HARI ini Indonesiaku berulang tahun yang ketujuh puluh satu. Dan, untuk kesekian kalinya aku tak ikut merayakan dengan upacara bendera. Maklum saja. Diriku ini 'kan seorang partikelir sejati. Tak terikat dengan instansi dan institusi mana pun yang memungkinkanku untuk ikut upacara.
Tapi jangan salah. Tak pernah ikut upacara bukan berarti tak ikut sibuk tatkala NKRI ini ultah. Aku justru sangat sibuk sejak pagi buta. Mulai dari rempong membangunkan salah seorang calon peserta upacara hingga menyiapkan seragam dan sarapan untuknya.
Serempong apakah? Entahlah. Yang jelas sedikit lebih rempong daripada para emak yang anak-anaknya mudah bangun pagi; juga tertib secara jiwa dan raga. Serius. Daku tidak lebay, kok. Membangunkan Adiba adalah suatu takdir yang lumayan berat bagiku. Hehe....
Namun syukurlah, semua kerempongan teratasi dengan baik. Tuhan memang sungguh Mahapaham. Daku sedang merasa amat kelelahan sebab kemaren terlalu banyak aktivitas fisik plus kehujanan (Tunggu, ya. Insyaallah nanti akan kuceritakan soal ini), eh rupanya Adiba ditakdirkan lebih terkendali pagi ini. Alhamdulillah. Kukira penyebabnya adalah... ia diamanahi untuk menjadi petugas upacara.
Rencanaku, begitu ia berangkat ke lokasi upacara aku akan bersantai-santai dulu. Kembali berbaring sembari membaca demi mengumpulkan tenaga sebelum beraktivitas seperti biasa. Tapi rencanaku itu gagal total. Malah kenyataan yang kujalani sangat bertolak belakang.
Jangankan bersantai, setelah Adiba berangkat aku justru berjibaku membereskan hal-hal yang berantakan sisa semalam. Ya, semalam ada malam tirakatan di kampungku. Dan sebagaimana umumnya di negeri ini, sampah adalah jejak yang paling tak digubris oleh para peserta kegiatan.
Jamak terjadi di Indonesia tercinta ini, pasca berlangsungnya sebuah kegiatan akan mudah dijumpai sampah yang teronggok di mana-mana. Bahkan sejauh pengalamanku sebagai tukang sampah pasca acara, beberapa orang nekad menyumpalkan sampah mereka di tempat-tempat yang tak patut untuk membuang sampah. Misalnya membuang bungkus nasi kucing di sela-sela bebatuan yang tepat berada di bawah jendela kamarku.... #Malah curhat
Pagi tadi selain membereskan sampah, aku bersama seorang tetangga pun mencuci gelas-gelas yang semalam dipakai untuk minum teh. Yang terakhir, membongkar tungku semipermanen yang dibangun tepat di depan rumah. Sementara segelintir kaum bapak dan pemuda membereskan tikar, spanduk, dan salon-salon besar.
Para siswa berbagai sekolah pun berseliweran lewat ketika kami beberes. Mereka ada yang bersepeda sendiri, ada pula yang diantar oleh orang tua. Berhubung lokasi kerja bakti kami di area jalan kampung, sudah pasti aku bisa melihat mereka yang berseliweran dengan jelas. Dan entah mengapa, aku kok menjadi baper. Baper sebab ingin ikutan upacara bendera.... #Ini serius, lho
Serasa ada selintas penyesalan dalam hatiku. Mengapa aku tak punya akses sama sekali untuk menjadi seorang peserta upacara agustusan? Maka aku pun menangisi sejarahku selaku peserta upacara di masa lalu. Kenapa aku pas sekolah dulu kerap mangkir dari upacara? Mengapa oh, kenapa?
Maka pada tujuh belas Agustus 2016 pagi, aku pun menghibur diri dengan cara membayangkan diri menjadi seorang pejuang '45. Bedanya, pejuang '45 berjuang dengan senjata; sedangkan aku pagi ini berjuang dengan sapu lidi dan pengki.....
