Kamis, 03 Maret 2016

Kita Ini Hakim Kejam

Meme di atas aku unggah dari HP-ku. Mohon maaf tidak aku cantumkan sumbernya sebab memang aku gak tahu. Ya, meme itu kiriman dari teman anakku. Kalau di antara pembaca tulisan ini ada yang tahu sumber aslinya, mohon diberitahukan kepadaku ya.

BELAKANGAN Tere Liye, yang penulis produktif itu, menjadi bulan-bulanan netizen. Setelah satu status yang diunggahnya di medsos menjadi sesuatu yang kontroversial, makin kondanglah namanya tanpa harus repot-repot menulis sebuah novel baru. Tapi sayang sekali, kondangnya dalam konotasi negatif. 

Pendek kata gegara satu status blundernya, orang pun ramai-ramai menghujat Tere Liye. Para pembencinya (haters) seolah-olah dihadiahi sebuah ruang lebar untuk melampiaskan caci maki mereka. Mendadak Tere Liye ternafikan semua kebaikannya. Seakan-akan Tere Liye kini layak ditahbiskan sebagai pecundang paling bodoh pada abad ini.

Yang menyedihkan, karena Tere Liye berprofesi sebagai penulis, para penulis lain pun banyak yang merasa berhak untuk bersuara. Nah! Ini yang bikin aku kecewa mendalam tanpa aksara. Mengapa? Sebab beberapa orang yang kuanggap kampiun sebagai penulis, yang kukagumi secara proporsional, ternyata ikut-ikutan menghujat. Karena memang merupakan penulis kampiun, susunan kata hujatannya pun bisa demikian tertata pedasnya.

Duh, duh. Aku jadi merasa teriris hati membacanya. Padahal, aku toh bukan fans berat Tere Liye. Baru satu saja buku karyanya aku baca. 

Dalam kurun waktu sebelumnya, Ustaz Felix Siauw yang dibabat habis oleh netizen. Komentar-komentar yang terlontar untuk sang ustaz pun tak kalah brutal. Tepatnya brutal dan ada yang menyerempet SARA. Duh, duh. Ustaz Felix toh hanya mengunggah status yang kontroversial. Tidak melakukan tindakan biadab dan kriminal. Kenapa klarifikasi dan komentar untuknya tidak disampaikan dengan bahasa yang lebih santun?    

Hatiku pun kian hancur sebab beberapa ustaz yang kukenal ikut berkomentar dengan sinis dan pedas. Demikian pula beberapa teman yang kukira mampu bersikap arif. Ternyata juga sanggup menghujat dengan dahsyat. Huft. 

Dalam beberapa hal, pemikiran Ustaz Felix kadang kala memang kurasakan lebay. Tapi kupikir, tidak perlu deh kita mengomentarinya dengan kejam. Aku yakin, Allah SWT saja bersedia memaafkannya. Mengapa kita sebagai manusia yang hina dina ini malah gak mau? Jatuh-jatuhnya reaksi kita terhadap sang ustaz malah jauh lebih lebay, lho.

Ada satu hal lagi yang bikin hatiku memar nyeri. Ya, tentu saja masih terkait dengan hobi kita menghujat secara dahsyat. Anda sekalian tentu masih ingat heboh-heboh kebun bunga Amaryllis di Jogja. Dalam kasus ini pun beberapa orang pegiat literasi beserta kalangan umum lainnya terlihat giat menghujat. Duh, duh. Di manakah empati? Bagaimana jika yang selfi-selfie ngisruh itu anak kita sendiri? Perasaan kita kira-kira seperti apa kalau mendengar hujatan yang tiada tara begitu?

Oke, oke. Yang selfie-selfie dengan merusak memang salah. Tapi kalau dikomentari dengan full emosi negatif, seketika akan kembali indahkah kebun bunga yang hancur itu? 

Aku sama sekali tak kenal dan tak tahu oknum yang selfie dengan pose berbaring di atas hamparan Amaryllis itu. Tapi demi Allah, aku menangis perih ketika membaca status seorang bos sebuah penerbitan. Status yang sinis, sadis, pedas, bahkan sampai tega melontarkan anjuran agar si gadis yang selfie berbaring itu tak usah dinikahi. 

