KETIKA menulis, aku benar-benar mengungkap hal yang ada di hati dan otakku apa adanya. Dalam arti, perasaan dan pendapatku akan suatu hal yang sedang aku kemukakan dalam tulisan tidak aku manipulasi. Gila! Menulis kok enggak jujur. Kurang kerjaan banget????? Maka --misalnya-- ketika marah akan sesuatu, aku ungkapkan saja kemarahanku itu. Tapiii... tentu saja aku dalam mengungkapkan kemarahan tersebut dengan memilih kata-kata dan kalimat yang "elegan".
Iya, buat apa berpura-pura dan tidak jujur dalam menulis? Itu namanya mempersulit diri sendiri. Sementara salah satu kunci sukses dan cara mudah untuk menulis adalah menuangkan saja apa yang terlintas di hati dan benak. Nah, kalau si penulis tidak jujur dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya 'kan otomatis mempersulit diri sendiri. Sungguh keisengan yang sangat tak bermanfaat. Dan yakinlah, tulisan kita tak akan bernas dan menarik bilamana kita menulis dengan munafik.
Oke. Mungkin kita akan "selamat" untuk satu-dua tulisan. Tapi tentunya tak akan dapat selamat untuk seluruh tulisan yang akan kita hasilkan di sepanjang hayat kita. Sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat bisa jatuh pula. Sepandai-pandai penjahat kabur dari kejaran polisi suatu ketika akan tertangkap jua. Selihai-lihai penulis memanipulasi perasaan dan pikiran yang dituangkannya ke dalam sebuah tulisan akhirnya toh akan ketahuan juga. Percayalah.
Jika Anda ingin menjadi penulis yang bermanfaat, maka jujurlah dalam menulis. Toh di berbagai segi kehidupan, jujur memang merupakan sesuatu yang mutlak kemuliaannya. Iya toh? Terlebih bagi seorang penulis, kejujuran adalah hal yang justru akan memuluskannya dalam menapaki karier kepenulisannya. Lagi pula, mengapa harus berpura-pura dan "jaim" dalam menulis? Tunjukkan saja siapa diri Anda apa adanya melalui tulisan-tulisan Anda. Bila Anda memang berkelas, maka tanpa mati-matian "jaim" pun orang akan tahu bahwa Anda berkelas.
Yup! Anda adalah apa yang Anda tulis. Apa isi hati dan benak Anda, semua tercermin dalam apa-apa yang Anda tuliskan. Sebagai contoh sederhana, apa yang sering kali Anda tuliskan di status FB Anda (berupa keluhan, makian, ungkapan rasa kesepian dan kebosanan, narsis kuliner, narsis jalan-jalan, narsis selfie, menyikapi berbagai hal secara kocak, dan sebagainya) dan gaya bahasa yang kerap kali Anda pakai di status tersebut bagaimana pun akan "mengatakan" siapa diri Anda yang sebenarnya. Anda akui atau tidak, itulah yang sebenarnya terjadi.
Oke. Mungkin kita akan "selamat" untuk satu-dua tulisan. Tapi tentunya tak akan dapat selamat untuk seluruh tulisan yang akan kita hasilkan di sepanjang hayat kita. Sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat bisa jatuh pula. Sepandai-pandai penjahat kabur dari kejaran polisi suatu ketika akan tertangkap jua. Selihai-lihai penulis memanipulasi perasaan dan pikiran yang dituangkannya ke dalam sebuah tulisan akhirnya toh akan ketahuan juga. Percayalah.
Jika Anda ingin menjadi penulis yang bermanfaat, maka jujurlah dalam menulis. Toh di berbagai segi kehidupan, jujur memang merupakan sesuatu yang mutlak kemuliaannya. Iya toh? Terlebih bagi seorang penulis, kejujuran adalah hal yang justru akan memuluskannya dalam menapaki karier kepenulisannya. Lagi pula, mengapa harus berpura-pura dan "jaim" dalam menulis? Tunjukkan saja siapa diri Anda apa adanya melalui tulisan-tulisan Anda. Bila Anda memang berkelas, maka tanpa mati-matian "jaim" pun orang akan tahu bahwa Anda berkelas.
Yup! Anda adalah apa yang Anda tulis. Apa isi hati dan benak Anda, semua tercermin dalam apa-apa yang Anda tuliskan. Sebagai contoh sederhana, apa yang sering kali Anda tuliskan di status FB Anda (berupa keluhan, makian, ungkapan rasa kesepian dan kebosanan, narsis kuliner, narsis jalan-jalan, narsis selfie, menyikapi berbagai hal secara kocak, dan sebagainya) dan gaya bahasa yang kerap kali Anda pakai di status tersebut bagaimana pun akan "mengatakan" siapa diri Anda yang sebenarnya. Anda akui atau tidak, itulah yang sebenarnya terjadi.
