MENULIS itu butuh keberanian. Bahkan, keberanian yang besar dan berlebih. Walaupun menulis dengan sebuah nama pena alias nama samaran, keberanian tetaplah menjadi hal yang amat krusial bagi seorang penulis. Ketika terjadi komplain terhadap tulisannya, maka dia tak semestinya menjadi seorang pengecut dengan berlindung di balik nama pena tersebut.
Bagaimanapun, seorang penulis harus berani mempertanggungjawabkan tulisannya. Apa maksudnya? Begini. Ketika menulis, seorang penulis tentunya mengungkapkan hal-hal yang sesuai dengan isi pemikiran dan pemahamannya kepada publik. Sementara publik itu sangat majemuk. Kemajemukan tersebut tentunya berpotensi menimbulkan pro dan kontra ketika mereka membaca tulisannya. Terlebih jika yang ditulis berkaitan dengan sejarah, yakni sesuatu yang memang rawan multiversi. Jangankan sebuah tulisan yang bernuansa sejarah. Sebuah tulisan opini pun bisa menimbulkan polemik berkepanjangan.
Nah! Ketika tulisannya menuai kontroversi, tepat pada saat itulah seorang penulis merasa hidupnya tidak tenang. Kalau mentalnya tidak kuat, komentar-komentar terhadap tulisannya itu akan dirasakannya sebagai momok yang mengintimidasi. Kalau menurut istilah Vicky, dia akan mengalami kontroversi hati akibat kontroversi tulisannya. Ujung-ujungnya, dia akan menyesal sebab telah menulis hal yang menimbulkan huru-hara.
Apa boleh buat? Kalau nasi telah menjadi bubur, terima saja. Toh semenyesal apa pun, tulisan telah menjadi kontroversi. Itulah kenyataan. Tak layak diratapi dan tak mungkin dihindari. Jadi, pilihannya hanya satu: hadapi saja dengan berani. Berani tak berani, ya harus diberanikan. Ah, Anda sekalian tahu maksud saya 'kan?
Oleh sebab itu, jangan sepelekan seorang penulis. Anda tidak tahu 'kan kalau sebelum menulis dia sudah berkelahi dengan rasa takutnya? Takut tulisannya jelek dan dianggap tidak bermutu; takut tulisannya menyinggung perasaan pihak lain; dan aneka rasa takut yang lainnya. Begitu pula ketika tulisannya sudah terpublikasikan. Hahhh.... Ternyata menjadi seorang penulis pun mesti setangguh ksatria baja hitam!
#sekadar-curhat-dan-berbagi-cerita-tentang-profesi-penulis
Bagaimanapun, seorang penulis harus berani mempertanggungjawabkan tulisannya. Apa maksudnya? Begini. Ketika menulis, seorang penulis tentunya mengungkapkan hal-hal yang sesuai dengan isi pemikiran dan pemahamannya kepada publik. Sementara publik itu sangat majemuk. Kemajemukan tersebut tentunya berpotensi menimbulkan pro dan kontra ketika mereka membaca tulisannya. Terlebih jika yang ditulis berkaitan dengan sejarah, yakni sesuatu yang memang rawan multiversi. Jangankan sebuah tulisan yang bernuansa sejarah. Sebuah tulisan opini pun bisa menimbulkan polemik berkepanjangan.
Nah! Ketika tulisannya menuai kontroversi, tepat pada saat itulah seorang penulis merasa hidupnya tidak tenang. Kalau mentalnya tidak kuat, komentar-komentar terhadap tulisannya itu akan dirasakannya sebagai momok yang mengintimidasi. Kalau menurut istilah Vicky, dia akan mengalami kontroversi hati akibat kontroversi tulisannya. Ujung-ujungnya, dia akan menyesal sebab telah menulis hal yang menimbulkan huru-hara.
Apa boleh buat? Kalau nasi telah menjadi bubur, terima saja. Toh semenyesal apa pun, tulisan telah menjadi kontroversi. Itulah kenyataan. Tak layak diratapi dan tak mungkin dihindari. Jadi, pilihannya hanya satu: hadapi saja dengan berani. Berani tak berani, ya harus diberanikan. Ah, Anda sekalian tahu maksud saya 'kan?
Oleh sebab itu, jangan sepelekan seorang penulis. Anda tidak tahu 'kan kalau sebelum menulis dia sudah berkelahi dengan rasa takutnya? Takut tulisannya jelek dan dianggap tidak bermutu; takut tulisannya menyinggung perasaan pihak lain; dan aneka rasa takut yang lainnya. Begitu pula ketika tulisannya sudah terpublikasikan. Hahhh.... Ternyata menjadi seorang penulis pun mesti setangguh ksatria baja hitam!
#sekadar-curhat-dan-berbagi-cerita-tentang-profesi-penulis
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!