DUNIA
memang benar-benar sudah padat penduduk. Di mana-mana tampak berjubel manusia
dengan aneka rupa modelnya. Termasuk di terminal bus yang satu ini. Jubelan
manusia yang hendak bepergian terlihat berlalu-lalang dengan bawaan
masing-masing. Semua kelihatan bergegas menuju bus-bus
sesuai dengan kota tujuan mereka.
Iya…
siapa sih yang suka berlama-lama nongkrong di terminal? Terminal itu enggak
asyik ‘kan? Penuh polusi dari asap knalpot dan polusi suara. Lebih cepat
menaiki bus dan segera meninggalkan terminal sepertinya merupakan slogan yang didukung
oleh banyak orang, deh. Asal tahu saja, para pendukung slogan tersebut
jumlahnya jauh lebih banyak daripada pendukung capres-cawapres, lho. Hehehe….
Eit,
tunggu! Ternyata tidak semua orang di situ bergerak dan bergegas. Lihat!
Seorang gadis dengan penampilan energik justru berdiri mematung di dekat salah
satu kursi tunggu terminal. Tatapan matanya nanar ke depan, tepatnya ke arah deretan
bus yang bertujuan ke Kota Sontoloyo. Aura yang terpancar darinya adalah aura
kegalauan.
Dari
bahasa tubuhnya ia memang terlihat akan pergi ke Kota Sontoloyo. Namun
entah mengapa, sejak tadi ia tak kunjung naik ke salah satu bus. Padahal sudah
lebih dari satu jam ia berdiri di situ, yang berarti sudah berkali-kali ada
pemberangkatan bus menuju Kota Sontoloyo. Yang berarti pula telah berkali-kali ia
menolak tawaran dari para calo dan kondektur untuk menjadi penumpang dari salah
satu bus yang berseliweran di depannya.
Si
gadis energik tampak mengusap wajahnya yang berpeluh. Yeah… matahari memang lumayan terik di hari
menjelang siang itu. Bikin tenggorokan dan bibir terasa makin kering kerontang.
Si gadis menggelengkan kepala pelan. Tanpa alasan yang jelas, ia lalu
mengangkat bahu sembari membuang napas agak keras.
Sesaat
kemudian ia kembali menatap nanar ke deretan bus-bus di depannya. Kedua
tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kini para
calo dan kondektur sudah bosan untuk menawarinya naik bus. Maka ia tidak lagi dibujuk-bujuk untuk naik bus.
Akhirnya
setelah tampak berpikir keras, si gadis energik mengambil napas dalam-dalam.
Sesaat kemudian dengan gerakan penuh keyakinan diri, ia sudah membalikkan
badan, bersiap meninggalkan terminal. Ya, ia memang sudah memutuskan batal mudik. Apa boleh buat? Mungkin
tahun ini ia harus berlebaran di tempat kos sendirian.
Tentu
saja ada rasa sedih terlintas di hatinya. Meskipun berlebaran bersama keluarganya
di kampung halaman tidak asyik-asyik amat, setidaknya di sana ada banyak
makanan yang bisa disantap. Di tempat kos pasti tidak ada makanan berlimpah
saat lebaran. Memikirkan tentang makanan lebaran membuat si gadis energik
garuk-garuk kepala. Perutnya yang kosong sebab berpuasa pun terasa makin
keroncongan. Tentu saja pikiran-pikiran konyol tentang makanan itu membuatnya
gontai dalam melangkah.
“Noni!
Hehh!”
Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahunya. Si gadis energik yang sedang
limbung itu pun sangat kaget. Namun,
sedetik kemudian wajahnya cerah ceria.
“Rommy!
Haaaiii…. Apa kabaaarrr? Alhamdulillah ketemu kamuuu….”
Si
gadis energik sangat antusias menyambut kemunculan sosok atletis di depannya.
Tak disangka tak diduga, Rommy yang dulu sebangku dengannya selama SMA,
tiba-tiba saja muncul menjadi solusi. Padahal, Rommy kuliah di kota sebelah.
Bukan di kota yang sama dengannya.
“Rommy,
Rommy. Kamu adalah solusiku,” kata si gadis energik dengan mata berbinar-binar
memandangi mantan kawan sebangkunya.
“Lhadalah!
Solusi apa? Misterius sekali kamu? Jangan pandangi aku seperti itu ah….” Rommy bertanya heran campur ke-GR-an. Dipikirnya si gadis energik itu sedang sangat
merindukannya setelah dua tahun tak pernah bertemu. Maka Rommy makin GR ketika
gadis di depannya bersiap membisikkan sesuatu.
“Begini,
Rom. Dari tadi aku galau berdiri di terminal ini. Bahkan, aku sudah memutuskan
untuk batal mudik. Eh, baru saja hendak melangkah pulang, tiba-tiba kamu muncul
di hadapanku. Makanya aku bilang kalau kamu solusiku.”
Jidat
Rommy berkerut. Kemudian ia bertanya
bertubi-tubi. “Solusi? Untuk apa? Kenapa kamu membatalkan untuk mudik sekarang?
Lebaran ‘kan tinggal dua hari lagi?”
“Itu
dia masalahnya! Aku lupa kalau kalau mulai H-7 lebaran, selalu ada tuslah*. Nah,
aku lupa itu. Uangku hanya cukup kalau mudik tanpa tuslah. Aku takut nanti di
tengah jalan dimarahi kondektur. Makanya aku putuskan batal mudik. Tapi
sekarang, tarraaa.... Ada kamu yang dapat menjadi dewa penolongku. Kamu mau
membayari kekurangan ongkos bus aku ‘kan?”
“Astaga!
Aku juga lupa kalau ada tuslah! Pantesan….” Rommy seketika mengeluarkan uang
dari saku celananya. “Ah, pantesan kembalianku pas naik bus dari Kota Alakazam cuma
segini? Waduh! Nasib kita sama, Non. Kurang ongkos.”
“Hahhh???”
#FiksiIIDNJogja
*Tuslah = tambahan pembayaran (karcis kereta api, bus, dan sebagainya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!