Tak ada hujan bulan Juni... :D
JUNI tiba lagi. Tapi mengapa, hujan tak datang lagi? Padahal dua hari terakhir di bulan Mei, hujan demikian menderas? Yeah! Semula kukira, terkait dengan musim salah mangsa belakangan ini, akan ada hujan di bulan Juni. Meneruskan hujan Mei yang mungkin belum tuntas.... :D
Rupanya Juni tahun ini berbeda dengan Juni tahun lalu. Juni 2016 tidak diawali hujan, sedangkan Juni 2015 lalu diawali hujan. Enggak percaya? Silakan klik di sini, ya. Aku mencatatnya juga dalam blog ini, kok. Rajin dan cermat gitu, lhooo.
Apa boleh buat? Tiap Juni tiba aku selalu teringat hujan. Biasalah. Ada kaitannya dengan puisi karya SDD, "Hujan Bulan Juni". Puisi lama yang sukses senantiasa bikin aku baper. Ahaiii. Dahulu belum ada istilah baper. Dahulu sebutannya "terhanyut jiwa". Iya 'kan? Mana nih yang angkatan baheula? Tunjuk jari, dong. Haha!
O, ya. Selain puisi tersebut, ada satu hal lagi yang menyeruak ke ruang ingatanku manakala Juni tiba. Pancasila. Ya, Pancasila. Bukankah tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila? Anda sekalian, saudaraku sebangsa dan setanah air, tidak lupa toh?
Oke. Lupa hari lahir Pancasila tak mengapa. Mungkin sebab sudah terlalu banyak hari ulang tahun relasi Anda yang mesti diingat. Tapi.... Anda tidak lupa bunyi Pancasila 'kan? Yang isinya lima butir itu? Malu ah, kalau sampai lupa. Kalah sama anggota dasawismaku. Mereka --yang sebagian buta huruf-- fasih mengucapkan teks Pancasila, lho.
Duh. Janganlah kita sampai melupakan Pancasila. Mengingat Pancasila itu tidak berarti menafikan Tuhan, Allah SWT, kok. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kelima butir dari Pancasila juga butuh dihafal. Pancasila itu 'kan termasuk pedoman untuk menjalani hidup sebagai WNI, apa pun agamanya. Mohon jangan salah pahami Pancasila, ya.
Baiklah. Sebelum beranjak menjadi tulisan yang amat serius dan argumentatif, kuakhiri di sini sajalah. Oke. Selamat meniti hari-hari di bulan Juni ini. Semoga makin banyak keberkahan yang tersimpan pada lipatan hari-hari itu. Aaamiin.
MORAL CERITA:
Percaya atau tidak, kali ini kutak tahu apa moral cerita dari tulisanku ini. Jadi, silakan membuat moral cerita sesuka Anda deh....
Entah sudah berapa kali saya membolak-balik halaman buku Hujan Bulan
Juni, tidak bosan-bosannya berulangkali membaca sejumlah sajak karya
Sapardi Djoko Damono (SDD), seorang penyair yang terkenal dengan karya
puisinya yang sederhana namun sarat makna. Betapa kata-kata yang
tertuang dalam sajaknya seperti punya kekuatan yang mampu menarik imaji.
Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo tahun 1994,
berisi sepilihan sajak yang ditulis SDD antara tahun 1964 sampai 1994.
Buku ini sempat dicetak ulang beberapa kali, dan setiap cetak ulang ada
sedikit perubahan berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak.
Untuk buku Hujan bulan Juni yang saya miliki ini versi hardcover cetakan
kedua yang diterbitkan oktober 2013 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku
setebal 120 halaman ini berisi 102 puisi yang ditulis antara tahun 1959
sampai 1994.
Dan saya jatuh hati pada buku ini, kenapa? pertama tentu karena saya
suka dengan sajak-sajaknya SDD yang mengalir dengan lembut, indah,
sederhana namun sarat makna. Dan yang kedua, karena cover bukunya yang
cantik, desain sampulnya menampilkan gambar separuh daun dibagian ujung
kanan buku dengan percikan air hujan. Terkesan sejuk.
Meskipun foto sampul dan isinya bukan karya fotografer dari penerbitnya
melainkan foto tersebut diambil dari shutterstock.com, akan tetapi patut
saya acungi jempol untuk pemilihan desain sampulnya yang terlihat
artistik.
Ah, saya pun sering mengunggah foto dari shutterstock.com untuk
ilustrasi pada beberapa artikel dan puisi saya di Kompasiana, abis
koleksi foto dari shutterstock bagus-bagus sih (hlo kok malah ngomongin
shutterstock hehe), gak apa lah ya anggap aja kasih info link, jadi buat
yang lagi cari gambar buat ilustrasi bisa ngubek2 koleksi foto dari
shutterstock.