Mungkin saja maksud si bos penerbitan, yang bahkan merupakan penerbit buku-buku bernilai sastra juga, sekadar guyon maton. Tapi kok diksinya terasa demikian vulgar? Yang bikin miris, banyak teman yang klik LIKE pada status panjangnya itu.

Yeah, aku betul-betul kecewa tanpa kata tanpa aksara tanpa nada. Dan, tulisan ini adalah puncak dari rasa kecewaku. Yang berarti karena sudah kutuliskan, kecewaku telah menguar di sela-sela kata dan aksara dengan nada yang --kuharapkan-- pas; tidak lebay!

MORAL CERITA:
Kita tak mau dihakimi secara kejam. Maka mestinya kita tak usah menghakimi orang dengan kejam.
  

20 komentar:

  1. sepakat suhu....kecewa.mangkel dan eman membaca hujatan yg subyektif.. terima kasih mbak atas tulisanmu, berasa diwakili atau disuarakan. Spt rusak susu sebelanga krn nila setitik ?

    BalasHapus
  2. Saya terbiasa menghargai seorang penulis meski status sekalipun. Karena itu hak mereka. Kalaupun itu tulisan tak baik eh siapa tahu nanti penulisnya meralat karena khilaf. Tulisan saya yang kadang dikomen kontra pun saya tak pernah membela diri. Biarlah orang lain berpendapat tak sama
    Dengan kita. Setuju tulisannya, sip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mb Ima, iya aku sedih banget kenapa penulis kok tidak bisa menghargai penulis ainnya...kalupun bertentangan paham, pendapat, kenapa tidak coba memahaminya dg wawasan yg lebih luas...

      Hapus
  3. Mantaps mbk Tinbe... sy sangat setuju. Hujat itu tiada akan pernah berakhir

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mb Astuti...malah jadinya akan melulu jadi lingkaran setan

      Hapus
  4. Setujuuuuuh....seandainya semua pihak bisa saling menahan diri, berkomentar dan mengkritisi dengan cara yg edukatif...alangkah indahnya duniaaa...
    selalu sukaaaa tulisan mbak Tinbe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, terimakasih atas dukungannya ya Mbak Atik...

      Hapus
  5. Njuk aku spechless, aksaraless, membaca tulisan mak jleb ini

    BalasHapus
  6. Mbak Anjaaaasss....hehehe....iya mbak, ini kutulis dg rasa keprihatinan yang amaat saangggaattt mendalam

    BalasHapus
  7. Menghujat, memaki kok jadi marak ya, di dunia nyata maupun dunia maya.sasarannya juga tidak pandang bulu bahkan sampai presiden pun dihujat.
    Semoga kita tidak ikut2 an.
    Salam hangat dari Jombang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas kunjungannya, Pak. Salam kenal dan salam hangat juga dari Jogja :)

      Hapus
  8. Gadget Blog Archive di sidebar sebaiknya dibuat dropdown agar tidak panjang seperti itu. Nggak cantik jadinya. Sekedar saran,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Okee, makasih sarannya Pak...berhubung saya kurang paham, alias msh agak gaptek,ntar insyaAllah mau mintol teman hehehe...

      Hapus
  9. "Sebuah pasar telah muncul diaman penghinaan publik adalah komoditas dan rasa malu adalah industri" Monica Lewinsky

    "Kenapa ya dia bisa bikin status kaya gitu?" Mengapa tidak memunculkan pertanyaan "mengapa" ketika terjadi ketidaksesuaian antara kita dan orang lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin Monica Lewinsky bikin status kayak gitu berkaca dari pengalaman masa lalunya Mas... yg heboh2 dengan Bill Clinton itu... entahlah...

      Hapus
  10. terkadang saya heran juga .. dengan adanya media sosial bukannya menjalin pertemanan tapi justru lebih banyak yang saling maki dan menghina serta menyudutkan sesama

    BalasHapus
  11. itulah Mas Oyong... yg dikedepankan malahan rasa benciii melulu...capekk deeh

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!