Menulis adalah suatu ujian kesabaran. Menuliskan namamu adalah sebuah upaya tersendiri. Menuliskan sejarah hidupku bersamamu adalah satu paket penuh yang terdiri atas sederetan ujian kesabaran tiada henti.
YUHUUU…. Entahlah. Di
atas itu merupakan puisi, penggalan cerpen, ataukah cuilan novel? Terserahlah Anda hendak menyebutnya sebagai apa. Yang
jelas bukan merupakan sebuah memo tagihan utang lho, ya…. Haha!
Oke. Mari
balik ke judul. Apa benar
begitu? Kalau bagiku sih, memang begitu. Sangat benar jika dikatakan bahwa
menulis adalah sebentuk ujian kesabaran. Betapa tidak? Anda perlu tahu bahwa untuk menyelesaikan sebuah tulisan, aku harus
mati-matian berjuang agar mampu bertahan di depan komputer.
Kok sampai
mati-matian begitu? Lebay, deh. Mungkin demikian komentar Anda. Yoi…. Aku dapat memaklumi komentar serupa itu. Namun, jangan lupa.
Komputerku berada di ruang tamu. Sementara 3,5 meter dari si komputer ada teras.
Dan, teras teduh itu selalu punya penunggu. Baik penunggu yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata.
Bayangkan
saja. Bila yang tengah berada di teras adalah para tetangga, lalu mereka
merumpikan hal-hal yang seru, sebagai manusia biasa aku tentu tergoda untuk
ikut bergabung. Terlebih jika di situ ada Xander, si balita lucu tetangga sebelah.
Rasa tergodaku kian besar. Duh… sabar, sabar, sabar. Tetap fokus menulis saja, ya. Demikian bisikku pada diriku sendiri.
Itu baru godaan
pada siang hari. Bila malam beranjak larut, tatkala terpaksa lembur menulis demi
mengejar setoran, lain pula godaan yang kualami. Ya, betul. Pada saat hari mulai
sepi dan gelap menggulita, godaan setan
terkutuklah yang menderaku. Konon kabarnya, sesekali di kijing depan rumahku
terlihat sesosok perempuan berambut panjang. Huft. Sabar, sabar, sabar. Beranikanlah dirimu sejenak waktu, demi
beresnya tulisanmu. Demikian bisikku (lagi-lagi) pada diriku sendiri.
Di samping
itu, aku wajib bersabar jika sedang menulis sesuatu yang sulit dicari sumber
referensinya. Atau, sedang ditugasi
untuk menulis sesuatu yang temanya tidak aku sukai. Ya, ya. Menuliskan sesuatu
yang tidak kita sukai merupakan semacam intimidasi yang terkutuk.
Yang paling
spektakuler tentu apa yang terjadi belakangan ini. Stok kesabaranku mesti
kutumpuk setinggi langit. Bahkan kalau bisa, menembus langit ketujuh. Lebay lagi?
Oh, sama sekali tidak. Faktanya, aku wajib menyiapkan jiwa yang lapang dan hati
yang seluas samudera sebelum menulis di komputer.
Kok sampai
segitunya? Ya iyalah. Komputer tanpa huruf “a” sangat menggelikan sekaligus menjengkelkan.
Semacam mantan yang sok-sokan perhatian padahal sudah punya gandengan baru. Gandengan?
Truk kaleee…. Oiya, silakan klik di sini untuk tahu soal huruf “a” tadi.
Nah!
Terbukti ‘kan kalau menulis adalah suatu ujian kesabaran?
Setidaknya bagiku. Entah kalau bagi Anda. Haha!
MORAL CERITA:
Ternyata
aku butuh ruang kerja dan perangkat kerja yang lebih oke. Barang siapa yang
ingin membantu untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka tanganku ini terbuka lebar-lebar
untuknya.
semoga aku bisa melewati masa sulit untuk menulis dengan kesabaran tingkat tinggi. selamat bersabar
BalasHapussabarrr....ssaabarrr.... :P
Hapus