Jangan lupa, mereka butuh diajari untuk menjadi pribadi yang action oriented.... |
MATA pelajaran Action Oriented? Apakah
itu? Program baru dari Mendikbud baru? Ooops! Sama sekali bukaaan. Mata
pelajaran Action Oriented ini hasil rancanganku sendiri, kok. Terutama
kurancang untuk kupraktikkan sendiri. Dan terutama lagi, untuk kuajarkan kepada
Adiba.
Mungkin Anda sempat membatin, “Wuih! Sok pintar. Mau menyaingi
Mendikbud, ya?” Enggak, dong. Siapalah daku ini? Daku hanyalah seorang emak
yang berotak pas-pasan. Sementara putri semata wayangku, merupakan bocah yang
perlu dipikirkan secara mendalam.
Maksudku begini. Adiba, putri semata wayangku
itu, sedikit berbeda dengan teman-temannya. Tingkat kejailannya melejit tinggi.
Alhamdulillah. Berarti dilihat dari kacamata positif, daya kreativitasnya
tinggi. Hanya perlu diluruskan yang selurus-lurusnya.
Kepandaian Adiba berbahasa melebihi teman-teman
sebayanya. Cepat tanggap bila diajak main plesetan kata-kata. Sangat nyambung
kalau diajak mengobrol dengan bahasa "melenceng". Maka tidak
mengherankan, nilai bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya selalu tinggi.
Kadang kala ia juga bikin tulisan. Meskipun tulisan yang paling kerap dibuatnya
berupa caption di IG, sekali dua kali
Adiba menulis dalam arti yang sesungguhnya.
Kerap kali kuintip, di buku tulisnya ada semacam
puisi dan cerpen. Bahkan di laptopku, ada satu tulisan panjangnya.
Berlembar-lembar. Ditulis selama ratusan hari. Dan tampaknya, enggak pernah
kunjung selesai. Mungkinkah itu dimaksudkannya sebagai novel? Entah. Hanya
saja, Adiba lebih kerap menulis di IG. Halah! Padahal cita-citanya, menjadi
pengarang terkenal. Wow.... :p
Nah, bermula dari cita-citanya itulah mata
pelajaran Action Oriented bermula. Tahukah
Anda? Cita-cita tersebut sungguh mulia dan menggubrakkan duniaku. Namun aku
amati, perilaku kesehariannya tak sesuai dengan cita-cita mulia tersebut. Kalau
ingin jadi pengarang terkenal, mestinya banyak baca-banyak nulis. Eh, si Adiba
malah banyak selfi. Sangat tidak nyambung
‘kan? Maka sebagai ibu yang baik dan benar, aku berusaha keras untuk
meluruskan.
“Adibaku sayang,” panggilku untuk memulai upaya
pelurusan. “Hmmm. Masih ingin jadi pengarang?”
“Masih, dong. Malah aku sering bilang ke
teman-teman. Nanti aku akan jadi pengarang kondang.”
“Bagus. Itu namanya berbagi mimpi. Tapi
masalahnya, kamu kurang berusaha. Masak cuma omong-omong ke banyak orang? Tidak
pernah berusaha untuk jadi penulis terkenal?” ujarku.
“Eh? Maksudnya? Eh, Bunda. Bunda…. Pengarang itu
sama ya dengan penulis?”
“Pengarang dan penulis. Hmm. Anggap saja sama.
Hehehe…. Tapi begini, lho. Mau jadi pengarang kek, mau jadi penulis kek,
syaratnya sama.”
“Apa syaratnya?” Tanya Adiba antusias.
“Syaratnya, rajin baca-rajin nulis-rajin shalat-rajin
ngaji. Tapi masalahnya, kamu tidak melakukan semua itu. Itulah maksudnya bahwa
kamu kurang berusaha. Paham? Understand?
Dijamin, cita-citamu batal terwujud kalau cuma dikampanyekan ke teman-teman. Berjuang
keras dong, untuk mencapainya. Haha!” Sengaja aku tertawa supaya Adiba tak
merasa kutegur.
“Terus gimana?”
“Dengar, dengarlah
wahai Adibaku. Mulai sekarang kamu harus
banyak baca-banyak nulis. Selain baca dan nulis caption di IG. Kamu harus action.
A-c-t-i-o-n. Sebab mau jadi pengarang, action-nya
ya nulis. N-u-l-i-s. Pahamkah engkau, Adiba?”
“Aku paham, kok. Sekarang aku mau jadi anak baik saja. Jadi pengarang
terkenal syaratnya susah, sih….”
“Nah! Itu juga harus diperjelas. Tak boleh hanya
diomongkan. Harus action.” sergahku.
“Maksudnya?”
“Begini. Kamu bilang ingin jadi anak baik.
Berarti kamu bersedia patuh pada ortu, rajin belajar tanpa diuber-uber,
disiplin shalat lima waktu, siap membantu orang tua. Betul ‘kan?
“Lho? Kok begitu?” kata Adiba dengan raut muka
sedikit kaget.
“Yaiyalah. Kalau tidak mau disuruh ibunya untuk membeli
kecap di warung sebelah, berarti tidak
siap membantu ortu. Berarti pula bukan anak baik. Iya ‘kan?” Aku
berkata-kata dengan senyum elegan. Padahal dalam hati bergumam jail, “Kena kamu, Nak.”
Adiba nyengir kuda. Aku pun bertanya, “Gimana?
Masih ingin jadi anak baik?” Adiba menjawab dengan senyuman mencurigakan. “Sudahlah. Yang sederhana saja supaya kamu tak bingung. Tuh, azan Ashar terdengar. Sekarang ambil wudu sana. Lalu, segera shalat. Action, action. Kalau action terus 'kan cita-citamu jadi anak baik akan tercapai dengan sendirinya.”
Adiba tertawa keras-keras. Tuh 'kaaan. Dia memang paham dengan permainan kalimat yang sedikit njelimet untuk anak seusianya.
MORAL CERITA:
Membentuk pribadi action oriented memang gampang-gampang susah....
Cita2nya baik. Jalannya dan bicaranya yang melenceng mohon direbonding
BalasHapusMbak @agustina
hahaha...iya mbak, pelurusan...rebonding....qeqeqe...
Hapusinspiring mbak, mata pelajaran penting :)
BalasHapussalam kenal
yoiii salam kenal balik.... Alhamdulillah bila menginspirasi
HapusTak Masukne Kurikulumku. Muatan Kelas Kearifan Lokal .... xixixixixi !!! Tapi yang jelas menambah wawasan dan patut ditiru. Yang jelas lagi Pekerjaanku jadi tertunda kalau dah baca tulisan mbak Titin!Taktutupe sik blogke suk wae nek ada waktu luang tak mampir lagi. Ra bar-bar gaeanku ki ngko. .....
BalasHapusMas Martono, huahahaha ....maaf telah menjadi pengganggu pekerjaanmu... hehehe.... Tapi makasih banget lho, telah sudi main-main di blog ini.
Hapus