Sabtu, 06 Februari 2016

DAN AKU MENANGIS...




TIGA foto di atas dikirimkan kepadaku oleh seorang kawan. Kala itu dia usai menerima paketan buku dariku. Paketan buku yang tentu kusertai dengan sepucuk surat pengantar penuh kasih. Ya, dia merupakan salah satu dari sekian banyak relasiku yang bersedia membeli karyaku. Alhamdulillah, betapa Allah SWT memberiku teman-teman yang mau berbaik hati begitu. 

Kawanku itu merupakan kawan masa kecil. Orang tua kami saling bertetangga di kampung halaman sana, hingga sekarang. Namun sejujurnya tersebab banyak hal, sejak kuliah sampai kini kami justru tak pernah lagi bersua. Padahal, kami sama-sama kuliah di Jogja. Alhamdulillah FaceBook akhirnya mempertemukan kami kembali.

Singkat cerita sejak pertemuan di FaceBook, kami jadi lumayan kerap berkomunikasi. Hingga kemudian kami saling tukar nomor kontak pribadi. Dan pada suatu ketika, tatkala aku buka lapak online amatiran untuk jualan buku karyaku, dia ikut membeli. 

Yeah! Sampai di sini kelihatannya ini merupakan sebuah kisah yang biasa saja. Seorang kawan membeli buku karya temannya. Entah bagus atau kurang bagus, yang penting bikin teman senang sebab hasil karyanya dibeli dan dibaca. Sebab tak ada interaksi khusus apa pun dengannya setelah pembelian buku itu, aku pun tak tahu "efek" dari Jangan Bersedih-ku terhadapnya.

Bagaimana bisa tahu efek? Lha wong dia kemudian seolah menghilang ditelan awan Papua (dia tinggal di Papua dalam rangka pengabdian kepada negara). Ditambah lagi, aplikasi WA-ku error. Maka komplet sudah ketidakterhubungan kami. Hingga akhirnya kemarin malam, jelang waktu shalat Isya dia tetiba menelepon. 

Oh la la! Rupanya buku yang diterbitkan oleh Syura Media Utama Jogja itu telah amat menyentuh hatinya. Ya, teleponnya itu mengabarkan demikian kepadaku. Dia bilang amat bersyukur masih berkesempatan untuk bisa membaca buku itu. Sebelum... pada Januari lalu mendadak tak bisa melihat terangnya dunia lagi. Padahal kata dokter spesialis mata yang dahuluuu merawatnya, matanya sudah baik-baik saja. Faktanya?

Duh, Gusti Allah Yang Maha Segalanya. Aku yang paling sulit menunjukkan kesedihan dengan air mata pun tak kuasa menahan tangis. Tapi sekuat tenaga aku tahan sedu sedanku agar tak terdengar olehnya yang tengah berada di ujung telepon sana. Huft! Dia tak boleh ikut menangis, sesedih apa pun hatinya. Sebab tangisan itu akan bikin syaraf matanya kian terganggu.

Dan begitu dia menutup telepon, seiring dengan terlantunkannya azan Isya, tangisku kupecahkan sepecah-pecahnya. Betapa dalam 30 menit perbincangan kami tadi, segenap empati-simpati-iba-takut-syukur-tak berdaya berjejalan dalam benak dan hatiku.

Aku menangis. Iya, aku menangis dan sungguh-sungguh menangis. Dalam durasi yang lumayan lama, dengan impresi yang sebegitu rupa. Aku makin merasa kecil di hadapan-Nya. Tangisku pun makin keras sebab mengingat, kawanku itu malah mengucapkan terima kasih kepadaku. Dia bilang Jangan Bersedih membuatnya lebih kuat.... #Ya Allah, Ya Rabb, sungguh kekuatan itu dari-Mu sahaja dan aku hanya perantara

Alhamdulillah dia menyukai isi buku Jangan Bersedih; sebuah buku yang kutulis dengan sepenuh emosi sebab memang referensinya dari pengalamanku pribadi. Alhamdulillah dia bisa termotivasi untuk berusaha lebih ikhlas menerima keadaannya. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Aku sungguh-sunggguh bersyukur bahwa aku masih diperkenankan-Nya untuk melihat keindahan plus kehancuran dunia. Aku juga amat bersyukur bahwa sharing pengalamanku bisa memotivasi orang lain. Sekali lagi, Alhamdulillah....

Dan harap dicatat dengan tinta tebal-tebal, aku ini sama sekali bukan orang hebat sehingga bisa menginspirasi orang lain. Ah, siapalah aku ini? Percayalah. Aku ini hanyalah binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya. Maka aku menangis sebab malu diterimakasihi. Aku justru salut kepada kawanku itu, yang bisa tabah menghadapi ujian-Nya yang berat itu. Iya, berat. Jauh lebih berat daripada ujianku sendiri beberapa tahun lalu.   

MORAL CERITA:
Karena tulisan bisa berefek luas, lebih baik kita menulis yang baik-baik saja. Menulis tentang hal-hal yang positif dan yang negatif itu sama-sama butuh waktu dan butuh pikiran. Jadi, kenapa tidak memilih yang positif saja?


10 komentar:

  1. Makasih sharingnya, Mbak. Menulis yang baik-baik ... insyaAllah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa ,mbak..
      Tulisan kita bisa mnjadi amalan jatiah kita bila kira niatin ibadah

      Hapus
  2. Thanks for sharing mbak, tulisan baik2mu itu selalu kau tulis dengan hati sehingga menyentuh nurani banyak orang. Jempol banyak untukmu ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, makasih apresiasimu Mbak Irfa, smoga pula aku memang pantes dapet jempol sebagaimana yg kau sangkakan itu. Aaamiiin

      Hapus
  3. Saya akan siap jadi pembaca Buku njenegan, ingin belajar banyak lewat buku Bunda. Tunggu saya ... beli buku-bukunya ya bund he he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih Mbak...makasih...silakan belajar dari situ bilang memang ada yg pantas untuk dipelajari... Tapi jangan lupa, dunia juga menunggu karyamu ya

      Hapus
  4. Menulis yang positif, oke noted!

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak....sungguh, menulis itu jadi terasa demikian berat bila mengingat bahwa akan ada pertanggungjawabannya kelak...di yaumul hisab

      Hapus
  5. Aku mau mulai..nulis lg mba.. makasih sdh berbagi motivasi

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!