"Kembangkan terus batik sebagai industri kreatif yang menggerakkan ekonomi nasional. Selamat Hari Batik Nasional."
KUTIPAN di atas adalah cuitan Sang Presiden RI,
Pak Jokowi, di akun Twitter beliau. Ditulis pada tanggal 2 Oktober 2016 lalu.
Tepat pada saat Hari Batik Nasional. Ngomong-ngomong Anda sekalian sudah ngeh akan hal itu ‘kan? Bahwa ada yang
namanya Hari Batik Nasional? Hmmm.
Jikalau (terpaksanya) Anda belum ngeh
tentang Hari Batik Nasional, setidaknya dengan membaca tulisan ini jadi tahu.
Ya, semoga saja begitu.
Baiklah. Mari kembali ke cuitan Pak Jokowi tadi. Pesan
itu merupakan sebuah pesan yang singkat. Tapi butuh proses yang tak
singkat untuk melaksanakannya. Yup! Tentu saja begitu. Menggerakkan ekonomi
nasional, lho. Selain prosesnya panjang, butuh kesiapan pula dari berbagai
pihak yang terkait. Mulai dari pihak yang sangat terkait hingga yang kurang
terkait.
Di samping itu, mesti diupayakan adanya
keadilan bagi masing-masing pihak yang terkait. Yakni keadilan dalam hal
penerimaan upah, dari keterlibatan mereka dengan batik. Mulai dari si pembatik
(seniman batik) sampai ke tukang mewarnai. Mulai dari si pemilik galeri batik sampai ke tukang
parkir yang ngetem di sekitar galeri batik tersebut. Mulai dari desainer fesyen batik sampai ke mbak-mbak penjaga butik batik.
Bagaimana, ya? Saya kok ndilalah kerap kali dicurhati oleh orang-orang yang pekerjaannya terkait dengan batik. Mereka bukan seniman batik ataupun desainer pakaian batik. Mereka adalah tetangga saya, yang menjadi pekerja kasar rumah produksi batik tulis. Tepatnya menjadi tukang mewarnai.
Coba Anda cermati sehelai baju atau kain batik yang Anda punya. Terutama yang coraknya berwarna-warni. Dalam beberapa titik Anda bisa menemukan adanya warna tertentu. Misalnya nyempil di ujung sini ada secuil warna hijau. Dan secuil warna hijau yang sama baru Anda temukan lagi di ujung sana. Atau, kejepit di antara goresan motif-motif yang rumit.
Nah, para tetangga saya itu pekerjaannya ya memberikan titik-titik warna di tempat-tempat kejepit begitu. Njelimet dan... upahnya sangat minimalis. Kalau kurang mantap mewarnainya pastilah diomeli. Disuruh mengulang tapi upah tetap. Padahal, mengulang kerja = kerja dua kali. Kalau salah fatal dalam mewarnai, upah dipotong. Duileeh.
Memang sih, tidak butuh keahlian khusus untuk mengerjakannya. Tapi amat butuh kesabaran, kecermatan, dan ketekunan. Seharian, dari pagi sampai sore, maksimal menyelesaikan 5 lembar. Dan besaran upahnya, setara dengan ongkos naik taksi dari kampung saya (di dekat UPY, Sonosewu) sampai kampus UGM di Bulaksumur. Menurut saya, itu sangat minimal. Pas-pasan saja untuk ongkos hidup sehari.
Menjadi makin terasa minimal sebab usai menyelesaikan pekerjaan mewarnai, badan mereka terasa pegal-pegal tiada tara. Mata pun pedas. Maklum saja. Mereka harus mewarnai dengan cermat dan posisi duduknya cenderung monoton berjam-jam. Di titik inilah saya merasa ada kekurangadilan. Para tetangga saya sebenarnya sudah beberapa kali minta dinaikkan upah. Tapi permintaan tersebut tak kunjung disetujui oleh si pemberi pekerjaan. Mau berhenti jadi tukang mewarnai? Ah, mereka butuh sumber penghasilan. Dilematis 'kan?
Saya terkenang pada peristiwa sekian tahun silam.
Kala itu saya masih berstatus mahasiswa. Kebetulan terpilih sebagai tutor
bahasa Indonesia untuk teman-teman dari Australia. Nah, salah satu kegiatan
yang mesti kami jalani adalah kunjungan ke pabrik batik. Saat itu kami
mengunjungi sebuah pabrik batik yang berlokasi di wilayah Solo.
