HARI ini, 7 Oktober, Kota Jogja berulang tahun. Ulang tahun yang keberapakah? Ternyata yang ke-259! Sudah tua banget usianya, ya? Tapi Alhamdulillah, masih eksis. Walaupun keeksisannya itu, menurut saya pribadi, diwarnai oleh lunturnya beberapa hal terkait budaya dan tradisi.
Sebagai contoh yang paling sederhana, kita longok saja perkara sepeda onthel. Bila belasan tahun silam di kala pagi dan sore terlihat sekawanan pesepeda onthel menuju dan meninggalkan Kota Jogja, maka sekarang yang terlihat adalah sekawanan pesepeda motor. Tatkala pagi mereka hendak bekerja, tatkala sore mereka bubaran kerja. Yang masih setia bersepeda onthel amat dapat dihitung dengan jari satu tangan. Nah, lho. Dari sisi ini saja sebutan Kota Sepeda sudah tak lagi relevan bagi Kota Jogja.
Apa boleh buat? Sepeda onthel seakan tak punya tempat lagi di jalanan Jogja. Sepeda motor telah menggantikannya; ganti merajai jalanannya. Belum lagi mobil-mobil yang konon harganya murah. Tanpa ampun ikut memadatkan jalanan Jogja yang --tentu saja-- tak bertambah jumlahnya. Akibatnya, macet di mana-mana. Polusi udara pun hadir sebagai dampak ikutannya. Maka saya yang cinta Jogja ini, tak segan-segan mengakui bahwa Jogja memang makin sumpek.
Ah, sudahlah. Tak usahlah saya berpanjang-panjang menuliskan "keluhan" terkait Jogja. Toh manakala saya bete usai bepergian ke kota, saya bisa cepat-cepat pulang. Asal tahu saja, saya berdomisili di sebuah dusun pinggiran Jogja. Di kiri dan kanan rumah masih banyak pohon. Sawah pun masih lumayan eksis. Saya bisa ngadhem. Lepas dari hiruk-pikuk Kota Pelajar yang makin hari makin tak pernah tidur.
Ah, sudahlah. Pada akhirnya saya mesti mengakui bahwa pesepeda onthel massal dan ketenangan Jogja, kini hanyalah sebuah kenangan. Sebuah romantisme masa lalu belaka. Untunglah masih ada peringatan HUT Jogja. Dan, anak-anak sekolah dianjurkan berpakaian adat Jogja pada hari itu. Setidaknya hari itu bisa dijadikan sebagai momen untuk mengingat bahwa Jogja merupakan Kota Budaya. Lumayanlah daripada tidak ada momen sama sekali.
Setidaknya pada tanggal 7 Oktober anak-anak sekolah beserta para guru mereka tampil njawani, apa pun suku asalnya. Salon-salon pun berlimpah order untuk merias. Demikian pula order sewa pakaian adat Jogjanya. Pada tanggal 7 Oktober itu pula, para orang tua berlomba-lomba posting potret di medsos. Potret apakah? Tentu saja potret para buah hati mereka dalam balutan busana adat Jogja.
Sayang sekali, saya hanya pernah sekaliii saja terlibat yang begituan. Maksud saya, hanya saat Adiba kelas 1 SD saya bisa pamer potretnya berkebaya di medsos. Hehehe.... Mengapa? Sebab mulai kelas 2 hingga kelas 5 sekarang, Adiba selalu membolos saat HUT Jogja. Alasannya, malas didandani. Akibatnya, saya menjadi ibu yang paling santai tatkala 7 Oktober tiba. Hahaha....
Eh, sttt. Saya kira HUT Jogja tahun 2015 ini saya bisa posting potret Adiba berkebaya dan berkain. Lihat saja potret di atas. Itu malam hari, tanggal 6, ceritanya sedang fitting baju. Aih, aih, ternyata pas mau tidur bilang, "Aku hanya nyoba baju kok, Bunda. Besok enggak mau sekolah." Halah.... Tiwas taktukokke sandal anyar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!