SETELAH sekian lama menjadi wali murid, aku menyadari sesuatu. Sesuatu apakah itu? Yakni fakta bahwa mayoritas orang tua tergila-gila pada nilai rapor. Ya, banyak orang tua yang ngotot supaya anak mereka bisa menjadi juara kelas. Maka sejak masih unyu-unyu, anak sudah dileskan aneka mata pelajaran. Tujuannya untuk meningkatkan nilai rapor. Bukan untuk mengejar ketertinggalan anak.
Dengan kata lain, pencapaian prestasi akademis buah hati mereka sangat diutamakan. Dianggap jauh lebih penting daripada prestasi nonakademis. Saking fokusnya, sampai-sampai mereka lalai untuk mengajarkan hal lain di luar mata pelajaran sekolah. Padahal sebetulnya, ada banyak hal (selain mata pelajaran akademis) yang perlu dipelajari anak-anak. Salah satu di antaranya mengenai cara memarkir kendaraan.
Cara memarkir kendaraan? Yoi. Berhubung konteksnya anak-anak, maka kendaraan yang dimaksudkan di sini adalah sepeda. Baik sepeda roda dua maupun roda tiga. Jangan underestimate pada tatacara parkir-memarkir. Jika anak-anak diajari tentang cara memarkir, lalu dibiasakan untuk memarkir dengan baik dan benar, niscaya pada masa dewasa kelak mereka akan terbiasa memarkir dengan ciamik.
Mungkin Anda spontan akan mengataiku lebay. Aih! Tidak begitu lho, ya. Aku tidak lebay. Pelajaran parkir-memarkir memang perlu disampaikan kepada anak-anak. Tujuannya supaya mereka tidak terbiasa serampangan bila memarkir kendaraan. Di mana pun. Kapan pun. Baik dalam situasi terburu-buru maupun tidak. Tanpa diajari, mana mungkin mereka tahu?
Jangan berpikir ini soal sepele bin remeh-temeh. Jangan pula berpikiran bahwa anak-anak otomatis akan tahu cara memarkir yang baik tanpa diajari. Bahwa seiring dengan bertambahnya usia mereka, nanti akan otomatis tahu. Eit! Siapa bilang otomatis? Justru tulisan ini lahir gegara diriku kerap mengamati orang dewasa yang "prestasi" memarkirnya jeblok.
Tahukah Anda? Diriku ini kerap kali melihat (dan menjadi korban) orang-orang dewasa yang serampangan perilaku memarkirnya. Misalnya saat beli lauk di warung makan langgananku atau ketika belanja ke minimarket dekat rumah. Sudah, deh. Pokoknya bilamana tiada tukang parkir, alias di tempat parkir gratisan, keserampangan itu menjadi nyata adanya.
Yang paling bikin kesalku adalah parkir di warung langganan. Pemilik warung sudah menyediakan halaman yang teduh dan luas bagi pengunjung warungnya. Eh, lha kok bagian parkiran yang jauh dari pintu gerbang malah dibiarkan kosong melompong. Padahal, jarak antara parkiran bagian terdalam dengan gerbang hanya sekitar 3 meteran. Alasan mereka, "biar cepat"; "cuma sebentar, kok."; "tidak akan lama sebab tidak makan di warung, tapi dibungkus".
Walhasil, semua pengunjung memilih parkir di dekat pintu gerbang. Atau, memenuhi tepi jalan depan warung. Sampai-sampai kalau ada pengunjung yang baru datang akan kesulitan masuk. Penyebabnya, kendaraan para pengunjung sebelumnya menutupi jalan masuk ke warung. Nah, dalam situasi beginilah aku kerap meradang diam-diam. Maksudnya, marah tapi kutahan untuk tidak mengomel.
Bagaimana aku tidak marah? Otomatis aku tak bisa segera mengeluarkan sepedaku, tak bisa segera pulang. Lalu, apa yang kulakukan? Berusaha santai menunggu sampai ada celah yang bisa dilalui? Ih, tentu tidak. Aku gandeng salah satu mbak penjaga warung. Seketika itu juga kuminta untuk menyingkirkan motor-motor yang menutupi akses jalan keluarku.
Walaupun si mbak lagi sibuk, aku mohon dia break dulu. Sudah pasti aku meminta dengan sopan dan lembut. Hmm. Bagaimanapun aku pelanggan setia warungnya 'kan? Lagi pula aku yakin, di antara sekian pengunjung yang harus menunggu demi aku, pasti ada yang sepeda motornya menutupi jalan sepeda onthelku. Biar impas gitu, lho. Haha!
Tuh 'kan. Terbukti bahwa banyak orang yang tidak pandai dalam pelajaran parkir-memarkir. Padahal kalau dilihat-lihat dari penampilannya, para pemarkir serampangan itu merupakan orang-orang terpelajar. Kebanyakan mahasiswa, lho. Ada pula yang PNS dan karyawan. Yang ibu-ibu rumah tangga pun sangat jelas terlihat kalau berasal dari kalangan menengah ke atas. Yang terdidik juga sebenarnya.
Berdasarkan pengalamanku, beranikah Anda menolak pelajaran parkir-memarkir? Masihkah Anda kekeuh menganggapnya sebagai pelajaran sepele dan enggak penting? Yuk! Mari berpikir ulang tentangnya.
MORAL CERITA:
Jangan sampai kita memarkir kendaraan secara serampangan. Penyebabnya, akan ada orang lain yang teraniaya oleh keserampangan kita itu. Ingat, manusia baik adalah manusia yang tidak menganiaya manusia lainnya. Dalam bentuk apa pun. Oke?