Pabrik tersebut
merupakan tempat produksi batik dari sebuah merek terkenal. Tempat produksi
berada di bagian belakang. Sementara di bagian paling depan, ada toko/galeri
yang menjual aneka produk. Produk yang dijual berupa lembaran kain batik,
kemeja, blus, gaun, daster, rok, dan aneka asesoris yang berbahan dasar kain
batik. Baik kain batik cap maupun batik tulis.
Cantik-cantik produknya.
Harganya pun sesuai dengan tingkat kecantikannya. Yang menurut ukuran kantong saya,
baik waktu dulu maupun waktu sekarang, tergolong mahal. Tapi teman-teman
Australia banyak kok yang memborongnya. Mereka terlihat demikian antusias terhadap
batik Indonesia. Yang cowok mematut-matut diri dengan kemeja batik. Yang cewek memantas-mantaskan
bodi dengan blus dan gaun batik. Sementara saya memandangi mereka dengan
bahagia, bangga, dan mupeng (= muka
pengin). Haha!
Sudahlah. Nafikan saja soal ke-mupeng-an saya tersebut. Enggak penting untuk dibahas ‘kan? Yang
penting untuk digarisbawahi adalah apresiasi baik dari teman-teman Australia
terhadap batik Indonesia. Akan tetapi sayang sekali, kebahagiaan dan kebanggaan
saya itu sedikit ternoda.
Di situ, di ruangan yang penuh dengan keindahan batik itu, mendadak saya disergap rasa masygul. Di antara deretan produk batik nan cantik, saya melihat nasib tak cantik dari para pekerja kasar di belakang sana. Bukan hanya yang berada di belakang toko/galeri tersebut, melainkan juga yang berada di belakang tiap produk batik; di mana pun, diproduksi oleh pabrik (produsen) batik yang mana pun.
Nasib mereka tak cantik sebab upah yang minimalis. Jika ada pekerjaan lain yang lebih nyaman, meskipun jumlah upahnya sama, mereka akan hengkang dari pabrik batik itu. Buktinya di pintu gerbang pabrik senantiasa terpasang adanya lowongan pekerjaan. Lagipula ibu pemandu tur kami, yang juga karyawan dari pabrik batik tersebut, menginformasikan bahwa selalu ada buruh baru. Tuh 'kan, saya tak sekadar berburuk sangka.
Intinya begini. Di balik sehampar keindahan kain batik, bagaimanapun ada jasa para tenaga bukan ahli (bukan seniman batik). Begitulah faktanya. Selain seniman batik tulis yang tekun berkarya dengan canting plus ubarampe lainnya, berjalannya sebuah industri batik didukung pula oleh peran para buruh batik. Siapa saja mereka? Yakni orang-orang yang diupah untuk mewarnai hasil batikan, merebus kain hasil batikan yang sudah siap dilepas lilinnya, melakukan cap motif batik ke lembaran-lembaran kain putih, dan aneka pekerjaan kasar lainnya yang terkait dengan produksi batik.
Kalau sampai tak ada lagi yang mau jadi pekerja kasar di industri batik, lalu bagaimana dong? Jadi mestinya, tradisi batik ini --selain dilestarikan dan dijadikan kebanggaan-- juga harus mampu menghidupi masyarakat di sekitarnya. Apa gunanya sekadar menjadi kebanggaan jika tidak menghidupi? Lama-lama akan kembali matisuri, bahkan dapat beranjak punah.
Agar sesuai dengan tren kekinian, memang perlu ada inovasi-inovasi tertentu dalam tradisi batik. Namun inovasi keadilan upah bagi semua orang yang terlibat produksi batik, juga perlu dilakukan. Justru bila tradisi batik bisa menghidupi, dengan sendirinya langkah pelestarian akan menjadi lebih mudah.
O, ya. Kebetulan di kampung saya, terkhusus di dasawisma saya, kami sudah memulai langkah bersenang-senang dengan batik. Kami belajar bikin batik yang paling sederhana. Yakni batik jumputan atau ikat celup. Kami memulainya dengan membuat batik untuk baju seragam dasawisma. Rencana ke depan, kalau karya kami sudah makin rapi, kami akan mencoba membisniskannya. Ah, semoga mimpi kami ini menjadi kenyataan. Aamiin....
Batik Ikat Celup karya Mbah Sukab, salah satu teman dasawisma saya. Kata sang guru, ini hasil yang paling cakep. Wah, selamat Mbah Sukab.... |
Setelah Batik Ikat Celup kami dijadikan seragam.... #Abaikan modelnya. Haha! |
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!