KIRANYA inilah sekuel dari tulisan kemarin. Ya,
kali ini aku masih ingin menulis tentang undangan. Yakni undangan yang tiap
bulan aku bikin dan sebarkan. Rupanya tak cukup satu postingan untuk
mengisahkannya. Bagi Anda yang belum membaca
bagian pertamanya, silakan klik di sini. Wow, luar biasa. Sesuatu yang
remeh-temeh pun ternyata butuh disekuelkan juga, ya? Haha!
Yoi. Kemarin sempat kusinggung bahwa daku kerap
merasa nyesek gegara undangan yang
kubikin. Sudah mengerahkan segenap cinta untuk menulisnya, eh tuh undangan
ternyata tak dibaca dengan cermat. Padahal jumlahnya tidak sedikit, lho. Lumayan
memegalkan tangan. Hmmm. Jumlahnya 20 lembar.
Tak usah kaget. Judulnya memang “dasa wisma” (dasa
= sepuluh; wisma = rumah) Tapi faktanya,
jumlah anggota dasa wismaku 22 orang. Lagi-lagi luar biasa, bukan? Sangat
mengkhianati namanya. Dasa wisma kok
jumlah anggotanya dua kali lipat dari jumlah yang seharusnya. Hehehe….
Lalu, mengapa aku hanya membuat 20 undangan? Yang
2 anggota kena diskriminasi? Hohoho…. Enggak, dong. Rinciannya ‘kan begini. Yang
seorang menjadi tuan rumah. Karena menjadi tuan rumah, berarti ia sudah tahu tanpa
dikasih undangan. Bukankah aku membuat undangan justru setelah sang tuan rumah
memastikan jadwalnya? Sementara yang seorang lagi ya aku ini. Masak sih aku
bikin undangan untuk diriku sendiri?
Baiklah. Mari balik ke soal nyesek yang kurasakan. Yakni nyesek
gegara si undangan tak dibaca cermat, sedangkan segala sesuatunya sudah kutulis
detil pada undangan. Urusan seragam mana yang dipakai pun aku informasikan
dalam undangan. Padahal nih, ya… informasi mengenai seragam itu juga kerap
dikhianati. Dalam undangan tertulis
“mohon pakai seragam merah”, eee datang ke pertemuan malah pakai seragam warna
lain. Tapi masih mending pakai seragam lainnya. Toh tetap seragam. Lha wong ada pula yang memakai baju
nonseragam, kok. Huft.
Sudahlah.
Tak akan kuperpanjang lagi tulisan ini. Takut makin menjadi-jadi curhatanku
ini. Haha!
MORAL CERITA:
Dalam kapasitas yang sekecil-kecilnya, selalu saja manusia itu banyak
maunya.
Aku gak pernah pake seragam (wong kainnya sj masih dalam bungkus) hhh
BalasHapushehehe....ayo dijahit sendirii
Hapusaku usul gimana kalau ibu ibu dasawisma itu dikasih pelatihan menulis oleh sekretaris seumur hidupnya. outcomenya nanti ibu ibu bisa menggantikan menulis undangan. biar sesekali ngerasa nyeseg jugak ... wkkk, kenapa tetiba aku juga nyeseg nulis komen inih ... hmm
BalasHapushehehehe....pelatihan menulis???? klo kursus baca tulis itu mungkin dilakukan.... lha wong 3/4 anggota dasawismaku buta huruf eee...
Hapus