KETIKA Kamis malam Sang Fika nge-BBM, sebetulnya aku dalam kondisi lemas. Habis minum obat kimiawi. Hal mana yang tak pernah kulakukan, bilamana sakit yang kuderita masih tertahankan. Huft! Asal tahu saja, ya. Pengalaman membuktikan, ternyata aku lebih mudah menelan pahitnya pil kehidupan daripada menelan pil pahit pemberian dokter. Eeeaaaa.... #Lebay dimulai
Tapi isi BBM Sang Fika begitu menggoda. Sebuah ajakan untuk menonton sesuatu yang belum pernah kutahu. Dia menawariku nonton prosesi Tebu Manten. Woww? Apa pula itu? Bikin aku kepo. Dan, bikin aku berkeputusan untuk menyembunyikan sakitku. Kalau kubilang aku lagi gak enak bodi, bisa-bisa dibatalkannya ajakan itu. Haha!
Walhasil pada Jumat siang yang cetar, aku bersiap menunggu jemputan Sang Fika. Tak kusangka, yang muncul duluan malah Sang Ety. Semula kukira, Sang Ety adalah pengganti Sang Fika. Tapi rupanya, Sang Ety juga bermaksud menunggu Sang Fika. Hehehe.... Aku tak paham, Hayati.
Sebab ada dua motor, akhirnya aku mengajak Adiba ikut-serta. Nah, lho. Ini sisi baik dan berkah tersamar dari kedatangan mendadak Sang Ety. Tak berencana mengajak Adiba, tapi malah bisa mengajaknya. Apalagi si bocah setuju kuajak. Jarang-jarang lho, aku sukses mengajak Adiba.
Meskipun dengan tanda tanya besar di benak, aku tak banyak omong. Lagi agak pusing juga. Dan kebiasaanku kalau lagi kurang fit, mendadak jadi kalem. Namun setibanya di lokasi, yakni di seputaran PG Madukismo, aku mulai ngeh. Ngeh bahwa Tebu Manten itu terkait dengan pasar malam cembengan.
Ahaiii.... Kalau pasar malam cembengan sih aku sudah tahu lama sekali. Sejak aku mulai kuliah di Jogja. Tapi hingga bertahuuuun-tahuuun kemudian, kok gak ada yang menceritakan kepadaku soal Tebu Manten? Padahal nih, tempat tinggalku dengan PG Madukismo hanya sepelemparan bom molotov.
Singkat cerita, Jumat siang hingga Jumat magrib kami berempat ngider di seputaran PG Madukismo. Iya, sampai magrib. Kami 'kan mampir pula di tempat Mbak Vivi, salah seorang IIDNers Jogja. Dari Mbak Vivi inilah sesungguhnya info perihal Tebu Manten bermula....
Dari rumah Mbak Vivi, kami masih butuh berjalan jauh untuk menuju tempat parkir motor. Kami perlu melintasi lapangan terlebih dulu. Melewati lokasi pasar malam dulu. Tentu saja lewatnya tak sekadar lewat. Tapi kami memutuskan masuk ke lokasi.
Sebab kami datang jelang malam, pasar malam pun belum begitu semarak. Para pedagang baru mulai buka. Wahana permainan juga begitu. Belum begitu ramai pengunjung. Hmm. Dan, kami terinspirasi untuk mencoba dremolen. Ah! Sebuah keputusan yang salah, deh.
Kukira hanya lima putaran. Ternyata sepuluh putaran. Kepalaku yang sudah pusing ya malah jadi bertambah pusing. Kukira tiga oknum lainnya enjoy-enjoy saja. Ternyata hanya Adiba yang enjoy. Sang Fika dan Sang Ety, uh sya la la.... gak jauh beda dengan eikehh. Haha! Dasar yaaa emak-emak sok gaul.
Sudah, ya. Kuakhiri saja tulisan ini. Terima kasih untuk para tante yang telah mengajakku dan Adiba jalan-jalan nonton Tebu Manten. Ih, tebu aja jadi manten. Kenapa kamu enggak? Qiqiqi...:D
Jangan lewatkan tiap kesempatan emas yang menghampiri Anda, sekalipun risiko sedikit sakit menjadi taruhannya. Haha!
Kereta kuda yang mengangkut sepasang pengantin, yaitu Kyai Tumpak dan Nyai Kasih. Tiap tahun tebu yang jadi manten berganti-ganti, lho. Namanya tidak monoton, tidak sama melulu. O, ya. Ketika Sang Fika memotret kereta kuda berikut pasangan pengantinnya, aku dan Sang Ety malah asyik memperbincangkan sang kuda. Kami iba dengan nasib sang kuda. Demi prosesi yang menyenangkan banyak manusia, dua kuda itu harus menahan keperihan di mulutnya. Mulutnya dikerangkeng, lho....
Kami berdua terduduk kepanasan dan kehausan di halaman masjid, di mana prosesi ijab kabul dilaksanakan. Kami duduk menunggu ijab kabul dimulai. Oh la la! Kayak yang jadi manten itu orang, lho. Adiba saja senyam-senyum terus. Disambung nada suara tawa yang agak ekstrem. Ia merasa geli. Sama geli dengan ketika ia menyaksikan Sang Fika pose-pose di tengah lapangan Madukismo untuk dipotret Sang Ety.
Nahhh! Kalau yang ini sih kami belum merasa kecapekan (Tapi aku tentu sudah merasa kurang fit). Kami berdua berpose tatkala kirab belum jauh dari parkiran motor....
Wahhh ritualnya unik juga, ada tebu jadi manten he he..Semua PG apa punya ritual seperti itu ya Bund,, apa hanya di Jogja sajau
BalasHapusTebu Manten setauku hanya di PG Madukismo Jogja...tapi tiap2 PG di seantero Nusantara ini punya tradisi masing2...namanya berlainan, tradisinya berlainan, tapi inti dan tujuannya sama
HapusOh begitu, saya baru tahu kalau tradisi seperti itu di PG 😊
BalasHapusiya mbak, selalu ada pasar malam duluan sebelum giling tebu dimulai
BalasHapuswoohh baru mendarat di siniiih
BalasHapusmendaratnya pakai apaahhh ...
HapusAku meh komen opo yo... lali
BalasHapusNyonya Indah Novita...ighh....
Hapus