BEBERAPA waktu lalu jelang Ramadan, IIDN Jogja bikin kuis. Kuisnya berupa lomba nulis cerpen. Lho??? Jadi bingung deh.... Sebenarnya kuis atau lomba nulis cerpen, ya? Ah, entahlah. Apa pun sebutannya, yang jelas cerpenku yang berjudul "Tuslah" berhasil menang. Hahaha... ^-^
Sejujurnya cerpen tersebut kutulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada dekade 90-an dulu (ya ampyuunnn... zadoel nian...). Hmmm. Sutralah. Abaikan saja soal dekade ini. Yang jelas cerpenku menang. Lagi pula, titik fokus tulisan ini bukan tentang dekade. Hahaha.... Iya, beneran. Fokusnya adalah kisah yang sebenarnya terjadi di balik cerpen "Tuslah".
Begitulah. "Tuslah" lahir dari pengalamanku saat masih menjadi mahasiswa semester-semester awal. Nah, berhubung masih awal itulah aku belum hafal dengan waktu pemberlakuan tuslah di kala jelang lebaran. Maka saat mudik, aku sungguh-sungguh lupa pada tuslah. Aku baru ingat sesaat sebelum menaiki bis. Saking takutnya dimarahi kondektur dan kemungkinan terburuk adalah diturunkan di tengah perjalanan (yang berupa jalanan tengah hutan), aku pun balik kanan. Batal menaiki bis.
Detik berikutnya aku bengong di terminal. Eh, pas bengong itulah berjumpa dengan kawan SMA yang bernama Putut Agustinus Kushartanto (Tentu saja aku masih hafal namanya sebab dulu kami pernah sebangku, punya tanggal ultah yang berdekatan, dan sering ngerumpi bareng di kelas). Hatiku bersorak dan sesungguhnya baru kali itulah aku sungguh berbinar-binar sepenuh rasa dalam menyambut kehadirannya. Hehehe... iyaaa, aku 'kan berniat minta tambahi ongkos bis kepadanya.
Tapi, dasar apes. Rupanya Putut punya problematika yang sama denganku. Celaka 13! Akhirnya dia memberi solusi jitu tapi nyerempet-nyerempet curang. Begini solusinya. Kami cuek langsung naik bis. Sedapat mungkin memilih tempat duduk bagian belakang; tujuannya agar tidak terlalu malu bila nanti dimarahi kondektur sebab ongkos yang kurang. Kalau kami duduk di bagian depan 'kan seluruh penumpang bisa melihat/memperhatikan kami.
Sesuai dengan kesepakatan, uang sejumlah perjalanan mudik tanpa tuslah aku serahkan kepada Putut. Nanti dia yang akan menyerahkannya kepada kondektur. Aku disuruh pura-pura tidur (dan aku betul-betul melakukannya; berlagak tertidur pulas padahal deg-degan setengah mati). Tahukah Anda apa sebabnya aku harus akting tidur? Inilah alasannya. Pasti kondektur mengomel panjang lebar begitu menghitung jumlah ongkos kami berdua yang diserahkan Putut kepadanya.
Hah! Benar saja. Kondektur selalu mengomel saat menerima ongkos kami. Namun, tidak sampai menurunkan kami dari bis sebab dengan lihai Putut mengatakan begini, "Apa enggak kasihan, Pak. Lihat teman saya yang pusing ini. Hanya tertidur lemes sejak tadi. Kasihan 'kan kalau diturunkan di jalan. Kami betul-betul enggak punya duit, Pak. Maklum anak kos." Sejujurnya aku agak geram mendengar perkataan tersebut. Sialan banget. Lha kok aku malah didoakan sakit, demikian gerutuku dalam hati.
But anyway... rencana kami berhasil sempurna. Mudik di H-1 dengan ongkos bebas tuslah. Hanya saja, total Putut harus berdusta tentang kepusinganku sebanyak dua kali sebab kami harus berganti bis sejumlah itu. Ahhh.... Semoga Allah SWT mengampuni kami berdua. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!