membelanya...
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!