SEBERMULA kisahnya begini. Pada suatu senja yang lelah, tatkala aku barusan tiba di rumah, entah dari ngider
ke mana, tetiba seorang ibu muda dengan seorang batita dalam gendongan
menghampiriku. Di sampingnya ada seorang gadis belia yang menyertai.
Setelah
sapaan awal berisi perkenalan singkat, disambung dengan pemaparan
maksud dan tujuannya mencariku (halah... resmi nian kalimatnya),
akhirnya deal tercapai. Yakni deal bahwa aku akan menjadi
guru les bahasa Indonesia bagi si gadis belia. Sesungguhnya kala itu aku agak degdegan.
Aku takut salah. Seumur hidupku, baru sekali ini sajalah aku menjadi
guru les. Mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang Indonesia asli.
Sewaktu
kuliah memang beberapa kali jadi tutor bahasa Indonesia. Hmm. Tutor itu
tak beda jauhlah dengan guru les. Tapi yang ditutori para mahasiswa
asing. Jadi, mereka memang murni belum banyak paham bahasa Indonesia.
Lain halnya dengan murid lesku yang asli Indonesia ini. Pada dasarnya ia
sudah pintar. Peringkat akademiknya sudah di deretan atas. Tujuan les
adalah mendapatkan nilai minimal 9. Duh! Makin takut aku jadinya.
Namun dengan ucapan basmalah,
aku hadapi saja kesempatan itu sebagai tantangan. Tantangan terhadap
diriku sendiri, dong. Sanggupkah aku melawan ketidakpedeanku? Sanggupkan
aku belajar menjadi seorang guru les yang baik dan benar?
Alhamdulillah,
seiring dengan berjalannya waktu, terbukti aku mampu dengan lumayan.
Hehehe.... Takut dibilang sombong kalau kubilang mampu dengan sukses. Tak terasa sudah sekian waktu predikat guru les kusandang. Sejak November 2015 lalu. Semoga berkah, bermanfaat dunia-akhirat. Aamiin.
MORAL CERITA:
Dalam banyak hal, seberapa pun kadarnya, kita perlu menaklukkan rasa ragu dan tak mampu!
wowww, kalau mengajar les jangan lupa sekarang nggak pake EYD lo. Sekarang adanya EBI hehe
BalasHapushaha...
Hapus