ADIBA memang unik. Ajaib, menakjubkan
dalam tanda kutip, dan piawai menyusun kata. Kukira, kecerdasan
linguistiknya di atas rata-rata. Alias, kemampuannya bersilat lidah
demikian tak terduga. Hmmm. Logikanya pun acap kali menelikung jalan
yang tak semestinya. Halahh, opo tho ikiihh? Hihihi....
Pokoknya
Adiba itu kerap kali punya logika gila dalam memandang suatu hal. Nah!
Ini, nih. Tampaknya dalam hal beginian aku ketularan dia, deh. Atau
jangan-jangan, dia yang ketularan aku? Nah, nah, nah.
Ada
banyak pengalamanku bersamanya terkait logika gila itu. Demikian pula
yang terkait dengan dunia persilatan lidah. Acap kali jiwaku
terguncang-guncang juga sebab kepiawaiannya menyusun kata dan logika...
yang khusus ditujukannya kepadaku!
Seperti
kemarin sore. Saat kami sedang menonton acara berita di TV. Tatkala itu
sang reporter sedang menyampaikan narasi, "Kadang kala hidup memang
terasa berat... bla-bla-bla....."
Eh,
langsung saja Adiba menyahut. "Iya, memang. Hidup memang kadang-kadang
terasa sangat berat." Mimik mukanya serius ketika itu. Aku yang duduk di
sebelahnya pun terpana. Seketika hatiku merapuh. Teringat perjalanan hidup kami yang penuh kejutan di tiap kelokan tajamnya. Ya, aku mendadak jadi amat serius menyelami perkataannya.
"Hmm. Kamu merasa kalau selama ini, hidupmu terasa berat?" Aku bertanya hati-hati. Dengan mantap Adiba mengangguk dan mengiyakan. Lagi-lagi aku terpana, lalu bertanya, "Di bagian kehidupan kita yang mana?"
"Saat Bunda memarahiku. Terus, saat melihat Bunda bertambah gemuk." Adiba menjawab dengan mantap dan telak. Wah! Tentu saja aku tak setuju dengan perkataannya. Aku toh tak sepemarah dan tak segemuk itu. Hmmm. Maksudku tak berat-berat amat kadar marah dan gemukku. Proporsional, kok. Hihhh!
Yuk, perhatikan dua foto Adiba di bawah ini. Itu fotonya saat ia bersama teman-teman sekampung nonton Sekaten tempo hari. Saat Desember 2015 lalu. Masak tampangnya yang begitu merupakan tampang yang penuh beban berat kehidupan? Tolong perhatikan baik-baik, deh. Oiya, Adiba yang berkerudung abu-abu.
"Hmm. Kamu merasa kalau selama ini, hidupmu terasa berat?" Aku bertanya hati-hati. Dengan mantap Adiba mengangguk dan mengiyakan. Lagi-lagi aku terpana, lalu bertanya, "Di bagian kehidupan kita yang mana?"
"Saat Bunda memarahiku. Terus, saat melihat Bunda bertambah gemuk." Adiba menjawab dengan mantap dan telak. Wah! Tentu saja aku tak setuju dengan perkataannya. Aku toh tak sepemarah dan tak segemuk itu. Hmmm. Maksudku tak berat-berat amat kadar marah dan gemukku. Proporsional, kok. Hihhh!
Yuk, perhatikan dua foto Adiba di bawah ini. Itu fotonya saat ia bersama teman-teman sekampung nonton Sekaten tempo hari. Saat Desember 2015 lalu. Masak tampangnya yang begitu merupakan tampang yang penuh beban berat kehidupan? Tolong perhatikan baik-baik, deh. Oiya, Adiba yang berkerudung abu-abu.
MORAL CERITA:
Entah diucapkan secara sungguh-sungguh atau bercanda, dengan melibatkan perasaannya yang terdalam ataukah tidak, ucapan Adiba toh membuatku termotivasi untuk memperbaiki diri. Supaya ke depannya menjadi ibu yang makin ciamik di matanya dan terutama di mata-Nya. Hmm. Kurasa, Dia Yang Maha Meringankan sedang menyentilku lewat ucapan jail anakku. Nah, bagaimana menurut Anda?
Entah diucapkan secara sungguh-sungguh atau bercanda, dengan melibatkan perasaannya yang terdalam ataukah tidak, ucapan Adiba toh membuatku termotivasi untuk memperbaiki diri. Supaya ke depannya menjadi ibu yang makin ciamik di matanya dan terutama di mata-Nya. Hmm. Kurasa, Dia Yang Maha Meringankan sedang menyentilku lewat ucapan jail anakku. Nah, bagaimana menurut Anda?
Aku jadi ingin tahu seperti apa kau memarahi Diba, karena sependek pengetahuanku, kau tak pernah marah pada saat kupikir semestinya kau harus marah.
BalasHapushahaha...itulah makanya aku protes bin gak setuju dengan ucapan Diba...justru dia yang suka memberatkan hidupku heu heu heu
Hapus