SIANG di medio Januari, tapi mentari cetarnya minta ampun. Gegara di dalam rumah super gerah, aku melangkah keluar rumah. Berdiri di pinggir pintu dapur dengan tujuan mencari angin. Tapi kok, oh la la! Dedaunan tak menari sekalipun pelan saja. Itu berarti tiada angin yang bertiup menghembusnya. Artinya, tetap saja terasa gerah walaupun sudah mejeng di luar rumah. Padahal, masih banyak pepohonan di sekitar situ. Apa betul, kiamat sudah demikian dekat? Matahari tinggal nyaris sepenggalah tingginya? Ah!
Sungguh sebuah siang yang bikin gundah. Lihat jalanan kampung yang berkonblok itu. Tampak kering, berdebu, dan lengang. Kiranya orang-orang enggan bepergian sebab cuaca yang panas. Biasanya jalanan samping rumahku itu selalu ramai, lho. Kendaraan apa saja hilir mudik. Orang-orang dari berbagai profesi dan strata sosial-ekonomi pun kerap berlalu lalang. Ada PNS Dinas Sosial yang kantornya di mulut gang, ada pelajar dan mahasiswa, ada petani (maklum aku tinggal dekat areal persawahan), ada tukang odong-odong, tukang bakpao, tukang es krim, dan lain-lain makanan. Bahkan, tukang Zalora yang sepeda motornya didesain khusus itu pun kerap wara-wiri di jalanan dekat rumahku itu. Hmmm. Dusunku memang keren. Dekat sawah, tapi tetap kekinian. Hehehe....
Kegaduhan di benakku terhenti seketika tatkala tetiba ada yang mengguncang-guncang tanganku. "Budhe, Budhe, bapakku sudah pulang dari Cirebon." Radit! Tetangga kecilku yang baru beberapa bulan jadi siswa TK A.
"Sudah pulang? Kapan?" Tanyaku antusias sekaligus dipenuhi rasa syukur.
"Baru saja. Tapi tidak bawa oleh-oleh. Padahal biasanya bawa oleh-oleh dari Cirebon. Apalagi kalau perginya lama," cerocos Radit. Tapi tampak sekali matanya berbinar-binar penuh rasa bahagia.
Aku tersenyum dan mengelus sayang kepalanya. "Enggak apa-apa. Yang penting bapakmu sudah pulang. Radit bisa main-main lagi dengan bapak."
Radit yang pintar dan lincah itu melompat dan kemudian berlari pulang. Aku tersenyum memandanginya. Dan senyumku makin lebar, ketika kudengar ia berteriak keras, "Bappaaakk!"
Huft! Betapa hidup memang tak terduga dari banyak sendinya. Siapa yang menyangka kalau rasa gerahku siang ini, ternyata membuatku keluar rumah? Lalu, merenung di siang bolong gegara melihat jalanan yang lengang. Lalu, didatangi Radit yang pamer bahwa bapaknya sudah pulang.
Hmmm. Alhamdulillah, Alhamdulillah. Bapak Radit sudah pulang siang ini. Bukan, bukan dari Cirebon seperti yang dibilang sang anak. Tapi pulang dari hotel prodeo alias bui. Ya, Radit dibohongi ibunya, dikasih tahu kalau sang ayah lagi pergi ke Cirebon.
Yeah... sejak 15 September 2015 bapak Radit memang dipenjara bersama sepuluh orang lainnya. Mereka tertangkap basah sedang berjudi sabung ayam, togel, dan kartu. Kala itu seperti biasa mereka sedang berjudi di dusun sebelah. Namun apesnya, selama beberapa hari sebelumnya telah diawasi oleh polisi dan malam itulah penyergapan dilakukan. Kena, deh! Diangkutlah mereka semua ke kantor polisi. Termasuk bapak Radit.
Sungguh sebuah siang yang bikin gundah. Lihat jalanan kampung yang berkonblok itu. Tampak kering, berdebu, dan lengang. Kiranya orang-orang enggan bepergian sebab cuaca yang panas. Biasanya jalanan samping rumahku itu selalu ramai, lho. Kendaraan apa saja hilir mudik. Orang-orang dari berbagai profesi dan strata sosial-ekonomi pun kerap berlalu lalang. Ada PNS Dinas Sosial yang kantornya di mulut gang, ada pelajar dan mahasiswa, ada petani (maklum aku tinggal dekat areal persawahan), ada tukang odong-odong, tukang bakpao, tukang es krim, dan lain-lain makanan. Bahkan, tukang Zalora yang sepeda motornya didesain khusus itu pun kerap wara-wiri di jalanan dekat rumahku itu. Hmmm. Dusunku memang keren. Dekat sawah, tapi tetap kekinian. Hehehe....
