Mungkin es krim seperti ini bisa melumerkan kegalauanmu, Nak....
KEMARIN sore adalah hari terakhir kontrakku sebagai guru les. Iya. Anda mesti tahu bahwa sejak November 2015 lalu aku mendadak jadi guru. Yakni guru les bahasa dan sastra Indonesia. Keren 'kan? Bukankah pada umumnya anak-anak ambil les bahasa Inggris, Matematika, IPA, ataupun mata pelajaran lainnya? Pokoknya selain bahasa dan sastra Indonesia. Yang bikin makin keren, justru si anak beserta ortunya yang meminangku untuk jadi guru les. Bukan aku yang mengiklankan diri.
Singkat kisah, waktu pun berjalan cepat. Tak terasa dari les ke les, tentu beserta seluruh dinamikanya, sore kemarin tiba pada ujungnya. Ya, kemarin sudah les yang terakhir. Seminggu lagi murid lesku akan menempuh Ujian Nasional.
Huft! Ujian Nasional! Tak kusangka tak kunyana, muridku yang pintar itu rupanya merasa sedikit gentar. Dia bilang, dia panik sebab merasa sangat tak siap dengan IPA. Dia bilang, dia degdegan sebab takut tak mampu menaklukkan soal Matematika. Dia bilang, takut buru-buru dan kurang teliti dalam menjawab ujian bahasa Indonesia. Dia bilang, dia sedih nantinya bakalan berpisah dengan teman-teman SMP-nya.
Aku tertegun mendengarkan semua curhatannya. Dengan tatapan mata yang kulembut-lembutkan, aku amati wajahnya baik-baik. Dia sungguh-sungguh panik. Matanya tak seberbinar biasanya. Wajahnya tampak sedikit temaram lelah. Akhirnya kuputuskan, pertemuan terakhir tak usah bahas materi. Dia sudah membuka dengan curhat, maka aku berkewajiban melengkapinya dengan nasihat. Eeeaaa.... #Sok dewasa!
Walhasil, menjelmalah aku sebagai teman curhat. Ah! Sejujurnya sih hampir pada tiap les aku berperan sebagai teman curhat. Kalau aku hitung dengan cermat, justru aku lebih banyak jadi teman curhat daripada ngasih materi. Lho? Haha!
Dan sebagai teman curhat yang baik dan benar, apalagi teman yang usianya jauh lebih dewasa, aku wajib memberikan solusi. Nah, simak baik-baik solusiku buatnya. Inilah yang akhirnya kukatakan kepada murid lesku, "Bagaimana kalau ujian itu kau anggap saja sebagai pesta? Setelah sekian lama banyak belajar, tibalah saatnya berpesta. Pesta itu buat senang-senang 'kan? Senang itu berarti bahagia. Anggap saja kamu sedang berpesta dengan teman-teman?"
Selesai mengatakan itu, aku terdiam. Sedikit galau menyelinap ke hatiku. Jangan-jangan perkataanku terlampau absurd baginya? Untuk memastikan, sekali lagi aku bertanya, "Eh? Kau paham maksudku?"
Murid lesku mengangguk mantap. "Iya. Aku paham maksud Mbak Titin. Aku paham, kok. Aku harus membahagiakan diri supaya ntar bisa ngerjain soal ujian dengan baik. Enggak takut dan enggak buru-buru."
Eeeeaaaaa.... Yes! Yes! Dalam hati aku bersorak loncat kegirangan. Mengapa? Sebab aku yakin dia tidak bohong. Dia anak pintar dan suka membaca. Aku tahu bahwa dia paham kata-kata lebih daripada yang tersurat. Iya, semacam itulah.... Haha! Adapun penyebab kedua aku kegirangan adalah... dia konsisten memanggilku "Mbak". Qiqiqi.... Padahal bisa jadi, aku seusia eyangnya. Haha!
Maka sore itu, les berakhir indah. Halah. Maksudku, wajahnya terlihat lebih cerah. Semoga saja dia betul-betul mampu menganggap ujiannya minggu depan sebagai pesta. Puncak pesta dari serangkaian upaya keras belajarnya. Aku tahu, pundaknya terasa berat dengan harapan besar ortunya. Aku tahu, ortunya memang punya harapan tinggi. Kepadanya!
