![]() |
| Dalam pelukan Mbak Donna Imelda....
HIDUP itu sungguh tak terduga. Benar, lho. Sungguh tak terduga. Entah ketakterdugaannya besar maupun kecil, yang jelas unsur tak terduga kerap kali menghampiri hidup kita. Yup! Setidaknya itulah yang senantiasa kurasakan.
Seperti beberapa waktu lalu, ketakterdugaan manis kembali menyapaku. Dalam suatu acara bersama para blogger Jogja, yang diundang oleh salah satu perusahaan asuransi, takdirku rupanya berjumpa dan berfoto dengan Mbak Donna Imelda. Alhamdulillah, ya.
Siapakah dia? Dia merupakan seorang traveller blogger yang kondang. Wah! Orangnya ramah dan menyenangkan, lho. Selalu ringan hati ketika diajak narsis-narsis. Meskipun baru pertama kali bertemu, rasanya sudah kenal lama. Ibaratnya, kawan baru rasa sohib lama. Haha! #perumpamaan-yang-aneh
Oke. Anda mesti percaya akan hal itu. Tuh, lihat saja foto kami. Mbak Donna pengertian banget, deh. Beliau tinggi langsing, aku mungil setengah langsing. Maka dengan sadar, beliau yang sebenarnya barusan bangkit dari kursi kembali duduk demi berfoto denganku.
Mengapa mesti kembali duduk? Demi menyeimbangkan dengan kondisikuuuh. Hehehe.... Alhasil, foto di atas itulah hasilnya.
O, ya. Pertemuanku dengan Mbak Donna Imelda memang tak terduga. Sebab sebelum tiba di lokasi, diriku yang absurd ini kurang ngeh dengan narsum yang akan mengisi acara. Eee, ternyata Mbak Donna. Haha!
MORAL CERITA:
Ketakterdugaan hidup tidak selalu berupa hal-hal yang pahit. Banyak yang manis juga.
|
Jumat, 30 September 2016
Bertemu dengan Donna Imelda
Kamis, 29 September 2016
Mata Pelajaran Action Oriented
![]() |
| Jangan lupa, mereka butuh diajari untuk menjadi pribadi yang action oriented.... |
MATA pelajaran Action Oriented? Apakah
itu? Program baru dari Mendikbud baru? Ooops! Sama sekali bukaaan. Mata
pelajaran Action Oriented ini hasil rancanganku sendiri, kok. Terutama
kurancang untuk kupraktikkan sendiri. Dan terutama lagi, untuk kuajarkan kepada
Adiba.
Mungkin Anda sempat membatin, “Wuih! Sok pintar. Mau menyaingi
Mendikbud, ya?” Enggak, dong. Siapalah daku ini? Daku hanyalah seorang emak
yang berotak pas-pasan. Sementara putri semata wayangku, merupakan bocah yang
perlu dipikirkan secara mendalam.
Maksudku begini. Adiba, putri semata wayangku
itu, sedikit berbeda dengan teman-temannya. Tingkat kejailannya melejit tinggi.
Alhamdulillah. Berarti dilihat dari kacamata positif, daya kreativitasnya
tinggi. Hanya perlu diluruskan yang selurus-lurusnya.
Kepandaian Adiba berbahasa melebihi teman-teman
sebayanya. Cepat tanggap bila diajak main plesetan kata-kata. Sangat nyambung
kalau diajak mengobrol dengan bahasa "melenceng". Maka tidak
mengherankan, nilai bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya selalu tinggi.
Kadang kala ia juga bikin tulisan. Meskipun tulisan yang paling kerap dibuatnya
berupa caption di IG, sekali dua kali
Adiba menulis dalam arti yang sesungguhnya.
Kerap kali kuintip, di buku tulisnya ada semacam
puisi dan cerpen. Bahkan di laptopku, ada satu tulisan panjangnya.
Berlembar-lembar. Ditulis selama ratusan hari. Dan tampaknya, enggak pernah
kunjung selesai. Mungkinkah itu dimaksudkannya sebagai novel? Entah. Hanya
saja, Adiba lebih kerap menulis di IG. Halah! Padahal cita-citanya, menjadi
pengarang terkenal. Wow.... :p
Nah, bermula dari cita-citanya itulah mata
pelajaran Action Oriented bermula. Tahukah
Anda? Cita-cita tersebut sungguh mulia dan menggubrakkan duniaku. Namun aku
amati, perilaku kesehariannya tak sesuai dengan cita-cita mulia tersebut. Kalau
ingin jadi pengarang terkenal, mestinya banyak baca-banyak nulis. Eh, si Adiba
malah banyak selfi. Sangat tidak nyambung
‘kan? Maka sebagai ibu yang baik dan benar, aku berusaha keras untuk
meluruskan.
