Sabtu, 14 Februari 2015

Kisah Sisi Depan

 
 

LIHATLAH deretan potret di atas. Apa pun dan siapa pun objek jepretnya, semua merupakan gambaran dari kisah sisi depan rumahku. Sebuah sisi depan yang tak luas dari sebuah rumah mungil di suatu kampung kecil. Namun, jangan salah. Sisi depan rumahku yang sempit itu menyimpan kisah kehidupan yang luas dan kompleks. Idem ditto dengan rumah mungil yang kutempati, yang menjadi saksi atas lika-liku nasib hidupku. Halah... malah berusaha curhat.

O, iya. Sebetulnya sisi depan itu tak mutlak "kunikmati" sendiri. Sisi depan rumahku itu 'kan sebenarnya sebuah jalan "by pass". Bukan murni merupakan halaman. Hehehe.... Iya. Asal tahu saja, sebelah kanan rumahku adalah jalan kampung yang lumayan padat. Adapun sebelah depan dan kirinya merupakan deretan rumah para tetangga. Otomatis tiap kali pulang-pergi, mereka selalu berseliweran di sisi depan rumah yang kutempati.

Maka jikalau kupunya acara yang memerlukan penggunaan sisi depan, "lalu lintas" mereka mesti dialihkan. Dialihkan ini dalam arti mereka tak bebas melintas dengan sepeda motor ataupun sepeda onthel. Kedua jenis kendaraan tersebut mesti diparkir jauh-jauh dari rumah mereka, sementara mereka kemudian berjalan kaki saja untuk menuju rumah masing-masing. Tentu saja sebelumnya, aku harus mendatangi para tetangga satu per satu untuk meminta izin. Sebaliknya, manakala mereka punya hajat yang melibatkan sisi depan rumahku, aku pun akan dimintai izin. Ribet? Enggak, dong. Kiranya itulah konsekuensi dan romantika hidup bertetangga secara berdesak-desakan.

Pada salah satu foto di atas tampak segerombol kecil tanaman dalam pot, yang berada tepat di bawah jendela kamarku. Hmm. Tapi bukan aku, lho yang menanamnya. Bu Yuli --tetangga depan rumah-- yang rajin berkebun di situ. Maka ketika juri lomba TOGA antar-RT datang untuk menilai, aku mati gaya sebab tak piawai menyebutkan nama-nama tanaman yang ada. Dasar apes. Kok ya ndilalah aku sedang di rumah sendirian tatkala itu.

Sudahlah. Pokoknya ada banyak kisah yang menguar dari sisi depan tersebut. Ada kisah suka, ada kisah duka. Namun, lebih baik semua kuanggap sebagai kisah sukacita. Bagaimana tidak penuh dengan sukacita? Mayoritas kunikmati senja indah bermakna dari atas kijing --maksudnya sembari duduk di atas kijing-- depan rumah itu. Entah menikmatinya sendirian ataupun bersama para tetangga.

Sisi depan rumahku memang serupa dengan aula tempat berkumpul warga. Tak sekadar warga sekitar rumahku, tapi merupakan aula bagi warga se-RT. Aneka kegiatan kerap kali dilaksanakan di situ. Mulai dari senam pagi hingga ramai-ramai menunggu tukang reparasi panci; mulai dari lomba-lomba Agustusan hingga diskusi-diskusi semi seriusan; mulai dari menanti tukang jahit keliling hingga tukang giling padi keliling. Di situ pula warga se-RT suka berkumpul sebelum bersama-sama berangkat piknik, layat, bezuk orang sakit, nyumbang, pengajian, dan pertemuan PKK.

Ups, hampir lupa. Ketika hendak sholat Id pun, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, sisi depan rumahku itu menjadi tempat favorit untuk ngumpul sebelum kami berombongan menuju tanah lapang. Tuh, lihat. Di atas ada dua lembar foto yang diambil sesaat sebelum kami beramai-ramai menuju lapangan BPKS untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Hehehe.... Aku bahkan menyempatkan diri untuk narsis di depan kijing, lho. 

Bahkan, beberapa penjual makanan keliling gemar mangkal di sisi depan (agak kanan) rumahku. Walhasil, orang-orang yang ingin jajan berjejalan di situ. Tapi tanpa kehadiran para penjual makanan keliling pun sebenarnya sisi depan rumahku sudah beraura jajanan. Betapa tidak? Bu Yuli --yang suka berkebun tadi itu-- punya warung kelontong yang juga menjual aneka minuman segar dan camilan. Nah, tiap hari hilir-mudik orang yang mau jajan dong pastinya. Kadang kala menjadi magnet bagi anakku untuk ikutan jajan. Ini nih dampak yang tak kusukai. Menghancurkan program penghematan keuangan keluarga. Hahaha....

