YUP! Revolusi mental! Kiranya inilah satu hal yang bisa kusimpulkan dari perbincangan pagi uthuk-uthuk dengan seorang teman. Ampyuuun, deh. Sepagi itu dan aku tergugu dalam sebuah rasa yang sendu. Sendu sebab bangsaku. Iya, bangsaku. Bangsaku tercinta yang lagi "sakit" dan perlu "diobati".
Temanku itu barusan kelar mendampingi para pelaku UKM untuk mendapatkan izin usaha. Mumpung ada pemutihan menjelang berlakunya MEA. Dan kini, ia sedang terlibat dalam projek pelaksanaan program PKBM (= Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Lembaga tempatnya bekerja bertindak sebagai pengawas. Iya. Karena Desember 2015 lalu barusan ada penggelontoran dana sebesar 60 juta rupiah, awal Januari 2016 mulai ada cek ricek terkait pemanfaatan dana tersebut.
Dari pengalamannya terkait dengan dua projek pekerjaannya, ada satu benang merah yang menyatukan. Sayangnya menyatukannya dalam hal yang cenderung negatif. Yakni kedua projek tersebut sama-sama bersentuhan dengan birokrasi dan oknum-oknum yang suka ribet. Tepatnya meribetkan sesuatu yang mestinya bisa dibikin simpel.
Ada pegawai kelurahan yang lambat gaya pelayanannya; enggak efektif bin bertele-tele. Ada staf kecamatan yang suka mengulur-ulur urusan yang mestinya pringkas saja. Ada Pak Dukuh yang duileeeh... sikap berkuasanya melebihi Pak Lurah.
Ada ketua PKBM yang saling lempar tanggung dengan anak buahnya. Masak hanya untuk mengecek dana bantuan, apakah sudah masuk rekening organisasi ataukah belum, saling suruh? Akibatnya sampai lebih dari sebulan tak ada yang mengecek. Untungnya dana sudah masuk ke rekening mereka. Kalau belum masuk berarti hangus. Berarti PKBM mereka batal dapetin bantuan dana. Harus menunggu setahun lagi untuk pengajuan permohonannya.
Lalu, untuk sekadar membuat laporan singkat bahwa dana telah mereka terima pun butuh waktu seminggu. Penyebabnya ya merasa saling iri, siapa yang mestinya membuat laporan? Di samping itu, mereka beralasan tak bisa bikin laporan. Padahal, ada pihak yang jelas-jelas bisa dimintai bantuan di sekitar mereka. Jadi, mengapa tidak bertanya?
Sepertinya tak bisa hanyalah sebuah alasan. Masak sih tidak bisa? Toh pengelola PKBM itu ada yang lulusan S-1, ada yang guru, bahkan ada Pak Lurahnya pula. Sangat mustahil bila tak ada satu pun dari mereka yang tak bisa bikin laporan. Duh, duh, duh. Gemes banget saiaaa. Maka hingga si teman pulang, saya malah tak kunjung move on dari rasa gemes itu.
Duh, bangsaku. Plis, deh. Yok, lakukan revolusi mental kita masing-masing. Agar menjadi manusia-manusia yang bermanfaat dan ke depannya, dapat memperbaiki situasi Indonesia masa kini. Kalau mental kita masih senantiasa mental enggak mau berkorban dan saling lempar tanggung jawab, apa jadinya negeri ini?
*Saya koarkan revolusi mental bukan sebab saya pendukung buta Pak Jokowi, lho! Camkan itu!
Sempatkanlah merenung dan berpikir ulang di tepi pantai seperti ini, demi menyusun rencana-rencana untuk merevolusi mental kita.... |
jadi aku harus camkan saja, tak boleh komen, begitu? bener mbak...sejatinya revolusi mental harus dimulai dari diri kita sendiri (ngacung yang belum sukses merevolusi mental), sayangnya justru karena yang mempopulerkan jargon revolusi mental adalah pak jokowi, maka hampir 50% penduduk Indonesia yang gagal move on dan bersikukuh menjadi haters, mengolok-olok jargon yang sesungguhnya baik itu. Ironis, mengingat Pak Jokowi itu adalah Presiden kita. Kok, ngomongin Jokowi, yo?
BalasHapusSoal birokrasi ... hmm, memang demikian adanya. Nah, aku jadi punya ide. Revolusi mental itu memang harus dimulai dari kita. Tapi kalau nggak ada kesadaran ya percuma. Menurutku mereka para PNS, perangkat RT, RW, dan terus ke atas, itu juga yang harus mula-mula mendukung dengan tekad bulat sebuah upaya revolusi mental. Satu contoh yang sudah dilakukan yaitu melalui program bela negara yang rada kontroversial itu.
Namanya juga revolusi. Harusnya terjadi secara cepat dan menohok. Tapi praktiknya seperti menjalani sebuah evolusi mental...evolusi yang berjalan perlahan...sepelan berubahnya satu makhluk dinosaurus menjadi sapi atau burung.
Tapi kita tidak boleh pesimis. Kalau tak bisa bertindak langsung, kita masih punya senjata andalan, yaitu doa. Selama penduduk Indonesia masih ada yang berdoa dengan sungguh-sungguh untuk keselamatan Indonesia, kukira, kita masih dapat berbesar harapan. Aaamiin.
Merdeka!
*btw, komenku iso nggo sak postingan dewe...hehehe
yoiiii Mbak Indaaahhh....jadikanlah komentarmu sebagi postingan, bahkan calon artikel ... okee??? Slama revolusi mental tiada henti!
Hapuseh, maksudku salam revolusi mental tiada henti!
Hapuslagi riweuh...buk...mau merevolusi mentalku sendiri dulu
Hapus