“Adibaku sayang,” panggilku untuk memulai upaya
pelurusan. “Hmmm. Masih ingin jadi pengarang?”
“Masih, dong. Malah aku sering bilang ke
teman-teman. Nanti aku akan jadi pengarang kondang.”
“Bagus. Itu namanya berbagi mimpi. Tapi
masalahnya, kamu kurang berusaha. Masak cuma omong-omong ke banyak orang? Tidak
pernah berusaha untuk jadi penulis terkenal?” ujarku.
“Eh? Maksudnya? Eh, Bunda. Bunda…. Pengarang itu
sama ya dengan penulis?”
“Pengarang dan penulis. Hmm. Anggap saja sama.
Hehehe…. Tapi begini, lho. Mau jadi pengarang kek, mau jadi penulis kek,
syaratnya sama.”
“Apa syaratnya?” Tanya Adiba antusias.
“Syaratnya, rajin baca-rajin nulis-rajin shalat-rajin
ngaji. Tapi masalahnya, kamu tidak melakukan semua itu. Itulah maksudnya bahwa
kamu kurang berusaha. Paham? Understand?
Dijamin, cita-citamu batal terwujud kalau cuma dikampanyekan ke teman-teman. Berjuang
keras dong, untuk mencapainya. Haha!” Sengaja aku tertawa supaya Adiba tak
merasa kutegur.
“Terus gimana?”
“Dengar, dengarlah
wahai Adibaku. Mulai sekarang kamu harus
banyak baca-banyak nulis. Selain baca dan nulis caption di IG. Kamu harus action.
A-c-t-i-o-n. Sebab mau jadi pengarang, action-nya
ya nulis. N-u-l-i-s. Pahamkah engkau, Adiba?”
“Aku paham, kok. Sekarang aku mau jadi anak baik saja. Jadi pengarang
terkenal syaratnya susah, sih….”
“Nah! Itu juga harus diperjelas. Tak boleh hanya
diomongkan. Harus action.” sergahku.
“Maksudnya?”
“Begini. Kamu bilang ingin jadi anak baik.
Berarti kamu bersedia patuh pada ortu, rajin belajar tanpa diuber-uber,
disiplin shalat lima waktu, siap membantu orang tua. Betul ‘kan?
“Lho? Kok begitu?” kata Adiba dengan raut muka
sedikit kaget.
“Yaiyalah. Kalau tidak mau disuruh ibunya untuk membeli
kecap di warung sebelah, berarti tidak
siap membantu ortu. Berarti pula bukan anak baik. Iya ‘kan?” Aku
berkata-kata dengan senyum elegan. Padahal dalam hati bergumam jail, “Kena kamu, Nak.”
Adiba nyengir kuda. Aku pun bertanya, “Gimana?
Masih ingin jadi anak baik?” Adiba menjawab dengan senyuman mencurigakan. “Sudahlah. Yang sederhana saja supaya kamu tak bingung. Tuh, azan Ashar terdengar. Sekarang ambil wudu sana. Lalu, segera shalat. Action, action. Kalau action terus 'kan cita-citamu jadi anak baik akan tercapai dengan sendirinya.”
Adiba tertawa keras-keras. Tuh 'kaaan. Dia memang paham dengan permainan kalimat yang sedikit njelimet untuk anak seusianya.
MORAL CERITA:
Membentuk pribadi action oriented memang gampang-gampang susah....
Kamis, 22 September 2016
Celana Keren
ADEGAN SATU
Suatu pagi, jelang berangkat sekolah. Adiba sudah berseragam rapi. Sudah pula sarapan. Uang saku pun siap di tangan. Tapi dia masih di kamar. Kelihatannya sedang mencari-cari sesuatu. Bolak-balik dibukanya lemari baju. Diamatinya beberapa saat.
"Kok enggak ada?" gumamnya.
Lalu, ia melirik keranjang di samping lemari. Kini tangannya sigap mengubek-ubek isi keranjang tersebut. Mati aku! Baju-baju dalam keranjang memang belum disetrika. Tapi kalau diubek-ubek begitu, akan makin kusut dooong.... #si emak diam-diam tergores hati
"Enggak ada juga. Berarti habis." gumam Adiba lagi. Raut mukanya sedikit galau. Kemudian ia memegang-megang rok seragamnya.
