HALO, kita jumpa lagi nih dalam postingan tentang batik ikat celup alias batik jumputan. Silakan tengok dulu "Batik Ikat Celup (1)" di postingan beberapa hari lalu, ya. Supaya lebih paham dalam membaca postingan yang ini. Gitu lho maksudnyaaa hahaha....
Baiklah. Pada postingan pertama tentang batik ikat celup, aku berjanji untuk memperlihatkan foto-foto proses mencelupnya. Alhamdulillah, berhasil juga aku menghimpun foto-foto yang kuperlukan dan kujanjikan itu. Tolong garis bawahi, hanya menghimpun; bukan memotret sendiri. Aha!
Ngomong-ngomong, mengapa harus dicelup? Lho, 'kan namanya batik ikat celup? Setelah kain polosan dijumput dan diikat-ikat sesuai selera untuk membuat motifnya, selanjutnya dicelup. Maksudnya dicelupkan ke cairan pewarna alias diwarnai. Usai diwarnai, baru dijemur sampai kering. Setelah kering, lalu dilepaskan ikatan-ikatannya. Begitulah prosesnya.
Terdengar sederhana dan singkat 'kan proses pewarnaannya? Tapi dalam kenyataannya, tidak demikian. Malam sebelum diwarnai, kain-kain polosan yang penuh ikatan direndam terlebih dahulu. Baru paginya dicelup-celup. Persiapan mencampur warna pun terasa ribet bagi pemula sepertiku ini. Belum lagi cara mencelup yang tidak asal mencelup supaya hasilnya bagus.
Yang bikin jemu itu proses pengeringannya. Usai dicelup lalu dijemur, nungguuuu lama, sesudah kering diulangi tuh proses pencelupannya. Haiyaaa, dijemur lagi, ditunggu sampai kering lagi. Setelah kembali kering, barulah dibuka ikatannya. FINISH!
Ah, ah, ah. Aku tak suka bertele-telenya. Sampai 2 hari deh enggak buka komputer sebab mencelup dan melepas ikatan. Huft! Mana sedang dikejar DL naskah. Hehehe.... Tapi poinnya adalah, aku jadi paham mengapa harga batik mahal. Yang kami buat cuma batik jumputan, teknik yang paling sederhana, eh sudah lama prosesnya. Apalagi kalau batik tulis yang dilukis-lukis pakai canting itu. Pantas saja bisa jutaan rupiah harganya.
Sudahlah. Yuk, aku ajak Anda sekalian untuk mengenang masa-masa mencelup dan mengeringkan itu. Tarrrrraaaa.... #Jadi-inget-Mbak-Zukhruf
Kegiatan mewarnai ini memang lumayan asyik. Kapan lagi coba, mulai
pagi-pagi hingga sore hari kami berkumpul bersama? Berhahahihi lupakan segala
kepenatan hidup. Mengudap singkong goreng dan makan siang nasi padang bersama.
Jeda hanya ketika waktu shalat dan sejenak nengok keadaan rumah masing-masing.
Hehehe....
Baiklah. Pada postingan pertama tentang batik ikat celup, aku berjanji untuk memperlihatkan foto-foto proses mencelupnya. Alhamdulillah, berhasil juga aku menghimpun foto-foto yang kuperlukan dan kujanjikan itu. Tolong garis bawahi, hanya menghimpun; bukan memotret sendiri. Aha!
Ngomong-ngomong, mengapa harus dicelup? Lho, 'kan namanya batik ikat celup? Setelah kain polosan dijumput dan diikat-ikat sesuai selera untuk membuat motifnya, selanjutnya dicelup. Maksudnya dicelupkan ke cairan pewarna alias diwarnai. Usai diwarnai, baru dijemur sampai kering. Setelah kering, lalu dilepaskan ikatan-ikatannya. Begitulah prosesnya.
