KARENA tak berhasil mendapatkan tiket ke final, eh, maksudku tiket travel ke Jogja untuk pemberangkatan Ahad, aku mencarter mobil. Yeah.... Tentu saja biayanya di atas setengah juta. Jauuuh, di atas harga tiket travel tatkala terkena tuslah. Dan makin jauuuuuhhh, di atas harga tiket travel tatkala hari-hari biasa tanpa tuslah.
Sebetulnya aku bukan travel mania. No travel no cry. Kalau bukan karena Adiba, aku lebih memilih mengejar bus AKAP untuk balik ke Jogja. Walaupun berpotensi uyel-uyelan, berpotensi rebutan saling sikut demi bisa menaiki sang bus, berpotensi berdiri nggandhul sampai kota tujuan, ongkosnya jelas jauuuuuhhh lebih murah.
Tapi Adiba belumlah setangguh diriku. Dia belum cukup dewasa, baik secara usia maupun fisik, untuk berebut bus di terminal. Istilahnya, dia masih gagap menghadapi seluk-beluk dunia permudikan yang keras serupa itu. Menurut imajinasinya, mudik itu ya harus tetap anggun dan elegan. Huft! Dasar bocah sok kekinian.
Namun begini.... Aku berpikirnya futuristik. Jikalau aku nekad mengajaknya uyel-uyelan demi sebuah bus, takutnya tuh bocah malah trauma kuajak mudik. Malah gawat jadinya 'kan? Maka lebih baik berat di ongkos pada masa sekarang, daripada ribet membujuknya di masa depan. Haha!
Walhasil, sampailah kami di Jogja yang enggak begitu asyik lagi kurasai. Ckckck. Enggak begitu asyik dirasai kok tetap ditinggali. Gimana sih? Yeah! Apa boleh buat? Kaum marjinal memang acap kali tak punya pilihan. Anda tahu 'kan? Dunia fana ini memang acap kali kejam! #Duhhh paragraf mellow
Sudahlah. Semua yang telah Anda baca, paragraf-paragraf yang di atas itu, sesungguhnya hanyalah pemanis. Inti dari tulisanku sebenarnya tentang Mas Sopir. Yakni sopir dari mobil yang kucarter. Ternyata dia masih mahasiswa semester 8. Dia mahasiswa FH di sebuah universitas swasta di Semarang sana.
Lalu, apa kepentinganku menceritakannya? Apa sebab dia ganteng? Bukan dong, ah. Apa sebab dia berkulit hitam berambut kriwil? Bukan pula dong, ah. Tapiii... karena aku salut bahwa dia berkuliah dengan biaya sendiri. Dia anak desa yang ndilalah bercita-cita tinggi. Ortu berekonomi pas-pasan. Lalu, dia belajar nyetir dari tetangganya yang punya usaha rental mobil.
Selanjutnya setelah mahir menyetir, di Semarang di sela-sela waktu kuliah dia jadi sopir panggilan. Gabung dengan sebuah usaha rental mobil. Manakala liburan pun jadi sopir panggilan di rental mobil milik tetangga yang mengajarinya nyetir. Hmmm. Anak muda yang produktif dan mau bekerja keras 'kan? Hebat menurutku. Bagaimana menurut Anda?
#Andai kami tak berbincang-bincang riang, tentu aku tak tahu kalau Mas sopir itu anak kuliahan
MORAL CERITA:
Ada banyak cara untuk mengejar cita-cita. Bila seorang anak muda hidup berkelimpahan materi tapi malas sekolah-malas kuliah, berarti dia telah mengkhianati teman-teman sebayanya yang putus sekolah-tak mampu kuliah tersebab ketiadaan biaya.
KETERANGAN FOTO:
Anak jelang ABG yang membuatku mencarter mobil. Semoga kelak dia segigih Mas Sopir dalam bercita-cita dan mengejar cita-citanya itu. Semoga semangat tingginya tak hanya untuk selfie melulu....
caile, orang tua kekinian, takut uyel-uyelan. padahal anaknya model petualang. #maafkanDaku
BalasHapusqiqiqiqi
Hapus