BAGIKU hari ini, tanggal 27 Mei 2016 ini, terasa agak gimanaaaa.... Iya. Hari ini 'kan "ultah" gempa Jogja. Dan aku, selaku korban hidup tanpa luka fisik (Alhamdulillah), mau tak mau tentu merasa hanyut dalam suasana. Tepatnya suasana buruk kala itu. Tanpa ampun, kelebatan-kelebatan aneka kenangan tak menyenangkan pun menyerbu. Ah! Kebaperan ini kok menjadi semacam ritual tahunan?
Apa boleh buat? Sejak semalam aku sudah agak degdegan. As usual. Huft. Sebuah perasaan yang rutin menghinggapiku sejak sepuluh tahun lalu, bilamana malam tanggal 27 Mei tiba. Lalu pagi-pagi pas sudah di tanggal 27-nya, lepas Subuh, lebih terasa degdegannya.
Gila! Aku merasa perlu untuk menunggu dengan serius, jarum jam dindingku tepat menunjuk pada angka 05. 59 WIB. Dan ketika pada waktu yang kutunggu itu tak terjadi apa-apa (yang buruk seperti satu dekade lalu), aku pun menarik napas lega. Yeah.... Mungkin ini semacam trauma diam-diam. Maksudku, aku tak merasa trauma tapi senyatanya menderita trauma.
Namun, Alhamdulillah. Dari tahun ke tahun makin tipis saja ketraumaan diam-diam itu menderaku. Walhasil pada hari ini, aku mampu bangun tidur dengan lebih tenang. Lalu shalat Subuh dengan lebih tenang, selanjutnya menunggu 05.59 WIB dengan lebih tenang.
Hanya saja, aku tetap tak bisa melupakan adegan Adiba batita disambar begitu saja oleh sang ayah. Lalu diajak "terbang" dari pintu ruang tamu, melintasi teras, dan mendarat dengan agak goyah di halaman depan rumah. Duh, kalau jatuh bagaimana?
Tatkala itu usia Adiba masih jauuuh genapnya dari 2 tahun. Kosakatanya belum banyak. Baru dapat berjalan beberapa bulan. Masih lucuuuu bin unyuuuu, belum mampu menjahili bundanya. Kuduga kala itu ia pasti heran, mengapa saat sedang mengoceh pagi sembari bebaringan, kok tetiba diangkat dan diajak berlarian keluar rumah.
Ah, ia tak paham. Belum paham akan apa yang tengah terjadi. Faktanya ia yang sebenarnya punya ingatan bagus, toh tak ingat apa pun tentang gempa 10 tahun lalu.
Ah. Sudahlah. Kuakhiri saja tulisan ini. Tulisan yang lahir dari kebaperanku atas gempa Jogja 27 Mei 2006 lalu....
MORAL CERITA:
Akan selalu ada titik untuk terkenang pada masa lalu. Maka kendalikan kebaperan Anda supaya tak terlalu mellow.... :D
Tatkala itu usia Adiba masih jauuuh genapnya dari 2 tahun. Kosakatanya belum banyak. Baru dapat berjalan beberapa bulan. Masih lucuuuu bin unyuuuu, belum mampu menjahili bundanya. Kuduga kala itu ia pasti heran, mengapa saat sedang mengoceh pagi sembari bebaringan, kok tetiba diangkat dan diajak berlarian keluar rumah.
Ah, ia tak paham. Belum paham akan apa yang tengah terjadi. Faktanya ia yang sebenarnya punya ingatan bagus, toh tak ingat apa pun tentang gempa 10 tahun lalu.
Ah. Sudahlah. Kuakhiri saja tulisan ini. Tulisan yang lahir dari kebaperanku atas gempa Jogja 27 Mei 2006 lalu....
MORAL CERITA:
Akan selalu ada titik untuk terkenang pada masa lalu. Maka kendalikan kebaperan Anda supaya tak terlalu mellow.... :D
Tiba2 aku lindungi dhenok kudekap. Terus ayah berteriak segera keluar! (Itu setelah adegan gelas beradu dg gelas di rak piring), deg2an padahal jauhhh dr pusat gempa
BalasHapusoh, panjenengan lagi di jogja tho mbak....iya, saat itu ngeriii
HapusItulah barangkali yang dinamakan insting seorang ayah terhadap anaknya, ya. Penyelamatan seketika. Tetapi kemellowan tersebut membawa aku pula pada kejadian yang entah kapan pasti akan terjadi, bahwa huru hara kelak malah mencerai beraikan pertalian... syukur alhamdulillah kita dijauhkan dari hal itu ya...
BalasHapusMas Usup.... Iya, insting. Ah, dan semoga kita tak terlibat huru-hara yang menceraiberaikan semuanya
HapusGempa Jogja 27 Mei 'kan selalu diingat oleh semua orang, terutama yang melakoninya. Ada yang larut dalam duka yang penuh. Tapi, ada pula yang "bahagia" bersama duka, termasuk saya. *Upps... :)
BalasHapusIya, namanya juga hidup, hehehe.... dalam satu peristiwa tersimpan seribu satu makna dan rasa... hmm, andaikan tak ada gempa 27 Mei itu, mungkin perjodohan panjenengan tak secepat itu? hehehe...entahlah?
Hapus