Terdengar sederhana dan singkat 'kan proses pewarnaannya? Tapi dalam kenyataannya, tidak demikian. Malam sebelum diwarnai, kain-kain polosan yang penuh ikatan direndam terlebih dahulu. Baru paginya dicelup-celup. Persiapan mencampur warna pun terasa ribet bagi pemula sepertiku ini. Belum lagi cara mencelup yang tidak asal mencelup supaya hasilnya bagus.
Yang bikin jemu itu proses pengeringannya. Usai dicelup lalu dijemur, nungguuuu lama, sesudah kering diulangi tuh proses pencelupannya. Haiyaaa, dijemur lagi, ditunggu sampai kering lagi. Setelah kembali kering, barulah dibuka ikatannya. FINISH!
Ah, ah, ah. Aku tak suka bertele-telenya. Sampai 2 hari deh enggak buka komputer sebab mencelup dan melepas ikatan. Huft! Mana sedang dikejar DL naskah. Hehehe.... Tapi poinnya adalah, aku jadi paham mengapa harga batik mahal. Yang kami buat cuma batik jumputan, teknik yang paling sederhana, eh sudah lama prosesnya. Apalagi kalau batik tulis yang dilukis-lukis pakai canting itu. Pantas saja bisa jutaan rupiah harganya.
Sudahlah. Yuk, aku ajak Anda sekalian untuk mengenang masa-masa mencelup dan mengeringkan itu. Tarrrrraaaa.... #Jadi-inget-Mbak-Zukhruf
Inilah hasil ikatan yang terbaik. Nyaris tak ada ruang kosong yang tersisa di sela-sela ikatannya (jumputannya). Itu buah karya Mbah Sukap, anggota dawis 1 yang paling senior. Hehehe... yang muda-muda kalah, deh. Sayang sekali Mbah Sukap tak hadir. Belum pulang dari jualan di pasar.
Persiapan mencelup. Setelah Pak Guru Mardi bikin adonan warna, kini saatnya memberi contoh. "Siap, ya. Tuangkan segayung warna saja di bak darurat ini. 'Ntar satu per satu, lembar per lembar saja mencelupnya."
Kata Pak Guru lagi, "Sekarang kita ambil selembar kain penuh ikatan. Oke?"
Para siswa serius menyimak penjelasan Pak Guru Mardi. Sudah pasti dengan tingkat kepahaman dan antusiasme yang berlainan. Hahaha....
"Begini cara mencelupnya. Masukkan kain ke dalam cairan warna secara perlahan-lahan. Harus diratakan, ya. Eh, Bu Ari kok mau megang-megang tangan saya?" Wah, Pak Guru Mardi suka GR!
Sesudah diberi contoh, siap mengeksekusi sendiri. Siapa takut? Maka masing-masing sibuk mencari hasil ikatannya.
Sekian waktu berlalu, lembar demi lembar kain ikatan sudah tercelup. Lihatlah di latar belakang sana. Ada jemuran-jemuran nan menggantung indah 'kan? Itulah calon batik-batik kami yang sedang dalam proses pengeringan tahap pertama.
"Pak Guru, ini gimana? Kami 'kan memilih warna biru? Kok dikasih warna merah jambu begini?" Protes Bu Ketua Dasa Wisma I. Aih, sabarlah Buuuuk. Awalnya memang merah jambu. Tapi nanti berubah jadi biru, lho. Tapi Bu Ketua belum mau percaya begitu saja.
Itu aku, lho. Sengaja tidak menoleh ke kamera saat dipotret. Pencitraan boleh saja toh? Pura-pura sibuk dan serius.
Entahlah ini lagi pada
ngapain?
Celup-celupnya dilanjut, dong.
Tampak di kejauhan ada yang minum. Tapi kok sambil berdiri, mana pakai tangan
kiri pula. Duuuh!
Yang sedang in action mencelup itu
Ibu Dartik. Profesinya penjual makanan dan minuman di alun-alun kidul Jogja.