"Kenapa? Kok enggak segera berangkat?" tanya si emak.
"Eh? Bunda! Celanaku habiiis. Masak pakai rok enggak pakai daleman? Iki piyeee?" Cerocos Adiba panjang lebar. Oalah, pahamlah si emak sekarang. Ternyata sedari tadi ia mencari-cari celana pendek.
Adiba memang selalu merangkapi rok seragamnya dengan celana pendek. Tujuannya demi keamanan. Supaya tidak malu. Beberapa anak lelaki teman sekelasnya suka jail. Sering menyingkapkan rok anak-anak perempuan. Ih! Ini sejenis kejailan yang selalu up to date, deh....Sedari si emak SD pun sudah ada. Lha kok ya diuri-uri alias dilestarikan?
"Lhadalah. Kamu itu, lho. Makanya kalau nyuci jangan ditumpuk. Baju selemari habis baru dicuci. Kalau kamu nyuci baru semalam, mana bisa kering? Kita mengeringkan manual, lho. Pakai angin dan matahari...."
"Sudah tho, Bunda. Jangan diomeli. Malah telat nanti. Cepat bantuin, dong." Si bocah memprotes.
Untunglah si emak segera teringat sesuatu. Salah satu celana panjangnya robek sedikit di bagian lutut kanan. Tanpa ba-bi-bu langsung diambilnya celana itu.
"Kita potong ini saja," kata si emak sembari langsung menggunting. Mata Adiba terbelalak. Tanpa peduli reaksi si bocah, si emak secepat kilat membereskan projeknya. "Nih! Pakailah. Pasti pas buatmu. Pinggangnya karetan, kok."
"Hahaha! Bunda kereeeen! Hahaha!" Setelah tawanya mereda, Adiba bertanya, "Eh, Bunda? Enggak apa-apa celananya dipotong?"
"Sudahlah. Daripada bingung. Sebenarnya masih bisa dipakai sih...." Si emak menjawab kalem.
ADEGAN DUA
"Bunda belanja apa tuh?"
"Beli celana panjang. Gantinya yang dipotong dulu."
"Mana, coba lihat."
Si emak mengeluarkan celana barunya dari bungkusan. "Nih. Keren 'kaaan?"
"Woww! Memang keren. Tapi jauh lebih keren kalau dipotong," sahut Adiba.
"Iya, dong. Silakan dipotong...." Si emak menjawab asal.
"Okeee." Adiba nyengir. Emaknya juga.
ADEGAN TIGA
Beberapa hari kemudian....
Melihat emaknya sibuk mencari-cari sesuatu, Adiba bertanya,"Bunda cari apa?"
"Celana panjang. Yang baru itu, lho."
"Lhah ini. Aku pakai tadi."
"Kok bisa?" tanya si emak heran.
"Kan untuk daleman. Aku kehabisan celana lagi...." jawab si bocah. "Tuh, potongannya kutaruh di dapur. Bisa untuk lap kompor."
"Hahh? Apppaaa?"
Tak peduli suaranya merdu ataupun sember, si emak langsung menyanyi keras-keras. Hanya kamu yang bisaaaa.... Membuatku sempurnaaa.... Sempurna gilanyyyaaa...... (Armand Maulana pun terhenyak lagunya diplesetkan).
MORAL CERITA:
Adegan dalam cerita ini jangan ditiru!
"Hahaha! Bunda kereeeen! Hahaha!" Setelah tawanya mereda, Adiba bertanya, "Eh, Bunda? Enggak apa-apa celananya dipotong?"
"Sudahlah. Daripada bingung. Sebenarnya masih bisa dipakai sih...." Si emak menjawab kalem.
ADEGAN DUA
"Bunda belanja apa tuh?"
"Beli celana panjang. Gantinya yang dipotong dulu."
"Mana, coba lihat."
Si emak mengeluarkan celana barunya dari bungkusan. "Nih. Keren 'kaaan?"
"Woww! Memang keren. Tapi jauh lebih keren kalau dipotong," sahut Adiba.
"Iya, dong. Silakan dipotong...." Si emak menjawab asal.
"Okeee." Adiba nyengir. Emaknya juga.
ADEGAN TIGA
Beberapa hari kemudian....
Melihat emaknya sibuk mencari-cari sesuatu, Adiba bertanya,"Bunda cari apa?"
