SABTU ini Adiba sedang UKK. Nah. Karena sedang UKK, ia tentunya tak punya PR yang mesti dikerjakan. Alhamdulillah. Tak ada PR berarti emaknya tak perlu repot mengingatkan. Tak perlu pula menghadapi sebuah drama yang enggak bermutu dengan judul tangisan malam dari seorang bocah yang bete menghadapi PR.
Asal tahu saja, Adiba itu 'kan agak alergi pada PR. Sementara nyalinya kurang bila berangkat sekolah tanpa mengerjakan PR. Tuh! Runyam 'kan? Maka tugasku sebagai ibu terasa amat rumit bilamana Adiba punya PR. Haha!
Mula-mula harus membujuknya supaya mau segera mengerjakan PR. Selanjutnya, mesti bersiaga kalau-kalau ada hal yang tak dipahaminya. Selanjutnya lagi, mesti mengendalikan emosi apa pun yang terjadi nanti. Asal tahu lagi nih, mengerjakan PR bisa menjadi sesuatu yang dramatis lho di rumah kami.
Oke. Semua terdengar (atau terbaca?) baik-baik saja. Sama seperti kebanyakan anak yang mengerjakan PR bersama sang ibu. Namun jangan lupa, Adiba adalah Adiba. Bukan Adiba kalau tak ada unsur sya la la uh la la huru-haranya.
Bayangkan saja. PR selalu dikerjakannya bilamana sudah lelah bermain. Itu pun dengan perasaan enggan. Tampak jelas dari caranya mengambil buku dan alat tulis. Apalagi kalau sudah ada indikasi kantuk alias menguap. Wah, wah. Melihat semua itu aku mesti mulai mengendalikan emosi. Sabar.
Nada bicaraku pun wajib kumerdukan melebihi kemerduan suara Raisha. Bisa makin runyam bila suaraku dianggap bernada tinggi. Sebab baginya nada tinggi + suara keras tegas = memarahi. Yeah! Apa boleh buat? Lha wong bikin PR-nya dimulai pada pukul sembilan malam. Kondisinya ya sudah capek dan mengantuk. Jadi sensi bangeeettt.
Semua akan relatif mudah bila kondisiku sendiri sedang fresh. Tapi jangan lupa, hari 'kan sudah malam. Telah banyak aktivitas yang kulakukan seharian tadi. Maka.... "Aku lelah, Bang Nic! Lelah jiwa dan raga!" Haha.... Yang ada, aku mesti mati-matian menstabilkan kemerduan suara. Senyuman tulusku pun enggak boleh pamit dari paras teduhku. DUUAAARRR! *langit mendadak bergemuruh*
Mengapa? Sebab begitu aku terlihat tak sabar dan bersuara keras, drama babak belur akan segera dimulai. Adiba akan ngambek. Menangis dengan sedu sedan yang mengoyak hati. Mogok bikin PR. Tapi tetap berteriak penuh tekad, "Pokoknya aku besok berangkat sekolah dan PR-ku siap! Tapi aku enggak mau bikin PR sekarang!"
Dan, itu berarti aku mesti berjuang lebih keras untuk mencapai cita-cita. Eh, bukan. Maksudku berjuang untuk menormalkan situasi. Mengakhiri drama basi yang menghanguskan jiwaku ini. Aih, aih. Walhasil sekalipun tak lagi bersekolah, aku juga menjadi sedikit benci pada PR.
MORAL CERITA:
Cobaan hidup bisa datang dari mana saja dan berupa apa saja. Maka bersiaplah selalu untuk menabahkan hati agar setabah hujan bulan Juni...
Si dhenok sampai
BalasHapusSekarang juga uangel kon ndang nggarap pr. Ujung2e simbok sing maju ala bandung bondowoso
eealaahhh...ternyata itu problema yg mendunia yaaa
BalasHapusBelum lama, baru beberapa hari kemarin, saya tahu istilah UKK dari seorang teman yg anaknya duduk di bangku SD. Saya tahunya THB (jaman saya SD). :)
BalasHapusPak Irham... haha...timing-nya pas berarti; sebelum baca postingan saya ini sudah paham arti UKK...hehehe.... andai saja anak saya bukan pesert6a UKK, saya pun tentu gak paham. Okee, makasih atas kunjungannya :)
HapusSi Ilma cinta PR, HAqqya benci PR. Nah, kalau Ilma ngerjain PR aku ikut seneng, giliran HAqqya..... ya gitu deh
BalasHapushuahaha..... ikut baper ya Liy...
Hapus