Makanan dan minuman yang dijualnya diolah sendiri. Nah, kita lihat saja. Apakah
tingkat kepiawaiannya mencelup bakal batik sama tinggi dengan tingkat
kepiawaiannya mengolah bahan pangan?
Tuh 'kan si merah jambu sudah
berubah biru. Barulah Bu Ketua percaya terhadap perkataan Pak Guru Mardi.
Yang
sedang membalik lembaran si biru itu Ibu Atika. Anggota kami yang termuda.
Usianya kurleb 17 tahun. Eh! Mengapa tadi dijemur di tali, tapi kini dipindah
di hamparan rerumputan? Hehehe.... Gantian tempat saja, kok. Yang sudah
setengah gila, eh, setengah kering diturunkan. Yang masih buasaaah digantung.
Adil 'kan?
Di atas adalah Pak Guru Mardi, Ibu
Yudi, dan Ibu Etik. Kedua ibu tersebut bukanlah anggota dawis kami. Tapi mereka
mendaftar sebagai peserta sebab ingin kecipratan ilmu membatik juga. Sip lah.
Kami pun tak egois mau pintar sendiri. Saat pertemuan PKK se-RT sudah kami
umumkan, barangsiapa mau ikut belajar membatik dipersilahkan mendaftar. Eh,
yang mendaftar dari luar dawis kami cuma 3 orang. Lho? Satunya lagi mana? Tidak
ada di foto itu. Lagi pipis mungkin. Hihihi... :D
Pak Guru Mardi sedang mencelup
ikatan ke dalam warna merah. Ini khusus untuk 3 peserta luar dawis tadi. Eh,
warna merah itu semula hijau lho. Tuuuh, cermati saja foto di atas foto yang
ini. Agak kehijauan, bukan? Eh, tahu-tahunya berubah merah begini. Kayak
sulapan.
Wowww! Si merah tengah ditiriskan.
Kalau yang merah ini teknik pewarnaannya beda dengan yang biru tadi. Si merah
tak perlu dijemur di bawah terik matahari. Dan, hanya butuh satu kali saja
proses pencelupannya. Wah! Andai tahu ada warna-warna tertentu yang gak butuh
terik sang surya, lebih simpel waktu pencelupannya, aku tentu akan lebih
memilihnya. Lalu, teman-teman sedawis akan kuprovokasi untuk memilih yang simpel.
Aktivitas menjemur yang kami lakukan di tepi jalan pun mengundang lirikan
para pengguna narkoba, eh, pengguna jalan. Raut wajah mereka penuh rasa ingin
tahu. Mereka menengok dan tampak terpesona pada senyuman manis kami.
Halah!
Tapi bener, kok. Aktivitas kami menarik dan mengundang penasaran.
Buktinya Ustazah Nur Hikmah yang baru pulang mengajar, sampai menghentikan
motornya untuk bertanya-tanya. Tak cukup itu. Beliau lalu memarkir
kendaraannya, turun, berbaur dengan kami. Hehehehe.... Itu lho, yang pakai
gamis hitam dan kerudung pink lebar itulah sosok Ustazah Nur Hikmah.
Oke. Postingan kali ini kok panjang dan lebar
sekali, ya? Semoga Anda sekalian tidak bosan membacanya. Ingat, Allah SWT saja
memerintahkan kita manusia untuk membaca. Iqra! Bacalah, bacalah,
bacalah!
MORAL CERITA:
Bahagia itu sederhana. Cukup nikmati saja
kehidupanmu yang sekarang. Kalau gak punya duit buat piknik ke mal, ya
berhahahahihihi saja dengan teman-teman sedawis. Sembari belajar bikin batik,
sembari bercerita apa saja. Yang penting tidak berbuat anarkis.
Mbak, aku pernah lho, bikin batik celup ini sama murid-muridku. Tapi ya bikinnya yang kecil aja, seukuran sapu tangan atau selendang. Tapi seru memang :)
BalasHapusini dua meter Mbaaak...ada yang tiga meter jugaa...dan aku capeekkk hahaha...
Hapus