"Celana panjang. Yang baru itu, lho."
"Lhah ini. Aku pakai tadi."
"Kok bisa?" tanya si emak heran.
"Kan untuk daleman. Aku kehabisan celana lagi...." jawab si bocah. "Tuh, potongannya kutaruh di dapur. Bisa untuk lap kompor."
"Hahh? Apppaaa?"
Tak peduli suaranya merdu ataupun sember, si emak langsung menyanyi keras-keras. Hanya kamu yang bisaaaa.... Membuatku sempurnaaa.... Sempurna gilanyyyaaa...... (Armand Maulana pun terhenyak lagunya diplesetkan).
MORAL CERITA:
Adegan dalam cerita ini jangan ditiru!
Senin, 19 September 2016
Gegara Error Kompor Gas
Apa cuma saya ya, ganti tabung gas selalu bikin frustasi?
Selalu saja ngeses berdesis..
Udah diganti sealernya, dihack pake karet gelang moncongnya, terakhir
dikondomin plastik kepala kenop regulatoranya kek yg diajarin pemilik
warung deket rumah..
Teteeep nggak bisa klik rapet tanpa desis..
Ngabisin banyak waktu ungkak-ungkek ganti gas doang -_-
Salah saya juga sih, harusnya mungkin gak perlu nunggu sampe habis
mentok api mati sendiri ya, asal udah keliatan limit dan pas ada waktu
luang misal anak2 lagi bobok gitu langsung ganti aja..
Jadi nggak kemrungsung kek sekarang
...............................
SEDERET kalimat di atas adalah status fesbuk seorang teman. Meskipun banyak ejaan yang kurang tepat, tolong abaikan EBI-nya ya.... Haha! Malah membahas ejaan. Tapi aku serius soal EBI. Sekarang istilahnya bukan EYD, lho. Sudah diganti EBI. Eits! Ayo kita menuju alinea selanjutnya saja. Supaya move on dari ejaan.
Begini. Dalam status panjang di atas, temanku mengeluhkan soal kompor gas. Iya. Jelas-jelas kompor gas yang dikeluhkannya. Bukan jenis kompor yang lainnya. Dan keluhan yang senada dengan statusnya itu, kerap kali aku dengar dari orang-orang di sekitarku. Yakni para tetangga pemakai narkoba... eh, pemakai kompor gas. Terkhusus yang tabung melon ijo royo-royo pemberian pemerintah.
Ih, syereeem. Status temanku itu bikin aku makin memandang syereeem si kompor gas. Syereeem dalam arti yang komplet pokoknya. Ya syereeem ledakannya, ngesesnya, ribetnya.... Aiiihh, aku makin tak berminat pakai kompor gas bertabung, deh. Sekarang pakai kompor listrik dulu. Walaupun menabrak gaya hidup go green, aku toh merasa aman dengan si kompor listrik.
Kapan beralih ke kompor gas yang lebih hemat? Nanti saja di masa depan. Kalau sistem perkomporgasan di seluruh Indonesia raya sudah nontabung. Sudah memakai pipa-pipa yang langsung mengalirkan LPG-nya ke rumah-rumah pelanggan. Yang abonemennya kayak PLN gitu....
Atau, kalau aku sudah punya dapur luas berhalaman luas. Tentunya masih plus asisten.... Yakni asisten yang mumpuni mengatasi kerewelan si kompor gas. Haha!
MORAL CERITA:
Intinya aku memang penakut. Wah!
Kamis, 15 September 2016
Hanya akan Terjadi pada Saatnya
SESUATU hanya akan terjadi pada saatnya. Bila belum saatnya terjadi, niscaya tidak bakalan terjadi. Sedetil apa pun perencanaan yang kita susun, pasti akan selalu ada hambatannya; sejauh Tuhan Yang Maha Memungkinkan belum menjadwalkannya terjadi.
Walaupun kemungkinan terjadinya sudah mencapai 99,9 %; bila jadwal dari-Nya belum ada ya tetap bakalan tertunda terjadinya. Jangan lupa, ya. Yang 99,9% itu 'kan perhitungan dan analisis manusia. Sementara secuil persen sisanya justru menjadi wewenang penuh-Nya. Hendak dijadwalkan terjadi atau malah dijadwalkan batal?
