DESTINASI kami yang ketiga adalah Masjid Sumur Gumuling. Atau, tenar pula dengan sebutan Masjid Bawah Tanah Tamansari. Ya, tentu saja ada embel-embel Tamansari di belakangnya. Lha wong lokasinya memang amat dekat dengan kompleks Pemandian Tamansari. Begitu kami keluar dari kompleks pemandian tersebut, lalu menyusuri jalan tikus berkonblok nan berkelok-kelok, dan di kiri kanannya berjubel rumah warga, akhirnya voila... tibalah kami di atas masjid.
Yup! Betul-betul di atas masjid. Saat tiba di jalanan yang mendaki terjal, kami sedikit memanjat dan menepi ke kiri. Daaan... terlihatlah tangga batu yang menurun curam. Itulah tangga yang mesti dituruni untuk menuju pintu masuk Masjid Sumur Gumuling. Ingat, ini masjid bawah tanah. Jadi, lokasinya pun betul-betul berada di bawah tanah.
Ya, sudah. Kami pun mengantre untuk turun tangga. Wuah, sepagi itu dan sudah banyak pengunjung dari luar Jogja yang datang. Lagi-lagi kami yang wong mBantul mepet Jogja ini kalah start. Hehehe....
Masjid Sumur Gumuling memang istimewa, lho. Jauh lebih istimewa daripada martabak yang paling spesial. Percayalah! Masjid di bawah tanah ini penuh dengan filosofi. Ada banyak makna di balik wujud bangunan fisiknya.
Arsitekturnya saja campuran antara Jawa dan Portugis. Yakni menyerupai bentuk teater melingkar. Ada sumur di tengah bangunan, juga ada rongga pada kubahnya yang tepat berada di tengah. Rongga pada kubah itu menyebabkan ruangan memiliki akustik yang baik. Jadi, suara sang imam tetap nyaring meskipun tanpa pengeras suara. Masjid ini terdiri atas dua lantai. Yang lantai bawah untuk jamaah perempuan, yang lantai atas untuk jamaah laki-laki.
Ada lima tangga di tengah bangunan ini. Menurut saya sih tangga-tangga tersebut mengharukan dan mengagumkan. Mengagumkan sebab tipis, tapi kuat memuat orang-orang yang heboh narsis di atasnya.
Yup! Betul-betul di atas masjid. Saat tiba di jalanan yang mendaki terjal, kami sedikit memanjat dan menepi ke kiri. Daaan... terlihatlah tangga batu yang menurun curam. Itulah tangga yang mesti dituruni untuk menuju pintu masuk Masjid Sumur Gumuling. Ingat, ini masjid bawah tanah. Jadi, lokasinya pun betul-betul berada di bawah tanah.
Ya, sudah. Kami pun mengantre untuk turun tangga. Wuah, sepagi itu dan sudah banyak pengunjung dari luar Jogja yang datang. Lagi-lagi kami yang wong mBantul mepet Jogja ini kalah start. Hehehe....
Masjid Sumur Gumuling memang istimewa, lho. Jauh lebih istimewa daripada martabak yang paling spesial. Percayalah! Masjid di bawah tanah ini penuh dengan filosofi. Ada banyak makna di balik wujud bangunan fisiknya.
Arsitekturnya saja campuran antara Jawa dan Portugis. Yakni menyerupai bentuk teater melingkar. Ada sumur di tengah bangunan, juga ada rongga pada kubahnya yang tepat berada di tengah. Rongga pada kubah itu menyebabkan ruangan memiliki akustik yang baik. Jadi, suara sang imam tetap nyaring meskipun tanpa pengeras suara. Masjid ini terdiri atas dua lantai. Yang lantai bawah untuk jamaah perempuan, yang lantai atas untuk jamaah laki-laki.
Ada lima tangga di tengah bangunan ini. Menurut saya sih tangga-tangga tersebut mengharukan dan mengagumkan. Mengagumkan sebab tipis, tapi kuat memuat orang-orang yang heboh narsis di atasnya.
Lebih dari itu, kelimanya dibuat berdasarkan makna tertentu. Yup! Kelimanya melambangkan rukun Islam. Rukun Islam itu 'kan ada lima. Empat tangga yang mengarah ke pelataran kecil adalah simbol dari rukun Islam yang pertama hingga keempat. Adapun satu tangga yang menuju ke lantai dua adalah simbol dari rukun Islam yang kelima, yakni naik haji bila mampu.