Kegaduhan di benakku terhenti seketika tatkala tetiba ada yang mengguncang-guncang tanganku. "Budhe, Budhe, bapakku sudah pulang dari Cirebon." Radit! Tetangga kecilku yang baru beberapa bulan jadi siswa TK A.
"Sudah pulang? Kapan?" Tanyaku antusias sekaligus dipenuhi rasa syukur.
"Baru saja. Tapi tidak bawa oleh-oleh. Padahal biasanya bawa oleh-oleh dari Cirebon. Apalagi kalau perginya lama," cerocos Radit. Tapi tampak sekali matanya berbinar-binar penuh rasa bahagia.
Aku tersenyum dan mengelus sayang kepalanya. "Enggak apa-apa. Yang penting bapakmu sudah pulang. Radit bisa main-main lagi dengan bapak."
Radit yang pintar dan lincah itu melompat dan kemudian berlari pulang. Aku tersenyum memandanginya. Dan senyumku makin lebar, ketika kudengar ia berteriak keras, "Bappaaakk!"
Huft! Betapa hidup memang tak terduga dari banyak sendinya. Siapa yang menyangka kalau rasa gerahku siang ini, ternyata membuatku keluar rumah? Lalu, merenung di siang bolong gegara melihat jalanan yang lengang. Lalu, didatangi Radit yang pamer bahwa bapaknya sudah pulang.
Hmmm. Alhamdulillah, Alhamdulillah. Bapak Radit sudah pulang siang ini. Bukan, bukan dari Cirebon seperti yang dibilang sang anak. Tapi pulang dari hotel prodeo alias bui. Ya, Radit dibohongi ibunya, dikasih tahu kalau sang ayah lagi pergi ke Cirebon.
Yeah... sejak 15 September 2015 bapak Radit memang dipenjara bersama sepuluh orang lainnya. Mereka tertangkap basah sedang berjudi sabung ayam, togel, dan kartu. Kala itu seperti biasa mereka sedang berjudi di dusun sebelah. Namun apesnya, selama beberapa hari sebelumnya telah diawasi oleh polisi dan malam itulah penyergapan dilakukan. Kena, deh! Diangkutlah mereka semua ke kantor polisi. Termasuk bapak Radit.
Apa boleh buat? Karena yang tertangkap sebelas orang, ditebus seratus juta rupiah pun tak diterima oleh Pak Polisi. Masih kurang banyak jumlahnya. Sementara itu, para istri mereka berpikir realistis. Ogah cari uang sebanyak itu untuk menebus mereka. Kata para istri, "Kalaupun punya uang ratusan juta, mending buat foya-foya. Yang dipenjara biarlah dipenjara. Biar jadi pelajaran agar sembuh penyakit judinya. "
Hmm. Dapat kumaklumi jalan pemikiran para istri itu. Walhasil, para bapak itu pun terpaksa menjalani hari-hari di hotel prodeo. Suka tidak suka. Sebab tak ada yang sudi menebusnya. Eh, tapi dengar-dengar sebelum betul-betul keluar dari hotel prodeo, tiap orang wajib setor @Rp5.000.000,00 Duh, aduh. Bagaimana itu Pak Polisi? Masak ada tebusan segala untuk membebaskan diri dari bui?
Oalah bapakmu Dit, Radit. Untuk berkumpul lagi denganmu saja butuh lima juta, lhoo. Sama dengan biaya kontrak rumahmu per tahun. Sungguh-sungguh aku doakan, "Semoga bapakmu tidak pernah ke "Cirebon" lagi.
#sengaja Radit tak kupotret demi menjaga harga dirinya beserta seluruh keluarga besarnya.
Sisi gelap Indonesia. Baidewei, masalah togel ini sudah bisa kaujadikan novel yang Indonesia banget. Eh ... eh ... kok ada frasa 'tukang zalora' kuwi maksudnya apah? Hihihi ...
BalasHapushaii.....ngiklan kerja sama dongg
Hapus