Percayalah pada rumusan yang kusampaikan ini. Diriku telah banyak mencecap asam garam kehidupan, lho. Duka gembira pun sudah banyak aku cicipi. Jadi, diriku tidak asal menyimpulkan. Bukan sekadar menyimpulkan dari yang kulihat pada kehidupan orang-orang, melainkan dari pengamatan atas pengalaman pribadiku.
Agar lebih jelas, silakan simak kisah berikut. Sebuah kisah zadoel dari seorang mahasiswa berotak pas-pasan. Ndilalah pula uang sakunya sebagai anak kos ya pas-pasan. Bagaimana kisahnya? Begini. Kala itu si mahasiswa sangat ingin cepat lulus agar segera bisa kerja. Alasannya ya untuk meringankan beban orang tua dan sebetulnya memang sudah bosan ditanya-tanya "kapan wisuda".
Maka ia dengan penuh semangat mempersiapkan mental perang. Tekadnya, dalam kurun waktu enam bulan harus lulus. Saat itu ia optimis mampu. Proposal penelitian sudah disetujui dosen. Tinggal dieksekusi saja. Dalam perhitungan manusia ia tidak bakalan gagal. Namun faktanya, ia baru lulus dua tahun kemudian.
Penyebabnya dalam kacamata analisis manusia adalah (1) dosen pembimbingnya super sibuk sehingga susah ditemui, (2) si mahasiswa malah keasyikan kerja paro waktu, dan (3) aneka alasan bla-bla-bla yang lain. Tapi di atas semua itu, penyebab yang pasti benar adalah: Tuhan belum menjadwalkannya lulus kuliah.
Sampai di sini, Anda paham yang kumaksudkan toh? Semoga paham. Sebab kalau tidak, celakalah diriku ini. Duh, duh. Adalah aib yang lebih besar bagi seorang penulis, selain para pembacanya gagal paham?
MORAL CERITA:
Tak usah berputus asa bila cita-cita atau keinginan Anda belum kunjung tercapai. Sejauh Anda sudah maksimal mengupayakannya, lambat-laun pasti akan tercapai. Kelak, jikaDia SWT sudah menjadwalkannya tercapai.
Kamis, 08 September 2016
Ajal
“Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal.” (Al-Baqarah: 197)
HARI
ini lagi-lagi ada siaran dari masjid dekat rumah. Maksudku, siaran dukacita.
Tentang siapa yang meninggal hari ini. Iya, hari ini tetangga yang dipanggilnya
masih berusia 25 tahun. Meninggalnya di rumah sakit. Mungkin takdir kematiannya
lewat sakit atau kecelakaan. Entahlah. Daku belum mendapatkan info akuratnya.
Iya.
Sudah empat hari ini, berturut-turut, ada siaran kematian dari
masjid. Yang berarti, empat tetangga telah dipanggil-Nya. Semuanya
berpulang
setelah melalui ikhtiar sehat di rumah sakit. Dan, semuanya
berpulang dalam usia yang relatif muda. Sungguh, kematian memang rahasia-Nya.
Misteri sekali bagi kita. Usia sama sekali tidak dapat dipakai
sebagai patokan mengenai datangnya ajal. Begitu pula halnya
dengan status sosial, kondisi kesehatan, dan lain-lain.
Yup. Kematian
adalah rahasia Tuhan. Mutlak menjadi rahasia-Nya semata. Maka langkah terbaik
bagi kita untuk menghadapinya adalah bersiap diri. Yakni bersiap diri dengan
meningkatkan ketakwaan. Iya. Dalam hal ini, ketakwaan adalah sebaik-baik bekal.
Bila ajal memanggil, maka segalanya menjadi tak berarti kecuali amal saleh.
Yuk, kita berlomba-lomba menyongsong ajal dengan tingginya ketakwaan.
MORAL
CERITA:
Berita lelayu adalah
pengingat. Iya, rupanya begitu.Rabu, 07 September 2016
Training Online & Diriku
POSTINGAN ini terinspirasi oleh kuis yang diselenggarakan oleh grup kece tempatku bergabung. Eh? Kece, ya? Hmmm. Sepertinya itu merupakan kosa kata masa baheula, deeeh. Memang iya, kok. Tapi jangan-jangan sekarang mulai dipopulerkan lagi? Entahlah. Ku belum menelitinya secara mendalam. Hihihi....
Pertanyaan kuisnya tuh begini, "Apa yang membuat kamu bersemangat untuk mengikuti training-training online seperti di indscript?"