14011599411624550987
14011599411624550987
Oke lanjut lagi, masih tentang ilustrasi. Pada lembar pertamanya, gambar
reranting kering dengan dua bulir air yang menggantung didahannya dan
sehelai daun kering berwarna kecoklatan menghiasi dua halaman penuh.
Terlihat artistik!
1401159993199014355
1401159993199014355
Selain desain sampulnya, saya juga suka dengan pembatas bukunya, jika
biasanya pembatas buku bentuknya berupa kotak persegi panjang. Tetapi
dalam buku ini, pembatas bukunya sangat unik berbentuk selembar daun
berwarna hijau kekuningan, disebaliknya tertulis puisi berjudul
'Narcissus'. ada yang pernah baca puisi ini? yuk kita simak untaian
sajaknya.
NARCISSUS
seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu bening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?
(1971)
Mungkin banyak yang belum mengenal puisi Narcissus, lain halnya jika
kita ditanya puisi karya SDD yang berjudul 'Aku Ingin' dan 'Hujan Bulan
Juni', saya yakin banyak yang sudah pernah membacanya, karena kedua
puisi ini memang sangat popular dan banyak yang suka.
Dari 102 sajak yang terhimpun dalam antologi Hujan bulan Juni, pada
kesempatan ini saya akan menuliskan sejumlah puisi yang saya suka
diantaranya puisi yang berjudul Di Restoran, Pada Suatu Pagi hari, Aku
Ingin, dan tentu saja Hujan Bulan Juni.
Yuk, kita simak puisi dengan judul 'Di Restoran'. Membaca larik-larik
sajaknya saya seakan turut larut dalam suasananya, pilihan katanya
sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu ada kedalaman makna yang
tersimpan. Setiap kita akan memiliki penafsiran masing-masing akan makna
yang tersirat dalam puisi ini.
DI RESTORAN
kita berdua saja, duduk. aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput
kau entah memesan apa. aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras
kau entah memesan apa. tapi kita berdua
saja, duduk. aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkungnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
(1989)
Membaca sajak-sajaknya SDD saya seakan terseret dalam pengembaraan imaji
yang menyentuh relung hati. Membuat saya berdecak kagum dengan
kepiawaian seorang Sapardi dalam merangkai kata dengan kalimat sedernana
nan lembut, pilihan kata yang tidak rumit, namun di tangan SDD
sekumpulan kata yang sederhana menjelma puisi nan indah dan sarat makna.
Duh, saya pengen banget deh bisa membuat puisi seindah puisinya SDD.
Karena itu gaya penulisan puisi SDD bener-bener sangat menginspirasi.
Yap, saya banyak belajar dari karyanya SDD, suka dengan pilihan kata
yang sederhana.
Berbicara mengenai pemilihan kata dalam karyanya SDD, jika dicermati
disebagian sajaknya banyak menggunakan unsur alam seperti hujan, bunga,
angin, kabut dan lain-lain. Dan hujan, cukup banyak menghiasi karyanya,
berikut beberapa judul sajak dalam buku ini yang memakai kata 'hujan'.
Hujan turun sepanjang jalan
Hujan dalam komposisi, 1
Hujan dalam komposisi, 2
Hujan dalam komposisi, 3
Di beranda waktu hujan
Percakapan malam hujan
Kuhentikan hujan
Sihir hujan
Hujan bulan Juni
Hujan, jalak dan daun jambu
Hujan tidak hanya digunakan dalam judul, namun juga banyak terselip
dalam berbagai puisinya. Seperti dalam puisi 'Pada suatu pagi hari', SDD
mampu membahasakan rintik hujan menjadi sesuatu yang mampu melarutkan
rasa. Saya suka bahasa sederhana SDD dalam mendeskripsikan suasana hati
dengan rintik hujan.
PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan
tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan
tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak mengamuk memecahkan cermin
membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil
berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu
pagi.
(1973)
'Pada suatu pagi hari', sederhana bukan judulnya. Pun pilihan kata dan
gaya bahasanya yang naratif begitu sederhana. Hingga mampu membuat saya
terlarut saat membacanya. Puisi SDD laksana cermin isi hati yang
mewakili ungkapan rasa pembacanya. Memaknai puisi ini selayaknya
perasaan yang mungkin dialami oleh sebagian dari kita kala kesedihan
mendera, air mata dan hujan mampu menghadirkan suatu perasaan melankolis
(ehm jadi inget lagu lawas Rain and Tears).
