SUATU ketika pada masa yang belum terlalu lama, aku ditakdirkan berurusan dengan seorang teman lama. Tepatnya sih teman lama yang pada masa lampaunya tak aku kenal. Hmmm. Tak begitu aku kenal.... Hanya sering mendengar tentangnya. Kala itu namanya kerap disebut-sebut oleh teman-temanku yang lain. Ckckck. Ribet amat nih kedengarannya? Sudahlah. Pokoknya begitu. Anda paham maksudku toh? Oke. Kuanggap saja paham. Haha!
Nah! Tentu saja kategorinya, dia itu makhluk asing yang berasal dari negeri masa silamku yang jauuuhhh di belakang sanaaaahhh. Tapi ndilalah kok dia ditakdirkan-Nya mampir di beranda kehidupanku masa kini. Wuahhh! Apalagi mampirnya sangat tiba-tiba. Lalu bla-bla-bla, sebagaimana laiknya sepasang sahabat lama, saling curhat-sharing-sekadar berbincang banyak hal ringan.
Kalau dahulu aku tak begitu kenal, sekarang malah bisa mengobrol secara lebih intim. Hmm. Kelihatannya kami akan selamanya menjadi sepasang kawan baik. Bahkan tatkala tahu rekam kelam jejak masa silamnya, aku tak serta-merta mengambil jarak darinya. Sekadar berteman, apa salahnya? Siapa tahu aku yang baik hati ini (uhuks) kelak mampu membuatnya jadi baik? Hmmm.
Lagi pula, kupikir kini dia telah berubah jadi lebih baik. Sudah makin berumur gitu, lho. Masak enggak segera mau bertobat? Dan semuanya, tampak berjalan normal hingga beberapa lama. Namun, siapa sangka? Ternyata kemudian ada satu titik peristiwa yang merenggangkan kedekatan kami. Renggang hingga kemudian dia menghilang sama sekali. Dan demi Allah, titik peristiwa itu menyadarkanku akan sesuatu!
Yeah.... Aku jadi sadar bahwa kekelaman masa lalunya memang telah merusak hidupnya. Bahkan, hingga sekarang. Dia --sang teman lamaku itu-- ternyata belum bisa move on dari kekacauan hidupnya. Tepatnya kekacauan hidup yang dibuatnya sendiri. Ya, Allah. Dan aku tahu, itulah penyebab banyak orang dari masa lalunya enggan berhubungan lagi dengannya.
Sang teman lamaku pun sadar betul akan hal ini. Maka kumaklumi bila dia sedikit banyak kulihat agak minder bila berkomunikasi dengan mereka yang memandangnya sebelah mata. Bagus sebetulnya. Bisa menjadi motivasi baginya untuk bersegera dalam memperbaiki diri. Tapi sayangnya, yang bersangkutan sendiri malah memilih sekadar minder. Tak kunjung menindaklanjutinya dengan upaya move on... to be a better man.
Apa boleh buat? Didorong oleh rasa penasaran akan suatu kebenaran, pada akhirnya aku mampu menerka bagaimana warna dirinya setelah... STALKING! Ya, aku terpaksa jadi stalker-nya. Ah, padahal stalking dan stalker bukanlah hal-hal yang kusuka. Baca deh postinganku terdahulu di sini. Tapi sungguh, kali ini kuterpaksa melakukannya. Sekali lagi, demi suatu kebenaran.
Oh la la! Apa fakta yang kudapat dari hasil stalking? Ternyata, oh, ternyata! Beberapa jejak digitalnya, yang tersebar di berbagai akun medsosnya, merujuk pada satu hal: ia "sakit"! Duh, duh. Sebagian dari perkataannya memperlihatkan inkonsistensi. Rumit. Ribet.
Melihat fakta hasil stalking tersebut, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, bersyukur sebab terhindar dari teman yang berenergi negatif. Kedua, bersyukur sebab bisa belajar banyak dari kisah pahit hidupnya. Hmm. Kiranya inilah hikmah yang hendak disampaikan kepadaku oleh Sang Maha Mendekatkan.
#Ini kisahmu, Kawan. Maaf, aku telah lancang merunut jejak digitalmu....
#Bagaimanapun warna dirimu, tak ada alasan bagiku untuk menghakimimu. Kita sama-sama makhluk yang tak tahu apa-apa 'kan?
MORAL CERITA:
Berhati-hatilah dalam pergaulan di dunia maya, dalam menuangkan pikiran dan perasaan di medsos, sebab semua akan menjadi jejak digital yang tak terhapuskan.
semoga Allah memudahkan urusan kita, di dunia maupun di akhirat. #DirunutOraYaJejakDigitalku? hehe
BalasHapushahaha.... enggak mbaakkk...belum sempat...hehehe...makasih atas kunjungannya...
Hapus