DIRIKU sangat yakin bahwa tiap orang tua ingin anaknya pintar. Orang tua yang paling tidak antusias pun, tidak bakalan ingin anaknya bodoh. Hanya orang tua enggak jelas yang tidak berminat menjadikan anaknya pintar. Yup! Normalnya begitu 'kan?
Bahkan, banyak orang tua yang ingin anaknya pintar di segala bidang. Mulai dari mengaji, menari, menyanyi, berhemat, akademis... dan lain-lain bidang kepintaran apa pun yang ada di dunia fana ini. Ibaratnya kalau memungkinkan, Einstein pun harus dikalahkan oleh si anak.
Namun tak bisa dipungkiri, mayoritas orang tua terfokus pada kepintaran akademis. Mereka berlomba-lomba untuk meningkatkan kemampuan akademis anak. Ketika nilai ulangan harian anak buruk, orang tua panik setengah hidup. Seolah-olah langit sepertiga runtuh. Harga diri orang tua pun terasa terbanting.
Begitulah faktanya. Terlampau banyak orang tua yang ingin sekali buah hatinya menjadi juara kelas. Punya nilai rapor yang super duper tinggi. Lalu, berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke tempat les mata pelajaran. Maka tidak mengherankan, banyak guru les mata pelajaran yang laris manis tanjung kimpul.
Salahkah bila orang tua ingin anaknya jadi juara kelas? Tentu tidak. Hanya saja, gara-gara terlalu fokus pada hal itu, banyak orang tua yang bersikap tidak adil. Tidak adilnya begini: orang tua menjadi lalai untuk mengapresiasi kepintaran anak di luar bidang akademis.
Padahal sesungguhnya, tiap anak punya kapasitas dan potensi yang berlainan. Maka alangkah tidak bijaksananya, jika semua anak dituntut
untuk bernilai rapor tinggi. Tiap anak 'kan punya jenis kecerdasan yang
berlainan. Tidak semuanya mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi.
Ada yang menonjol prestasi akademisnya, tapi kecerdasan sosialnya rendah. Ada yang nilai rapornya biasa-biasa saja, tapi ternyata sangat bagus prestasi melukisnya. Ada yang nilai rapornya nyaris kebakaran semua, tapi terbukti beberapa kali menjadi juara lomba lari.
Duh, orang tua? Jangan lupa bahwa kecerdasan itu bermacam-macam. Tak hanya yang menyangkut nilai-nilai akademis. Yang adil dan proporsional, dong. Lagi pula, kesuksesan di masa depan tidak melulu tergantung pada prestasi akademis. Percayalah.
Anak yang nilai rapornya pas-pasan, bisa saja menjadi juara dunia bulutangkis. Namanya mewangi dalam catatan sejarah olahraga bangsanya. Dengan catatan, bila sejak awal ia sudah intensif berlatih bulutangkis. Demikian pula anak yang tergila-gila menggambar sehingga rapornya nyaris kebakaran. Siapa tahu di masa depan, ia menjadi seorang pelukis terkenal?
Pada akhirnya diriku hanya ingin mengajak para orang tua di mana pun berada. Yakni mengajak untuk lebih memahami anak-anak kita. Mari tuntut anak-anak itu untuk pintar di bidang yang memang diminatinya. Jangan tuntut mereka untuk mampu menguasai segala macam kepintaran. Ingat, hidup tak sebatas nilai rapor. Oke?
MORAL CERITA:
Tiap anak punya bakat dan potensi masing-masing. Jadi, jangan tuntut anak untuk selalu menyamai prestasi teman-temannya. Terlebih jika prestasi teman-temannya itu berbeda "jalur" dengannya.
Meskipun dua anak di depanku itu sedarah, tetap saja punya bakat dan potensi yang berlainan.... |
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!