SUATU ketika saya berkesempatan hadir di sebuah acara bincang-bincang sastra (dan diminta sharing pengalaman menulis), setelah sekian laaaammmaaaa tak hadir di acara serupa itu. Belakangan semenjak terlepas dari jerat FS-UGM, interaksi saya dengan dunia sastra memang tak seintens dulu. Walaupun masih aktif menulis apa pun dan membaca apa pun, termasuk membaca hal-hal yang berbau sastra, boleh dibilang notabene ada penurunan persentase interaksi di antara sastra dan saya. Namun jangan salah, di hati ini saya tetap mencintai dunia sastra sepenuhnya.
Kalau dulu saat mahasiswa sangat kuueenceenggg ingin menulis karya yang hanya berbobot sastra saja, seiring dengan berjalannya waktu saya justru banyak menulis dengan gaya populer cenderung gila. Dan ternyata, seiring dengan itu pula saya pada akhirnya sadar diri bahwa saya tidak berpotensi untuk menjadi seorang sastrawan yang hebat. Otak saya pas-pasan mas bro, mbak sist....
Sementara menurut saya, seorang sastrawan itu jalan pemikiran dan tikungan imajinasinya aduhai jelimet. Maka lebih baik saya putar haluan. Tidak. Bukan berarti menanggalkan impian besar saya untuk suatu saat nanti berhasil menyelesaikan sebuah novel yang bagus, yang nyastra, sekaligus laris. Tapiiiii... untuk saat ini saya tidak lagi ngotot dan terpaku untuk hanya menulis karya yang penuh dengan kaidah sastra nan elok permai.
Dengan kata lain kini saya lebih banyak menulis, menjaga stabilitas produktivitas karya, sesuai dengan tingkat intelektualitas saya. Tentunya sembari belajar meningkatkan kualitas daya intelektualitas diri, dong. Di antaranya dengan rajin membaca buku-buku yang bermutu dan bergaul dengan sekumpulan ibu ciamik yang tergabung dalam IIDN ( = Ibu Ibu Doyan Nulis). Iya, bagaimana pun pergaulan di IIDN itu menyemangati saya untuk terus konsisten menulis dan belajar hal-hal baru yang belum saya tahu. Maka saya dengan bangga plus antusias memperkenalkannya di acara bincang-bincang sastra yang saya hadiri tersebut.
Target saya, si penulis/kritikus sastra yang kala itu menjadi narasumber akan tertarik untuk bertanya-tanya tentang IIDN dan kemudian saya bisa mendekati beliau untuk membina hubungan baik demi kemajuan IIDN Jogja. Yeah... Estimasi saya ternyata salah. Si narasumber ternyata mengabaikan saja "promosi" saya. Kelihatan banget kalau dia menganggap remeh-temeh kerja tulis-menulis yang bergenre nonsastra, terlebih yang dilakukan oleh kaum ibu. Padahal si moderator yang mahasiswa sastra itu, sudah memperkenalkan aktivitas saya sedemikian rupa dengan semangat berapi-api. dan sebelum si narasumber datang (iyyaaaa... si narasumber telaaatttt banget datangnya) saya sudah sharing dengan sebagian hadirin.
Hmmm, ahaiiii.... Tak mengapa mas bro sastrawan.... Dirimu hadir sangat telat adalah nilai minus tersendiri bagiku, sementara pemujaanmu terhadap karya yang hanya sangat bernilai sastra dan "meremehkan" tulisan ibu-ibu yang kau pikir tak mampu menulis adalah nilai minus yang lainnya. Demikian gumam kesalku dalam hati. Kesimpulan saya seketika itu, picik juga jalan pikiran sastrawan (kalau boleh
dibilang sastrawan) yang satu ini. Mestinya sebagai orang yang lebih
pandai, dia bersedia membina orang-orang yang belum sepandai dia. Bukan
justru meremehkannya.
Tapi saya bercita-cita jadi manusia baik, yakni manusia yang enggak mudah terjebak belenggu suuzon. Oleh sebab itu, saya berusaha mengenyahkan kekesalan bin kekecewaan saya terhadap sang penulis sastra. Toh sejauh ini baru dia seorang yang tidak menaruh respek pada IIDN tatkala saya ceritai tentang komunitas saya. Hmmm.... Tapi mengapa ya kok saya malah ngedumel di blog ini?
Tapi saya bercita-cita jadi manusia baik, yakni manusia yang enggak mudah terjebak belenggu suuzon. Oleh sebab itu, saya berusaha mengenyahkan kekesalan bin kekecewaan saya terhadap sang penulis sastra. Toh sejauh ini baru dia seorang yang tidak menaruh respek pada IIDN tatkala saya ceritai tentang komunitas saya. Hmmm.... Tapi mengapa ya kok saya malah ngedumel di blog ini?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSiapa dia ituh...sang sastrawan? Ayo kita undang jadi narsum di kopdar IIDN...biar ngerih-ngerih sedap ketemu ibu-ibu...wkkkk
BalasHapus