Alhamdulillah dahulu bapakku tak pernah memintaku bernilai ujian tinggi. Maka hidupku sebagai murid terasa santai. Jadi kini, aku pun tak pernah membebani Adiba dengan hal yang sama. Dia mau berangkat sekolah tanpa banyak cingcong saja aku sudah amat bersyukur. Serius ini. Begitu saja dia masih protes-protes kalau ada PR bahasa Jawa dan aku tak mampu membantunya. Ah!
#Solusiku untuk menganggap ujian sebagai pesta terinspirasi dari Novel Negeri 5 Menara
MORAL CERITA:
Boleh saja ortu memotivasi anak untuk belajar demi mendapatkan nilai terbaik. Tapi jangan dengan nada intimidatif. Anak diam-diam bisa merasa tertekan. Anak pintar bisa tak berkutik di depan soal bila dia panik duluan.
Walhasil, menjelmalah aku sebagai teman curhat. Ah! Sejujurnya sih hampir pada tiap les aku berperan sebagai teman curhat. Kalau aku hitung dengan cermat, justru aku lebih banyak jadi teman curhat daripada ngasih materi. Lho? Haha!
Dan sebagai teman curhat yang baik dan benar, apalagi teman yang usianya jauh lebih dewasa, aku wajib memberikan solusi. Nah, simak baik-baik solusiku buatnya. Inilah yang akhirnya kukatakan kepada murid lesku, "Bagaimana kalau ujian itu kau anggap saja sebagai pesta? Setelah sekian lama banyak belajar, tibalah saatnya berpesta. Pesta itu buat senang-senang 'kan? Senang itu berarti bahagia. Anggap saja kamu sedang berpesta dengan teman-teman?"
Selesai mengatakan itu, aku terdiam. Sedikit galau menyelinap ke hatiku. Jangan-jangan perkataanku terlampau absurd baginya? Untuk memastikan, sekali lagi aku bertanya, "Eh? Kau paham maksudku?"
Murid lesku mengangguk mantap. "Iya. Aku paham maksud Mbak Titin. Aku paham, kok. Aku harus membahagiakan diri supaya ntar bisa ngerjain soal ujian dengan baik. Enggak takut dan enggak buru-buru."
Eeeeaaaaa.... Yes! Yes! Dalam hati aku bersorak loncat kegirangan. Mengapa? Sebab aku yakin dia tidak bohong. Dia anak pintar dan suka membaca. Aku tahu bahwa dia paham kata-kata lebih daripada yang tersurat. Iya, semacam itulah.... Haha! Adapun penyebab kedua aku kegirangan adalah... dia konsisten memanggilku "Mbak". Qiqiqi.... Padahal bisa jadi, aku seusia eyangnya. Haha!
Maka sore itu, les berakhir indah. Halah. Maksudku, wajahnya terlihat lebih cerah. Semoga saja dia betul-betul mampu menganggap ujiannya minggu depan sebagai pesta. Puncak pesta dari serangkaian upaya keras belajarnya. Aku tahu, pundaknya terasa berat dengan harapan besar ortunya. Aku tahu, ortunya memang punya harapan tinggi. Kepadanya!
Alhamdulillah dahulu bapakku tak pernah memintaku bernilai ujian tinggi. Maka hidupku sebagai murid terasa santai. Jadi kini, aku pun tak pernah membebani Adiba dengan hal yang sama. Dia mau berangkat sekolah tanpa banyak cingcong saja aku sudah amat bersyukur. Serius ini. Begitu saja dia masih protes-protes kalau ada PR bahasa Jawa dan aku tak mampu membantunya. Ah!
#Solusiku untuk menganggap ujian sebagai pesta terinspirasi dari Novel Negeri 5 Menara
MORAL CERITA:
Boleh saja ortu memotivasi anak untuk belajar demi mendapatkan nilai terbaik. Tapi jangan dengan nada intimidatif. Anak diam-diam bisa merasa tertekan. Anak pintar bisa tak berkutik di depan soal bila dia panik duluan.
sekolah ki ya menyenangkan dan ujian bukan lagi momok, hanya naik tingkat saja
BalasHapusBetul, Mbak Ima. Hanya saja banyak ortu terlalu membebani
Hapus