Sekarang lanjut ke puisi berikutnya, siapa yang tidak mengenal puisi
'Aku Ingin'? sebuah puisi yang sangat popular dan seringkali dicetak
dalam undangan pernikahan. Pilihan kata dalam puisi ini juga ada unsur
hujan menghiasi larik-larik sederhana yang terangkai indah dan syahdu.
AKU INGIN
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Selain unsur hujan yang banyak menghiasi sajak-sajak SDD. Saya antusias
menelisik kata demi kata pada bait-bait puisinya SDD dalam buku ini yang
menyelipkan unsur bunga. Dan hasilnya saya banyak menemukan kosa kata
bunga terselip pada karyanya, bahkan beberapa judul puisinya ada juga
yang memakai judul bunga.
Ketika jari-jari bunga terbuka
Bunga-bunga di halaman
Bunga, 1
Bunga, 2
Bunga, 3
Seperti dalam puisi Hujan Bulan Juni, juga terdapat unsur bunga dalam
larik-larik sajaknya. Ada apa dengan hujan bulan juni dan pohon
berbunga? Yuk kita simak puisi yang sangat menyentuh ini.
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/zaira/hujan-bulan-juni-sepilihan-sajak-sapardi-djoko-damono_54f7344aa333119c758b4665
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/zaira/hujan-bulan-juni-sepilihan-sajak-sapardi-djoko-damono_54f7344aa333119c758b4665
Entah sudah berapa kali saya membolak-balik halaman buku Hujan Bulan
Juni, tidak bosan-bosannya berulangkali membaca sejumlah sajak karya
Sapardi Djoko Damono (SDD), seorang penyair yang terkenal dengan karya
puisinya yang sederhana namun sarat makna. Betapa kata-kata yang
tertuang dalam sajaknya seperti punya kekuatan yang mampu menarik imaji.
Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo tahun 1994,
berisi sepilihan sajak yang ditulis SDD antara tahun 1964 sampai 1994.
Buku ini sempat dicetak ulang beberapa kali, dan setiap cetak ulang ada
sedikit perubahan berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak.
Untuk buku Hujan bulan Juni yang saya miliki ini versi hardcover cetakan
kedua yang diterbitkan oktober 2013 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku
setebal 120 halaman ini berisi 102 puisi yang ditulis antara tahun 1959
sampai 1994.
Dan saya jatuh hati pada buku ini, kenapa? pertama tentu karena saya
suka dengan sajak-sajaknya SDD yang mengalir dengan lembut, indah,
sederhana namun sarat makna. Dan yang kedua, karena cover bukunya yang
cantik, desain sampulnya menampilkan gambar separuh daun dibagian ujung
kanan buku dengan percikan air hujan. Terkesan sejuk.
Meskipun foto sampul dan isinya bukan karya fotografer dari penerbitnya
melainkan foto tersebut diambil dari shutterstock.com, akan tetapi patut
saya acungi jempol untuk pemilihan desain sampulnya yang terlihat
artistik.
Ah, saya pun sering mengunggah foto dari shutterstock.com untuk
ilustrasi pada beberapa artikel dan puisi saya di Kompasiana, abis
koleksi foto dari shutterstock bagus-bagus sih (hlo kok malah ngomongin
shutterstock hehe), gak apa lah ya anggap aja kasih info link, jadi buat
yang lagi cari gambar buat ilustrasi bisa ngubek2 koleksi foto dari
shutterstock.
14011599411624550987
14011599411624550987
Oke lanjut lagi, masih tentang ilustrasi. Pada lembar pertamanya, gambar
reranting kering dengan dua bulir air yang menggantung didahannya dan
sehelai daun kering berwarna kecoklatan menghiasi dua halaman penuh.
Terlihat artistik!
1401159993199014355
1401159993199014355
Selain desain sampulnya, saya juga suka dengan pembatas bukunya, jika
biasanya pembatas buku bentuknya berupa kotak persegi panjang. Tetapi
dalam buku ini, pembatas bukunya sangat unik berbentuk selembar daun
berwarna hijau kekuningan, disebaliknya tertulis puisi berjudul
'Narcissus'. ada yang pernah baca puisi ini? yuk kita simak untaian
sajaknya.
NARCISSUS
seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu bening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?
(1971)
Mungkin banyak yang belum mengenal puisi Narcissus, lain halnya jika
kita ditanya puisi karya SDD yang berjudul 'Aku Ingin' dan 'Hujan Bulan
Juni', saya yakin banyak yang sudah pernah membacanya, karena kedua
puisi ini memang sangat popular dan banyak yang suka.