Maka aku selalu berusaha jujur dalam menulis. Apa perasaan dan pikiranku tentang suatu hal, itulah yang aku tuliskan. Sebagai contoh, aku acap kali menyebut-nyebut "senja" dan "gila" di status FB sehingga banyak orang yang kemudian tahu bahwa aku adalah penyuka senja dan pemerhati (atau penyuka???) orang gila. Ada pula yang kemudian mengidentikkan aku dengan senja dan orang gila. Bahkan, sampai ada yang inboks menanyakan apakah senja itu nama anakku (sebab saking akrab dan mesranya sapaanku terhadap senja)???? Tapi ada pula yang salah tafsir (sebab keterbatasan pemahamannya terhadap status-status FB-ku yang ciamik.... jiiiahhhh... kok malah sombong.... hahaha....) sampai-sampai menuduhku secara pedas dengan kata-kata begini, "Huhh! Jadi orang gila kok bangga!"
Yeah.... Apa boleh buat? Memang tak semua orang mampu membaca sebuah tulisan dengan kecerdasan otak dan hati. Salah tafsir itu biasa. Terlebih jika tulisan yang dibaca itu ditulis oleh sosok yang tidak disukainya. Yo wis, ya sudah. Jika orang sudah tak suka, maka segalanya akan terlihat buruk. Tak objektif, sih. Namun, apa boleh buat? Kiranya itulah salah satu risiko jadi penulis sekalipun hanya penulis status FB. Wkwkwkw....
Ketika sebuah tulisan sudah disajikan untuk konsumsi umum, berarti telah menjadi milik publik. Pasti akan berkembang banyak tafsir dari masing-masing pembaca. Penulis sudah tak bisa lagi mengklaim bahwa tulisan tersebut miliknya an sich sehingga orang lain (pembaca) tidak diperkenankan memberikan pemaknaan yang berbeda dari apa yang ia maksudkan.
Oleh sebab itu, seorang penulis mesti hati-hati dan teliti ketika menulis. Sebelum menerbitkan sebuah tulisan mesti siap mental dengan segala konsekuensinya. Ingat, hidup itu serba tak terduga. Maka reaksi pembaca tulisan kita juga bisa tak terduga. Jadi, langkah terbaik memang menulis dengan jujur. Apa pun reaksi pembaca, jika kita jujur dalam menulis maka kita akan mampu menghadapinya dengan "akurat".
Penulis yang jujur itu disayang Tuhan, lho. Mengapa? Sebab penulis yang jujur itu pasti akan menuliskan tentang kebenaran. Tentang hal-hal yang bernuansa kebaikan dan kebajikan. Bahkan, seorang penulis yang jujur itu ketika mulai menulis pun tidak lupa untuk membaca doa terlebih dahulu (dan kemudian setelah selesai menulis ia nanti juga akan mengucapkan doa lagi).
Iya, doa merupakan sesuatu yang urgen bagi seorang penulis jujur sebab tulisannya ia maksudkan sebagai suatu bentuk ibadahnya kepada Tuhan. Insya Allah aku selama ini senantiasa berusaha untuk menjadi seorang penulis jujur. Maka hatiku sungguh terluka ketika suatu saat ada orang yang dengan kejam mengatakan begini, "Kamu itu nol besar! Teori belaka! Praktiknya nol besar! Sarjana teori! Apa yang kamu tulis teori belaka! Kamu kira, siapa kamu!!???"
Ckckck... Sungguh kalimat yang sesungguhnya merupakan sebuah pembunuhan karakter secara telak. Tapi Alhamdulillah aku waktu itu tak terpancing emosi dengan balas berkata-kata kasar. Aku jawab saja begini (dan sejujurnya dengan perasaan sebal plus sedikit marah), "Aku adalah....penulis The Power of Bejo..., bukan sarjana teori tapi sarjana bejo..... Nah, lho! Mau apa kamu?" Entahlah apa sebabnya, tapi jawabanku tersebut membuatnya terdiam. Ahh, kiranya ini merupakan salah satu percakapan gila yang pernah kulakukan.
Baiklah. Mari kita kembali ke soal penulis jujur. Sekali lagi aku berpesan bagi siapa saja yang ingin jadi penulis, menulislah dengan jujur. Kemudian jangan lupa, niatkan menulis semata-mata hanya untuk memperoleh ridlo-Nya. Mungkin kita ingin cari duit dari tulisan-tulisan kita (aku pribadi juga nulis untuk hidup, kok). It's OK. Itu sah-sah saja. Tapi luruskan niat bahwa semuanya juga lillahi ta'ala.