Meskipun diriku baru akan mengikutinya pada tanggal sembilan belas nanti, jawaban ciamik sudah kugenggam erat-erat. Persiiiis kayak balon yang hendak meletus itu. Begini nih jawabanku:
Ada beberapa hal yang bikin aku penuh semangat untuk mengikuti training online, yaitu:
- Tak perlu keluar ongkos buat naik taksi/ojek, yang mana ongkos transportasinya malah bisa menyamai biaya training kalau lokasinya jauh dari rumah, belum lagi kalau pulangnya malah mampir Malioboro, walaaah makin runyam urusan ongkosnya;
- Ikut training online itu efektif bin efisien sebab di mana pun berada, sedang dalam suasana yang bagaimanapun, aku tetap bisa nyambi mengikutinya, misalnya lagi rewang manten di tempat tetangga, ya bisa tetap sambil lirik-lirik HP thoo...;
- Ikut training online tidak bikin daku ribet sebelum berkembang, beda dengan training offline, yang mana sebelum memutuskan untuk ikut training offline, saya mesti negosiasi super alot dengan anak plus ribet menyediakan makan siangnya sebelum saya pergi. Miris bingittt emaknya pergi training buat minterin diri, ehhh.... anaknya malah kelaperan di rumah.
#Postingan ini sedikit mengandung iklan
MORAL CERITA:
Apa pun bisa dijadikan tulisan, lho. Percayalah.
Selasa, 06 September 2016
Secuil Renungan
HUFT. Mari sejenak merenung. Merenung tentang
hidup ini. Tentang kehidupan kita yang fana namun terlihat nyata. Dan tersebab terlihat nyata,
kita kerap kali tertipu oleh gemerlapnya. Wajar, sih. Sesuatu yang gemerlap
memang terlihat indah dan mewah. Berkilauan. Menebar pesona kepada siapa pun yang melihatnya. Hingga akhirnya kita
terjerat pesona dunia.
Padahal, sungguh runyam bila kita sudah terjerat
pesona dunia. Segala energi akan kita kerahkan untuk selalu mengejarnya.
Sementara pesona dunia itu bikin haus. Kayak air laut. Makin ditenggak makin bikin haus. Jadi, kapan selesai mengejarnya?
Sungguh. Apabila
kita tidak bisa menjalani hidup ini apa adanya, kita bisa terlindas dan
tergilas oleh waktu, bahkan oleh zaman. Kita terseret-seret tanpa ampun dalam
putaran sang waktu. Kita akan selalu bergerak mengejar entah. Kita tak akan
punya lagi ketenangan. Kita akan dikuasai oleh waktu, oleh materi yang kita
kejar.
Walhasil secara perlahan namun pasti, kita akan beranjak gila. Bagaimana bisa begitu? Sebab kita tidak lagi
bisa mengendalikan diri dan kehidupan kita sendiri. Kita akan senantiasa merasa
kurang, kurang, dan kurang secara materi; bahkan hingga kita mati nanti.
Akan
sia-sialah hidup kita. Kerja keras membabibuta dengan mengabaikan keluarga,
ironisnya juga sekaligus melupakan-Nya, tapi belum tentu bisa kaya. Justru yang
pasti bisa adalah: kita akan menyengsarakan keluarga! Celaka sekali, bukan?
MORAL CERITA:
Ternyata belakangan ini aku lagi banyak "ingat" dan "sadar". Alhamdulillah....
Senin, 05 September 2016
Hidup Itu...
--Pramoedya Ananta Toer--
BETUL. Sungguh betul apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer itu. Hidup sungguh sangat sederhana. Namun, tafsiran yang dibikin oleh orang-orang terasa cetar membahenol. Eee, membahana.... :D
Bahkan menurutku, hidup itu juga murah. Yang bikin mahal 'kan keinginan kita untuk tampil hebat. Jauh lebih hebat daripada orang lain. Huft. Bikin mulas deh bila memikirkan ongkos-ongkos buat hidup. Terlebih bila ingin selalu kekinian, sementara doku pas-pasan. Runyam.
Padahal, hidup itu bisa sangat simpel sesimpel-simpelnya. Tepat persis kayak yang dibilang Pram itu. Huh. Dasar manusia. Terlalu suka bersikap lebay dan mudah baper. Maka ya gitu deeeh.... Hidupnya jadi terasa ribet dan rumit. Hahaha.... Termasuk gue. Gue 'kan manusia juga.
MORAL CERITA:
Sederhanakan saja hidupmu. Kalau enggak mau ribet sih....
Langganan:
Komentar (Atom)