Dari 102 sajak yang terhimpun dalam antologi Hujan bulan Juni, pada
kesempatan ini saya akan menuliskan sejumlah puisi yang saya suka
diantaranya puisi yang berjudul Di Restoran, Pada Suatu Pagi hari, Aku
Ingin, dan tentu saja Hujan Bulan Juni.
Yuk, kita simak puisi dengan judul 'Di Restoran'. Membaca larik-larik
sajaknya saya seakan turut larut dalam suasananya, pilihan katanya
sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu ada kedalaman makna yang
tersimpan. Setiap kita akan memiliki penafsiran masing-masing akan makna
yang tersirat dalam puisi ini.
DI RESTORAN
kita berdua saja, duduk. aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput
kau entah memesan apa. aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras
kau entah memesan apa. tapi kita berdua
saja, duduk. aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkungnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
(1989)
Membaca sajak-sajaknya SDD saya seakan terseret dalam pengembaraan imaji
yang menyentuh relung hati. Membuat saya berdecak kagum dengan
kepiawaian seorang Sapardi dalam merangkai kata dengan kalimat sedernana
nan lembut, pilihan kata yang tidak rumit, namun di tangan SDD
sekumpulan kata yang sederhana menjelma puisi nan indah dan sarat makna.
Duh, saya pengen banget deh bisa membuat puisi seindah puisinya SDD.
Karena itu gaya penulisan puisi SDD bener-bener sangat menginspirasi.
Yap, saya banyak belajar dari karyanya SDD, suka dengan pilihan kata
yang sederhana.
Berbicara mengenai pemilihan kata dalam karyanya SDD, jika dicermati
disebagian sajaknya banyak menggunakan unsur alam seperti hujan, bunga,
angin, kabut dan lain-lain. Dan hujan, cukup banyak menghiasi karyanya,
berikut beberapa judul sajak dalam buku ini yang memakai kata 'hujan'.
Hujan turun sepanjang jalan
Hujan dalam komposisi, 1
Hujan dalam komposisi, 2
Hujan dalam komposisi, 3
Di beranda waktu hujan
Percakapan malam hujan
Kuhentikan hujan
Sihir hujan
Hujan bulan Juni
Hujan, jalak dan daun jambu
Hujan tidak hanya digunakan dalam judul, namun juga banyak terselip
dalam berbagai puisinya. Seperti dalam puisi 'Pada suatu pagi hari', SDD
mampu membahasakan rintik hujan menjadi sesuatu yang mampu melarutkan
rasa. Saya suka bahasa sederhana SDD dalam mendeskripsikan suasana hati
dengan rintik hujan.
PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan
tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan
tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak mengamuk memecahkan cermin
membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil
berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu
pagi.
(1973)
'Pada suatu pagi hari', sederhana bukan judulnya. Pun pilihan kata dan
gaya bahasanya yang naratif begitu sederhana. Hingga mampu membuat saya
terlarut saat membacanya. Puisi SDD laksana cermin isi hati yang
mewakili ungkapan rasa pembacanya. Memaknai puisi ini selayaknya
perasaan yang mungkin dialami oleh sebagian dari kita kala kesedihan
mendera, air mata dan hujan mampu menghadirkan suatu perasaan melankolis
(ehm jadi inget lagu lawas Rain and Tears).
Sekarang lanjut ke puisi berikutnya, siapa yang tidak mengenal puisi
'Aku Ingin'? sebuah puisi yang sangat popular dan seringkali dicetak
dalam undangan pernikahan. Pilihan kata dalam puisi ini juga ada unsur
hujan menghiasi larik-larik sederhana yang terangkai indah dan syahdu.
AKU INGIN
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Selain unsur hujan yang banyak menghiasi sajak-sajak SDD. Saya antusias
menelisik kata demi kata pada bait-bait puisinya SDD dalam buku ini yang
menyelipkan unsur bunga. Dan hasilnya saya banyak menemukan kosa kata
bunga terselip pada karyanya, bahkan beberapa judul puisinya ada juga
yang memakai judul bunga.
Ketika jari-jari bunga terbuka
Bunga-bunga di halaman
Bunga, 1
Bunga, 2
Bunga, 3
Seperti dalam puisi Hujan Bulan Juni, juga terdapat unsur bunga dalam
larik-larik sajaknya. Ada apa dengan hujan bulan juni dan pohon
berbunga? Yuk kita simak puisi yang sangat menyentuh ini.
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/zaira/hujan-bulan-juni-sepilihan-sajak-sapardi-djoko-damono_54f7344aa333119c758b4665
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/zaira/hujan-bulan-juni-sepilihan-sajak-sapardi-djoko-damono_54f7344aa333119c758b4665
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!