Cover Buku Totto-chan
Adiba (paling depan)
APA perbedaan antara Totto-chan dan Adiba? Banyak banget. Totto-chan berdarah Jepang; Adiba wong Jawa asli. Totto-chan lahir sebelum Amerika mengebom Jepang; Adiba lahir saat peristiwa pengeboman tersebut telah menjadi catatan sejarah dunia. Totto-chan punya mama yang amat pengertian atas segala keajaibannya; Adiba punya bunda yang acap kali baper kehilangan pengertian atas keajaiban sang anak. Eh?
Sudahlah. Kalau didata satu demi satu, akan sangat panjang perbedaan yang ada. Maka cukup dalam paragraf pertama saja ya, aku kemukakan perbedaannya. Lagi pula, tak ada guna mempermasalahkan perbedaan. Perbedaan 'kan rahmat. Nikmati saja. Syukuri saja. Oke? #Tumben serius plus religius
Balik lagi ke Adiba dan Totto-chan. Mengapa tetiba aku ngerumpiin keduanya? Sebab (1) keduanya asyik buat dijadikan bahan rujak, eh rumpian...; (2) aku barusan khatam --untuk yang kedua kalinya-- buku Totto-chan; (3) aku makin sadar adanya kemiripan keajaiban di antara Adiba dan Totto-chan.
Sekarang, mari kita kupas tiga penyebab di atas. Hmmm. Tentu saja Adiba dan Totto-chan layak diperbincangkan. Saat keduanya masih sangat belia, sekitar usia balita hingga 8 tahunan, ulah kekanakan mereka di atas teman-teman sebaya. Kekacauan yang mereka timbulkan selalu punya alasan logis di baliknya.
Salah satu contoh, Totto-chan membuka dan menutup meja (di sekolahnya yang lama) demikian sering. Akibatnya, ibu guru dan teman-temannya merasa terganggu oleh keberisikannya. Konsentrasi mengajar dan belajar mereka pecah. Tapi Totto-chan tak dapat dipersalahkan begitu saja. Ia tahu aturannya. Yakni hanya boleh menutup-membuka meja jika hendak menaruh sesuatu. Dan, Totto-chan memang selalu menaruh sesuatu. Namun, frekuensinya memang amat di atas normal.... :D
Bagaimana dengan Adiba? Yeah, banyak ulahnya yang serupa dengan ulah Totto-chan. Misalnya yang satu ini, yang telah amat menguji kesabaran emaknya. Dan emaknya amat bersyukur, Allah Yang Mahasabar telah meminjami kesabaran nan berlimpah tatkala itu. Hingga kala itu mampu menelan kembali kemarahan yang sudah hendak termuntahkan.
Begini ceritanya. Sesaat sebelum Magrib, Adiba balita sibuk di ruang tamu. Ada segelas air minum segar, sebutir telur ayam yang dimasak semur, dan seporsi kecil nasi putih. Ya, ia sedang makan. Mulanya semua berjalan lancar. Ia menyuapkan nasi dan telur dengan tertib. Lama-kelamaan hanya nasi yang disantapnya. Telur dibiarkan merana di piring. Setelah nasi habis. ia meminum air segar. Disisakannya setengah gelas.
"Sudah? Ayo Bunda bereskan," kataku. Adiba menggeleng. Dia menjawab bahwa urusannya belum selesai. Aku tertegun. Urusan apa? Pikirku.
"Sana. Bunda menjauh sana. Jangan ganggu Diba," usirnya sebelum aku cerewet bertanya-tanya. "Sanaaa." Sekali lagi Adiba mengusirku dengan wajah dan nada suara merajuk. Sementara itu, azan Magrib lamat-lamat terdengar di kejauhan. Daripada tangisannya pecah dan saingan dengan azan, aku segera menjauh saja.
Untunglah aku lagi prei, sedang tak wajib shalat. Jadi, aku bisa leluasa dan tenang mengawasinya meskipun dari kejauhan. Aku memilih duduk di lantai. Di muka pintu penghubung ruang tamu dan dapur. Posisiku berada di belakang sebelah kiri Adiba balita. Jika kekepoanku sedang memuncak, aku berdiri melongok-longok aktivitasnya.
Sayang sekali Adiba amat sensitif. Belum sempat kucerna apa yang kulihat, ia sudah menengokku dengan mata bengis. Katanya, "Bunda enggak usah nengok-nengok. Nanti aku bilang kalau sudah selesai mainnya."