Dengan kata lain, pencapaian prestasi akademis buah hati mereka sangat diutamakan. Dianggap jauh lebih penting daripada prestasi nonakademis. Saking fokusnya, sampai-sampai mereka lalai untuk mengajarkan hal lain di luar mata pelajaran sekolah. Padahal sebetulnya, ada banyak hal (selain mata pelajaran akademis) yang perlu dipelajari anak-anak. Salah satu di antaranya mengenai cara memarkir kendaraan.
Cara memarkir kendaraan? Yoi. Berhubung konteksnya anak-anak, maka kendaraan yang dimaksudkan di sini adalah sepeda. Baik sepeda roda dua maupun roda tiga. Jangan underestimate pada tatacara parkir-memarkir. Jika anak-anak diajari tentang cara memarkir, lalu dibiasakan untuk memarkir dengan baik dan benar, niscaya pada masa dewasa kelak mereka akan terbiasa memarkir dengan ciamik.
Mungkin Anda spontan akan mengataiku lebay. Aih! Tidak begitu lho, ya. Aku tidak lebay. Pelajaran parkir-memarkir memang perlu disampaikan kepada anak-anak. Tujuannya supaya mereka tidak terbiasa serampangan bila memarkir kendaraan. Di mana pun. Kapan pun. Baik dalam situasi terburu-buru maupun tidak. Tanpa diajari, mana mungkin mereka tahu?
Jangan berpikir ini soal sepele bin remeh-temeh. Jangan pula berpikiran bahwa anak-anak otomatis akan tahu cara memarkir yang baik tanpa diajari. Bahwa seiring dengan bertambahnya usia mereka, nanti akan otomatis tahu. Eit! Siapa bilang otomatis? Justru tulisan ini lahir gegara diriku kerap mengamati orang dewasa yang "prestasi" memarkirnya jeblok.
Tahukah Anda? Diriku ini kerap kali melihat (dan menjadi korban) orang-orang dewasa yang serampangan perilaku memarkirnya. Misalnya saat beli lauk di warung makan langgananku atau ketika belanja ke minimarket dekat rumah. Sudah, deh. Pokoknya bilamana tiada tukang parkir, alias di tempat parkir gratisan, keserampangan itu menjadi nyata adanya.
Yang paling bikin kesalku adalah parkir di warung langganan. Pemilik warung sudah menyediakan halaman yang teduh dan luas bagi pengunjung warungnya. Eh, lha kok bagian parkiran yang jauh dari pintu gerbang malah dibiarkan kosong melompong. Padahal, jarak antara parkiran bagian terdalam dengan gerbang hanya sekitar 3 meteran. Alasan mereka, "biar cepat"; "cuma sebentar, kok."; "tidak akan lama sebab tidak makan di warung, tapi dibungkus".
Walhasil, semua pengunjung memilih parkir di dekat pintu gerbang. Atau, memenuhi tepi jalan depan warung. Sampai-sampai kalau ada pengunjung yang baru datang akan kesulitan masuk. Penyebabnya, kendaraan para pengunjung sebelumnya menutupi jalan masuk ke warung. Nah, dalam situasi beginilah aku kerap meradang diam-diam. Maksudnya, marah tapi kutahan untuk tidak mengomel.
Bagaimana aku tidak marah? Otomatis aku tak bisa segera mengeluarkan sepedaku, tak bisa segera pulang. Lalu, apa yang kulakukan? Berusaha santai menunggu sampai ada celah yang bisa dilalui? Ih, tentu tidak. Aku gandeng salah satu mbak penjaga warung. Seketika itu juga kuminta untuk menyingkirkan motor-motor yang menutupi akses jalan keluarku.
Walaupun si mbak lagi sibuk, aku mohon dia break dulu. Sudah pasti aku meminta dengan sopan dan lembut. Hmm. Bagaimanapun aku pelanggan setia warungnya 'kan? Lagi pula aku yakin, di antara sekian pengunjung yang harus menunggu demi aku, pasti ada yang sepeda motornya menutupi jalan sepeda onthelku. Biar impas gitu, lho. Haha!
Tuh 'kan. Terbukti bahwa banyak orang yang tidak pandai dalam pelajaran parkir-memarkir. Padahal kalau dilihat-lihat dari penampilannya, para pemarkir serampangan itu merupakan orang-orang terpelajar. Kebanyakan mahasiswa, lho. Ada pula yang PNS dan karyawan. Yang ibu-ibu rumah tangga pun sangat jelas terlihat kalau berasal dari kalangan menengah ke atas. Yang terdidik juga sebenarnya.
Berdasarkan pengalamanku, beranikah Anda menolak pelajaran parkir-memarkir? Masihkah Anda kekeuh menganggapnya sebagai pelajaran sepele dan enggak penting? Yuk! Mari berpikir ulang tentangnya.
MORAL CERITA:
Jangan sampai kita memarkir kendaraan secara serampangan. Penyebabnya, akan ada orang lain yang teraniaya oleh keserampangan kita itu. Ingat, manusia baik adalah manusia yang tidak menganiaya manusia lainnya. Dalam bentuk apa pun. Oke?
Hahaha iyaaaa! Aku pun suka bete dg cara memarkir yang serampangan.
BalasHapusLalu kita harus bagaimana, mba?
hadeuwwh....kita harus memperjuangkan mata pelajaran memarkir utntuk dimasukkan ke dalam kurikulum resmi sekolah...
HapusDi sekolah, kalau mau parkir rada mepet2 kalau pas pakai rok, sangat kesulitan. tapi kalau pas pakai celana panjang tinggal syuttt. mepet2 ndak masalah hehe
BalasHapushehehehe ... berarti gaya berbusana berpengaruh pula rupanya
Hapus