Suatu ketika pada ruang dan waktu yang tepat, mungkin kita akan jadi terkenal karena tulisan-tulisan kita. It's OK. Itu bonus yang wajib disyukuri dengan cara makin meningkatkan kualitas tulisan kita. Bagaimana caranya? Salah satunya ya dengan cara mempertebal kejujuran kita dalam menulis. Percayalah. Orang jujur disayang Tuhan. Penulis jujur disayang pembaca plus dekat dengan Tuhan.
Yeah.... Apa boleh buat? Memang tak semua orang mampu membaca sebuah tulisan dengan kecerdasan otak dan hati. Salah tafsir itu biasa. Terlebih jika tulisan yang dibaca itu ditulis oleh sosok yang tidak disukainya. Yo wis, ya sudah. Jika orang sudah tak suka, maka segalanya akan terlihat buruk. Tak objektif, sih. Namun, apa boleh buat? Kiranya itulah salah satu risiko jadi penulis sekalipun hanya penulis status FB. Wkwkwkw....
Ketika sebuah tulisan sudah disajikan untuk konsumsi umum, berarti telah menjadi milik publik. Pasti akan berkembang banyak tafsir dari masing-masing pembaca. Penulis sudah tak bisa lagi mengklaim bahwa tulisan tersebut miliknya an sich sehingga orang lain (pembaca) tidak diperkenankan memberikan pemaknaan yang berbeda dari apa yang ia maksudkan.
Oleh sebab itu, seorang penulis mesti hati-hati dan teliti ketika menulis. Sebelum menerbitkan sebuah tulisan mesti siap mental dengan segala konsekuensinya. Ingat, hidup itu serba tak terduga. Maka reaksi pembaca tulisan kita juga bisa tak terduga. Jadi, langkah terbaik memang menulis dengan jujur. Apa pun reaksi pembaca, jika kita jujur dalam menulis maka kita akan mampu menghadapinya dengan "akurat".
Penulis yang jujur itu disayang Tuhan, lho. Mengapa? Sebab penulis yang jujur itu pasti akan menuliskan tentang kebenaran. Tentang hal-hal yang bernuansa kebaikan dan kebajikan. Bahkan, seorang penulis yang jujur itu ketika mulai menulis pun tidak lupa untuk membaca doa terlebih dahulu (dan kemudian setelah selesai menulis ia nanti juga akan mengucapkan doa lagi).
Iya, doa merupakan sesuatu yang urgen bagi seorang penulis jujur sebab tulisannya ia maksudkan sebagai suatu bentuk ibadahnya kepada Tuhan. Insya Allah aku selama ini senantiasa berusaha untuk menjadi seorang penulis jujur. Maka hatiku sungguh terluka ketika suatu saat ada orang yang dengan kejam mengatakan begini, "Kamu itu nol besar! Teori belaka! Praktiknya nol besar! Sarjana teori! Apa yang kamu tulis teori belaka! Kamu kira, siapa kamu!!???"
Ckckck... Sungguh kalimat yang sesungguhnya merupakan sebuah pembunuhan karakter secara telak. Tapi Alhamdulillah aku waktu itu tak terpancing emosi dengan balas berkata-kata kasar. Aku jawab saja begini (dan sejujurnya dengan perasaan sebal plus sedikit marah), "Aku adalah....penulis The Power of Bejo..., bukan sarjana teori tapi sarjana bejo..... Nah, lho! Mau apa kamu?" Entahlah apa sebabnya, tapi jawabanku tersebut membuatnya terdiam. Ahh, kiranya ini merupakan salah satu percakapan gila yang pernah kulakukan.
Baiklah. Mari kita kembali ke soal penulis jujur. Sekali lagi aku berpesan bagi siapa saja yang ingin jadi penulis, menulislah dengan jujur. Kemudian jangan lupa, niatkan menulis semata-mata hanya untuk memperoleh ridlo-Nya. Mungkin kita ingin cari duit dari tulisan-tulisan kita (aku pribadi juga nulis untuk hidup, kok). It's OK. Itu sah-sah saja. Tapi luruskan niat bahwa semuanya juga lillahi ta'ala.
Suatu ketika pada ruang dan waktu yang tepat, mungkin kita akan jadi terkenal karena tulisan-tulisan kita. It's OK. Itu bonus yang wajib disyukuri dengan cara makin meningkatkan kualitas tulisan kita. Bagaimana caranya? Salah satunya ya dengan cara mempertebal kejujuran kita dalam menulis. Percayalah. Orang jujur disayang Tuhan. Penulis jujur disayang pembaca plus dekat dengan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!