"Oh, itu lagi main?" tanyaku lemah.
"Iya. Percobaan-percobaan. Seperti di Unyil itu, lho." Sambil menjawab, tangan Adiba tetap super sibuk. Ya, kala itu ia memang penonton setia acara Unyil.
Ketika kemudian tercium bau amis telur, aku tergoda untuk kembali menengok. Dasar emak-emak cerewet, aku bicara lagi, "Eh, eh. Itu kok telurnya diremas-remas? Kok dimasukkan gelas?"
Dengan nada kesal, Adiba menjawab tanpa menoleh, "Sudah Diba bilang jangan dilihat. Bunda suka cerewet-cerewet kalau melihat. Sudah. Ini telurnya yang halus mau aku aduk. Bunda diam saja di situ." Mau tidak mau aku menurut. Takut kalau dia kesal dan malah menangis heboh.
Dan sejak detik itu, aku memilih diam. Aku pasrah saja. Kusandarkan kepala pada dinding tembok yang sejuk. Sambil merasa ngeri, cemas kalau air minum campur telur lumat tadi ditumpah-tumpahkan. Kalau itu yang terjadi, wah... seantero rumah bakalan amis tak bertepi.
Aku hanya berzikir dan sesekali mengambil napas panjang. Tak lupa sembari bilang ke Allah supaya sang ayah tak keburu datang. Bisa makin kacau balau kalau tetiba sang ayah muncul. Beliau 'kan paling tidak tahan memandangi kekacauan serupa itu. Padahal, beliau justru paling jago menciptakan kekacauan hidup. Eh?
Aku amat bersyukur ketika akhirnya Adiba balita menghampiriku. Katanya, "Sudah, Bunda. Ayo aku dicuci. Ini gelasnya." Dengan sedikit linglung aku menerima gelas kosong yang diserahkannya. Aku berdiri dan langsung menghampiri meja tempatnya melakukan percobaan. Kucari-cari bagian yang basah. Tak ada. Ganti mataku menelusuri lantai dan sofa. Tak ada juga. Daripada kelamaan penasaran, aku bertanya, "Airnya dibuang di mana? Kok ini gelasnya kosong?"
"Aku minum," jawab Adiba balita dengan mantap. Hehh? Aku syok mendengar jawabannya. Merasa jijik membayangkannya minum air campur lumatan telur bumbu semur. Apalagi tadi meremas-remasnya pakai tangan, yang sesekali tangannya diusapkan ke baju dan kepalanya. "Diba beneran meminumnya?"
"Iya. Diba ingin tahu rasanya minum air percobaan." Demi mendengar jawabannya yang super pede, aku amat ter-GUBRAKKSSS.... Oke. Sekian kisah tentang kekisruhan beralasan logis ini. Mari beralih ke penyebab kedua. Ganti alinea, ya.
Aku mendadak ngerumpiin Adiba dan Totto-chan sebab barusan tamat membaca buku Totto-chan untuk kali yang kedua. Dahuluuu pas masih kuliah aku telah menamatkannya. Dan, aku amat terkesan. Maka begitu tempo hari ketemu yang jualan buku itu, aku langsung membelinya. Langsung pula membacanya habis. Sudah pasti Adiba ikut membacanya.
Sama halnya denganku, ia juga amat terkesan pada Totto-chan. Pastinya, dong. Jiwanya 'kan sama dengan jiwa Totto-chan. Mengamati reaksinya setelah membaca buku tersebut, aku pun makin yakin... bahwa keduanya memang berkelakuan amat mirip. Hmm.
MORAL CERITA:
Kadang kala tokoh yang ada dalam sebuah buku bisa menjelma di kehidupan nyata Anda. Iya, lho. Ternyata begitu.
Ndakpapa. Gak berbahaya tapi
BalasHapusSimbok pasti kuatir mulane Terus curiga pingin tahu Saja
hehe iya mbak...super kuatir kadang kala
HapusHa ha ha ....siapa dulu bundanya ? Adiba dan anak2 lain memang ajib eh ajaib, untung bundanya religius eh...sastrawan eh..penulis jadi asyik deh coretan ttg Adiba yg cantik..
BalasHapusHa ha ha ....siapa dulu bundanya ? Adiba dan anak2 lain memang ajib eh ajaib, untung bundanya religius eh...sastrawan eh..penulis jadi asyik deh coretan ttg Adiba yg cantik..
BalasHapusMbak Sulis hahaha...komentar sekali lg yg sama..Anda layak dapet ember...
Hapus