Almarhum BagBud (baju lorek-lorek) berpose bareng rekan-rekan kerjanya. Sebuah acara kantor yang berubah menjadi acara jumpa fans dengan Andrea Hirata (baju putih). Ya, BagBud dan Andrea Hirata dulunya memang sama-sama kerja di Telkom. Foto di atas sengaja dikirimkan almarhum kepadaku sebab dia tahu kalau aku ngefans berat pada Laskar Pelangi.
JUJUR, sampai hari ini aku masih berduka. Sebuah duka yang lumayan dalam menghunjam perasaanku. Bahkan semalam, antara tidur dan terjaga, aku dengan jelas melihat wajahnya. Wajah yang tersenyum ramah.... Wajah almarhum Bagus, sohib lamaku.
Seperti banyak teman yang lain, aku berharap kabar kematiannya hanyalah mimpi. Tapi tidak. Ini nyata. Betul-betul nyata! Bagus betul-betul sudah tiada. Jasadnya sudah dikebumikan di tanah kelahirannya, Kudus, Jawa Tengah; setelah menempuh perjalanan panjang Jakarta-Kudus.
Ikhlas adalah satu kata yang mesti kami genggam erat-erat atas kepergiannya yang mendadak. Ya, kami. Kami yang ditinggalkannya. Ibu, adik, istri, anak, keponakan, kerabat, tetangga, serta seluruh sahabat dan rekan kerjanya. Air mata mesti kami cucurkan sewajarnya saja. Demi kelancaran perjalanan sosok kesayangan kami, Bagus Budiwibowo bin Suroto, menghadap-Nya.
Namun tentunya tidak salah, bila kenangan baik tentangnya senantiasa kami ingat. Ya, pasti. Pasti Bagus adalah sosok yang baik. Dia pintar, supel, suka berbagi ilmu, dan bersahaja. Sejak kami masih sama-sama unyu dulu hingga saat kepergiannya, Bagus tidaklah berubah. Justru kurasakan dia makin baik. Iya. Kesan itulah yang kutangkap dari perbincangan-perbincangan kami berdua.
Almarhum dan aku memang lama tak saling kopdar. Tapi kami sering ngobrol tentang banyak hal secara online. Biasanya tiap senja, saat dia berada di kereta api yang membawanya pulang dari Jakarta menuju Bogor. Duh, sohib lamaku tersebut memang seorang penikmat moda transportasi umum. Taat pada anjuran pemerintah. Namun ironisnya, dia celaka gegara transportasi umum.
Semua adalah takdir-Nya SWT semata. Tentu ada hikmah di balik peristiwa ini. Dan ikhlas, tetap menjadi kata kunci yang mesti kami miliki atas berpulangnya BagBud (almarhum suka menggunakan inisial ini).
Tapi kalau boleh menyesal, ada satu hal yang patut kusesalkan. Yakni mimpinya untuk menjadi seorang penulis telah kandas dilindas metromini 640. Kurang lebih empat bulan sebelum wafatnya, BagBud bilang ingin menulis. Kukira belakangan dia merasa bahwa ada banyak hal yang perlu disampaikannya kepada masyarakat luas. Maka menulis adalah keniscayaan baginya.
Tatkala itu dengan gembira aku membalas (mengetik), "Menulislah. Pasti akan ada manfaatnya. Indonesia butuh banyak orang pintar yang mau menulis."
Namun, Sang Pemilik Hidup berkehendak lain. Sohibku yang pintar dan bersahaja itu keburu dijemput malaikat maut sebelum menuntaskan mimpinya. Apa boleh buat? Alih-alih tuntas, mimpi BagBud justru kandas digilas metromini 640.
#Ketika berhadapan dengan maut, mimpi yang setinggi apa pun menjadi tak berarti
#Alfatikah buat almarhum BagBud
Seperti banyak teman yang lain, aku berharap kabar kematiannya hanyalah mimpi. Tapi tidak. Ini nyata. Betul-betul nyata! Bagus betul-betul sudah tiada. Jasadnya sudah dikebumikan di tanah kelahirannya, Kudus, Jawa Tengah; setelah menempuh perjalanan panjang Jakarta-Kudus.
Ikhlas adalah satu kata yang mesti kami genggam erat-erat atas kepergiannya yang mendadak. Ya, kami. Kami yang ditinggalkannya. Ibu, adik, istri, anak, keponakan, kerabat, tetangga, serta seluruh sahabat dan rekan kerjanya. Air mata mesti kami cucurkan sewajarnya saja. Demi kelancaran perjalanan sosok kesayangan kami, Bagus Budiwibowo bin Suroto, menghadap-Nya.
Namun tentunya tidak salah, bila kenangan baik tentangnya senantiasa kami ingat. Ya, pasti. Pasti Bagus adalah sosok yang baik. Dia pintar, supel, suka berbagi ilmu, dan bersahaja. Sejak kami masih sama-sama unyu dulu hingga saat kepergiannya, Bagus tidaklah berubah. Justru kurasakan dia makin baik. Iya. Kesan itulah yang kutangkap dari perbincangan-perbincangan kami berdua.
Almarhum dan aku memang lama tak saling kopdar. Tapi kami sering ngobrol tentang banyak hal secara online. Biasanya tiap senja, saat dia berada di kereta api yang membawanya pulang dari Jakarta menuju Bogor. Duh, sohib lamaku tersebut memang seorang penikmat moda transportasi umum. Taat pada anjuran pemerintah. Namun ironisnya, dia celaka gegara transportasi umum.
Semua adalah takdir-Nya SWT semata. Tentu ada hikmah di balik peristiwa ini. Dan ikhlas, tetap menjadi kata kunci yang mesti kami miliki atas berpulangnya BagBud (almarhum suka menggunakan inisial ini).
Tapi kalau boleh menyesal, ada satu hal yang patut kusesalkan. Yakni mimpinya untuk menjadi seorang penulis telah kandas dilindas metromini 640. Kurang lebih empat bulan sebelum wafatnya, BagBud bilang ingin menulis. Kukira belakangan dia merasa bahwa ada banyak hal yang perlu disampaikannya kepada masyarakat luas. Maka menulis adalah keniscayaan baginya.
Tatkala itu dengan gembira aku membalas (mengetik), "Menulislah. Pasti akan ada manfaatnya. Indonesia butuh banyak orang pintar yang mau menulis."
Namun, Sang Pemilik Hidup berkehendak lain. Sohibku yang pintar dan bersahaja itu keburu dijemput malaikat maut sebelum menuntaskan mimpinya. Apa boleh buat? Alih-alih tuntas, mimpi BagBud justru kandas digilas metromini 640.
#Ketika berhadapan dengan maut, mimpi yang setinggi apa pun menjadi tak berarti
#Alfatikah buat almarhum BagBud
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!