Inilah penampakan dari pintu masuk Masjid Sumur Gumuling. Lihatlah. Mas yang itu sedang menuruni tangga curam. Penuh konsentrasi tampaknya dia. Takut kepleset, bok!
Setelah sukses melewati pintu masuk, kami pun langsung berada dalam lorong-lorong panjang nan temaram. Jangan lupa, itu lorong bawah tanah 'kan? Ah, kok ya ndilalah ada penampakan suatu makhluk di salah satu bagian dari lorong-lorong itu. Hmm.
Kalau foto yang di atas itu adalah penampakan dari Bunda Melda dan Ananda Melati. Mereka berpose di depan pintu lantai dua. Bukan lantai dua hotel lho, ya. Lha wong jelas-jelas lantai dua Masjid Sumur Gumuling gitu, kok.
Kalau dua foto di atas adalah eksyen ramai-ramai di depan pintu lantai dua masjid. Hehehe.... Tampaknya anggota Tour de Onthel yang lainnya juga butuh narsis di situ. Yang enggak asyik, saya jadi fotografernya. Tak bisa ikut narsis bin eksis deh... :( Eh, sttt. Mas-mas yang kepalanya berkacamata dan pakai ransel itu bukan anggota rombongan kami, lho. Dia hanya tertutup jalan pas hendak masuk lantai dua itu. Wah!
Berhubung tidak ikut narsis bersama rombongan, saya minta dipotret sendirian. Hahaha.... Sebenarnya ini semacam balas dendam meskipun kelihatannya seperti dari kumpulannya terbuang. Dengan latar belakang tangga berikut pintu masuk lantai dua masjid, saya duduk nyaris tepat di atas kolam (sumur) yang berada di tengah-tengah bangunan. Hmmm. Gimana eksyen saya?
Jangan anggap foto di atas merupakan produk yang gagal dari segi pencahayaan. Kalau gagal dari segi estetika sih iya.... Wkakaka.... Niatnya bikin foto potret yang estetik-estetik gimanaa gitu. Objek utama sengaja digelapkan untuk mencapai efek tertentu. Eh! Lha kok jadinya agak hambar begitu, ya? Tak apalah. Toh foto tersebut masih lumayan jelas menunjukkan eksistensi kolam (sumur) yang tepat berada di bawah lima anak tangga. Lalu, tampak pula bayangan sinar berbentuk bundar. Itulah bayangan dari rongga pada kubah masjid. Adapun tangga-tangga yang ada juga relatif terlihat semua.
Usai berfoto-foto, berakhir sudah petualangan kami di dalam masjid bawah tanah itu. Kembali kami menyusuri lorong-lorong temaram dari bangunan yang konon perekatnya adalah putih telur; bukan semen. Kali ini tujuan kami ya keluar, yang berarti kembali naik ke jalan terjal tadi.
Dari jalan terjal tersebut, kami memilih jalan lurus, yang berarti kembali memasuki lorong-lorong dengan anak tangga menurun, yang di ujungnya ternyata adalah... tempat parkir! Hehehe.... Berarti pulang, deh.
Sebenarnya keluar dari Masjid Sumur Gumuling alias masjid yang melingkar-lingkar berputar tadi, kami bisa langsung memilih belok kiri. Bukan jalan lurus yang langsung tembus tempat parkir.
Ada apakah jikalau kita memilih belok kiri? Hmm. Ada Pulau Cemeti! Namun karena mencapainya harus dengan jalan yang terjal sedikit berliku, teman-teman peserta Tour de Onthel memilih pulang dan segera mampir warung soto. Hahaha!
Lihatlah foto di atas. Kelihatannya kami sedang berpose di salah satu bagian lorong dari Masjid Sumur Gumuling, ya? Padahal, tidak banget. Kami cuma berpose di depan lukisan, kok. Lukisan yang dibikin semirip banget dengan aslinya. Berhubung tadi tidak ada potret utuh bentuk lorong masjid yang bersangkutan, kiranya foto ini mampu memperlihatkannya kepada Anda sekalian.
jadi pengen di poto di lorong he
BalasHapusbolehhhh, hayuuk ikutann
Hapus