Tak hanya penjual makanan keliling. Para penjual keliling yang lainnya pun hobi ngetem di sisi depan rumahku. Antara lain penjual mainan, penjual celana kolor, penjual perabotan plastik, penjual tanaman hias, dan penjual sayur. 

Belum lagi para kurir JNE, Tiki,  Oriflame, dan Pak Pos yang suka datang nanyain alamat. Mereka biasa bertanya ke Bu Yuli yang stand by di tokonya. Tapi anehnya, kalau toko pas tutup mereka nekad mengetuk pintu rumahku untuk bertanya. Ih, ini nih yang bikin daku ke-GR-an. Kukira dapet kiriman sesuatu dari Syahrini. Eh, tahunya hanya ditanyai alamat orang lain. Aku kok jadi merasa di-PHP-in.

Ngomong-ngomong, sisi depan rumahku juga merupakan tempat jemuran tetangga depan. Jemuranku sendiri malah di belakang rumah. Selain sebagai tempat parkir jemuran tetangga, tentunya juga sebagai tempat parkir mobil-sepeda motor-sepeda onthel dooong.... Baik milik para tetangga maupun milik para tamu tetangga. Kalau pas aku dan para tetanggaku sedang banyak tamu, woww... situasinya mirip tempat parkir umum.

Lain halnya bila sedang banyak anak bermain. Sisi depan itu menjadi persis taman bermain. Suasananya meriah riuh rendah. Anak semua orang bisa tumplek blek di situ. Tak hanya di kala langit terang. Di kala hujan menderas pun masih saja banyak anak yang bermain-main. Hujan-hujan, dong. Mumpung hujannya hujan air, enggak terasa sakit bila menimpa tubuh. Kalau hujannya hujan uang logam ya pasti tak ada anak yang enjoy bermain hujan-hujanan. Enjoy-nya nanti, pas hujan uang logam sudah mereda. Hahaha.... 

Sisi depan rumahku memang menyimpan banyak kisah. Sehari-hari suasananya cenderung meriah. Enggak peduli tengah hujan ataupun cerah, sisi depan rumahku ibarat sentra bisnis yang selalu ramai. Itulah sebabnya para tetangga jauh yang merasa kesepian/sedang butuh teman mengobrol/sedang dilanda bete biasa datang ke area tersebut. Maka jika suatu ketika toko Bu Yuli tutup dan semua warga di sekitarku tengah bepergian, sepi yang ada terasa demikian mencekam. Biasa hiruk pikuk kok mendadak sunyi senyap. Kadingaren!

Karena  merupakan ruang publik, sisi depan rumahku pun pada saat-saat tertentu menjadi tanggung jawab bersama. Ehem, ehem. Maksudku kalau angin kencang bertiup dan dedaunan berguguran dari pepohonan yang tumbuh di dekat situ, yang menyapu tidak harus aku atau tetangga dekatku. Tetangga jauh yang biasa kongkow di situ serta bertabiat baik hati dan tidak sombong, dengan ringan hati pasti tergerak untuk ikut menyapu.

Lihat dua foto di atas, yang memperlihatkan seorang anak laki-laki berkaus biru sedang membersihkan debu bekas hujan abu kelud dengan sapu lidi. Dia itu teman anakku yang rumahnya jauh di belakang sana, yang tak terpengaruh apa pun jikalau sisi depan rumahku sedang digunakan untuk pelaksanaan acara tertentu. Tak ada yang menyuruh sama sekali, begitu saja dia mengambil sapu lidi yang tergantung manis di samping toko Bu Yuli. Iya, sapu-sapu dan aneka alat pembersih lain memang sengaja kami letakkan di ruang terbuka umum. Bukan untuk dicolong, lho. Justru sebaliknya, untuk nyolong rasa welas asih orang-orang yang sedang nongkrong di situ sehingga mereka tergerak untuk menyapukan halaman kami.... Hahaha....

Duh, sudah panjang nian tulisanku ini. Padahal masih banyak hal yang ingin kukisahkan. Ah, ya sudahlah. Sekian saja. Kulanjutkan pada postingan berikut saja, ya. Tapi boleh kok kalian berkomentar apa pun terhadap deretan foto di atas. Asalkan tidak dari sisi fotografisnya. Komentar yang baik dan benar itu misalnya begini, "Ih, Jeng. Kok kijingnya imut dan unyu bingitz seeh...."

#melihat-foto-foto-setahun-lalu (14 Februari 2014, tatkala hujan abu Kelud turun deras di Jogja)-dan-mendadak-nulis-panjang-kayak-gini....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!