MORAL CERITA:
Perlu ada pendidikan soal persampahan di negeri ini.... #Yeee, ini bukan moral cerita melainkan kebaperan gegara capek bersihin sampah....
Serempong apakah? Entahlah. Yang jelas sedikit lebih rempong daripada para emak yang anak-anaknya mudah bangun pagi; juga tertib secara jiwa dan raga. Serius. Daku tidak lebay, kok. Membangunkan Adiba adalah suatu takdir yang lumayan berat bagiku. Hehe....
Namun syukurlah, semua kerempongan teratasi dengan baik. Tuhan memang sungguh Mahapaham. Daku sedang merasa amat kelelahan sebab kemaren terlalu banyak aktivitas fisik plus kehujanan (Tunggu, ya. Insyaallah nanti akan kuceritakan soal ini), eh rupanya Adiba ditakdirkan lebih terkendali pagi ini. Alhamdulillah. Kukira penyebabnya adalah... ia diamanahi untuk menjadi petugas upacara.
Rencanaku, begitu ia berangkat ke lokasi upacara aku akan bersantai-santai dulu. Kembali berbaring sembari membaca demi mengumpulkan tenaga sebelum beraktivitas seperti biasa. Tapi rencanaku itu gagal total. Malah kenyataan yang kujalani sangat bertolak belakang.
Jangankan bersantai, setelah Adiba berangkat aku justru berjibaku membereskan hal-hal yang berantakan sisa semalam. Ya, semalam ada malam tirakatan di kampungku. Dan sebagaimana umumnya di negeri ini, sampah adalah jejak yang paling tak digubris oleh para peserta kegiatan.
Jamak terjadi di Indonesia tercinta ini, pasca berlangsungnya sebuah kegiatan akan mudah dijumpai sampah yang teronggok di mana-mana. Bahkan sejauh pengalamanku sebagai tukang sampah pasca acara, beberapa orang nekad menyumpalkan sampah mereka di tempat-tempat yang tak patut untuk membuang sampah. Misalnya membuang bungkus nasi kucing di sela-sela bebatuan yang tepat berada di bawah jendela kamarku.... #Malah curhat
Pagi tadi selain membereskan sampah, aku bersama seorang tetangga pun mencuci gelas-gelas yang semalam dipakai untuk minum teh. Yang terakhir, membongkar tungku semipermanen yang dibangun tepat di depan rumah. Sementara segelintir kaum bapak dan pemuda membereskan tikar, spanduk, dan salon-salon besar.
Para siswa berbagai sekolah pun berseliweran lewat ketika kami beberes. Mereka ada yang bersepeda sendiri, ada pula yang diantar oleh orang tua. Berhubung lokasi kerja bakti kami di area jalan kampung, sudah pasti aku bisa melihat mereka yang berseliweran dengan jelas. Dan entah mengapa, aku kok menjadi baper. Baper sebab ingin ikutan upacara bendera.... #Ini serius, lho
Serasa ada selintas penyesalan dalam hatiku. Mengapa aku tak punya akses sama sekali untuk menjadi seorang peserta upacara agustusan? Maka aku pun menangisi sejarahku selaku peserta upacara di masa lalu. Kenapa aku pas sekolah dulu kerap mangkir dari upacara? Mengapa oh, kenapa?
Maka pada tujuh belas Agustus 2016 pagi, aku pun menghibur diri dengan cara membayangkan diri menjadi seorang pejuang '45. Bedanya, pejuang '45 berjuang dengan senjata; sedangkan aku pagi ini berjuang dengan sapu lidi dan pengki.....
MORAL CERITA:
Perlu ada pendidikan soal persampahan di negeri ini.... #Yeee, ini bukan moral cerita melainkan kebaperan gegara capek bersihin sampah....
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!