Si pelamar kerja unyu-unyu.... :p |
ADEGAN SATU
Ia menatapku lekat-lekat. Matanya yang lebar jernih serasa mencubit hatiku. Ah! Andaikata yang sedang menatapku lekat-lekat Armand Maulana, bukan Adiba, pastilah aku sudah salting dan melting.... #Gubraks!
"Boleh ya, Bund? Ya? Boleh, ya?" Rayu Adiba sekali lagi. Aku tak kunjung menjawab. Masih mempertimbangkannya. Pena kupegang erat-erat. Hatiku lumayan kacau. Padahal aku tahu, pena itu tak bakalan meletus.
"Sini penanya, Bund. Sudah toh, aku saja yang menulis undangan."
"Bunda suka sih kalau kamu mau membantu. Tapi kenapa minta upah? Padahal kamu sendiri yang menawarkan bantuan."
"Uh, Bunda. Tidak paham maksudku, deh. Aku 'kan niatnya cari duit. Tidak niat membantu. Ceritanya, aku sedang melamar kerja ke Bunda."
Aku tercengang mendengar jawaban panjang Adiba. Baru ngeh dengan maksudnya. O la la. Kukira si yunior telah berubah jadi baik hati dan suka menolong. Tahunya.....
"Baiklah," kataku akhirnya. "Tapi...."
"Tapi apa, Bund?" Sambar Adiba.
"Tapi upahnya selembar 500 rupiah. Bukan 1.000 rupiah. Ini 'kan pekerjaan ringan. Undangannya instan. Tinggal mengisi kolom-kolom. Kepada ibu..., hari..., tanggal..., jam...."
Meskipun terlihat agak keberatan, Adiba setuju. Oke. Deal.
ADEGAN DUA
"Kok berbaring. Ngantuk, ya? Nanti tertidur, lho. Padahal komputernya belum dimatikan."
"Sebentaaar. Bunda capek. Mau meluruskan punggung dulu," jawabku dengan mata tetap terpejam.
"Tuh 'kan. Mata Bunda terpejam. Pasti nanti tertidur. Kayak biasanya."
Seketika aku membuka mata. Kataku kemudian, "Enggak, ah. Bunda enggak mau tidur sekarang. Harus segera menyelesaikan pekerjaan. Nanggung mau berhenti. Tinggal sedikit saja, kok."
"Tapi Bunda capek?" Tanya Adiba seraya mendekatiku.
"Iya. Makanya berbaring dulu."
"Sedang mengedit atau menulis?" Ia bertanya lagi.
"Mengedit," jawabku singkat.
"Mengedit yang sulit atau yang mudah?" Adiba masih mengejar dengan pertanyaannya.
"Yang mudah," jawabku.
O, ya. Kami berdua memang punya istilah mengedit sulit dan mengedit mudah. Mengedit mudah itu meneliti ejaan saja. Ada yang salah ketik atau tidak? Ada yang kekurangan/kelebihan huruf atau tidak? Dan untuk mengedit mudah, Adiba sudah terbukti mampu melakukannya. Mata lebarnya amat jeli. Untuk anak seusianya, tingkat ketekunannya menghadapi naskah pun lumayan dapat diandalkan.
"Kalau begitu, aku melamar kerja ya. Bunda istirahat dulu sampai capeknya hilang."
O la la! ia sungguh cerdas memanfaatkan momentum. Pas emaknya lelah, pas sedang mengerjakan editan mudah.
Akhirnya, lamaran kerjanya kuterima. Tapi sebelum mulai mengedit, Adiba memastikan. "Bunda. Ini nanti selembarnya seribu, lho. Enggak 500 rupiah kayak kemarin. Pas nulis undangan itu."
Haha! Aku tertawa sebelum menjawabnya. "Oke, oke. Bunda tahu pekerjaan yang ini lebih sulit. Tapi kamu harus betul-betul teliti. Kalau dalam satu halaman masih banyak salah ketiknya, tidak jadi seribu."
"Iyaaa. Aku berjanji akan teliti," kata Adiba mantap.
EPILOG
Dari kacamata negatif, sikapku membolehkan Adiba "melamar kerja" bisa jadi memang salah. Anak mau membantu, tapi minta sejumlah upah, kok dibiarkan? Malah didukung dengan memberikan upah yang telah disepakati? Mestinya membantu itu tanpa pamrih.
Baiklah. Mestinya membantu memang tanpa pamrih. Daku setuju akan hal itu. Tapi jangan lupa, sejak awal Adiba sudah bilang untuk melamar kerja. Untuk mencari uang.
Singkat cerita, Adiba tuh sebenarnya sedang berusaha menjadi kaya. Ia ingin mengumpulkan uang banyak. Maka dari itu, ia selalu jeli melihat peluang-peluang yang sekiranya dapat mendatangkan uang. Haha!
MORAL CERITA:
Biarkan anak belajar mencari uang. Ia toh ingin kaya (ingin cari duit) dengan usahanya sendiri. Yang salah itu jika anak ingin kaya tanpa usaha. Wah, wah, wah. Anak model begini inilah yang di masa dewasanya mudah takluk pada orang-orang seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Iya toh?
Bagus juga idenya melamar pekerjaan ya, anak cerdas hehe
BalasHapussemoga dia kelak beneran tumbuh jadi manusia cerdas beriman ya Mbak ... hehehe...
Hapus