BELAKANGAN ini banyak teman fesbukku yang update status tentang obral buku besar-besaran. Baik yang disertai foto maupun yang melulu retorika kata. Dari foto-foto yang mereka upload, buku yang diobral memang besar-besaran jumlahnya. Berkeranjang-keranjang. Berderetan dalam rak-rak. Harganya? Wah, harganya juga sangat obral. Dalam arti, harga obral buku-buku tersebut sangat gila murahnya.
Sudah pasti itu merupakan sebuah situasi yang sangat bagus bagi kaum book lovers. Tapi di sisi sebaliknya, terasa pahit-pahit gimana bagi kaum writer. Kalau orang lebih suka beli buku dengan harga diskon gila, apa jadinya dengan keberlangsungan hidup penulis? Padahal, menulis naskah buku itu tak semudah melukis luka di hati seseorang. Hush!
Sudah pasti itu merupakan sebuah situasi yang sangat bagus bagi kaum book lovers. Tapi di sisi sebaliknya, terasa pahit-pahit gimana bagi kaum writer. Kalau orang lebih suka beli buku dengan harga diskon gila, apa jadinya dengan keberlangsungan hidup penulis? Padahal, menulis naskah buku itu tak semudah melukis luka di hati seseorang. Hush!
Konon pihak penerbit pun tak kalah baper dengan situasi diskonan gila serupa itu. Entahlah. Kiranya ada banyak hal yang butuh penjelasan deh dari persoalan ini. Tapi..., sudahlah. Enggak perlu baper. Dilihat dari kacamata yang positif saja; bahwa dengan adanya diskon besar-besaran bin gila-gilaan tersebut, makin banyak buku yang terakses oleh masyarakat luas. 'Kan harganya makin (sangat) terjangkau?
Oke. Sebagai bagian dari pasukan writer, aku masih sanggup menerima kenyataan diskon gila tersebut. Tapi ada satu hal yang bikin aku memeram geram dalam temaram rasa. Yang membuatku... terbakar amarah sendirian! Wow, sudah seperti Pram saja lagakku.
Bagaimana aku tidak marah dan geram? Aku melihat satu foto yang sangat tak senonoh. Ada pengunjung (calon pembeli) bazar buku yang kakinya menginjak-injak sekumpulan buku. Ah, parah! Hasil karya intelektual, sebuah bukti buah pikir, yang didesain sebegitu rupa sebelum dicetak massal; eh... lha kok seenak perut diinjak-injak begitu. Bukankah itu sebuah tindak pelecehan intelektual?
Yeah! Bagiku boleh-boleh saja buku berserakan di lantai. Baik di lantai bazar buku, lantai toko buku, maupun lantai rumah. Syaratnya, ENGGAK BOLEH diinjak. Diinjak saja tak boleh. Apalagi diinjak-injak. Camkan itu! Sejak Adiba batita pun syarat tersebut sudah kuberlakukan kepadanya. Jangankan untuk buku, koran pun enggak boleh diinjak.
Dan seingatku, aturan demikian aku warisi dari bapak tercintaku. Alhamdulillah hingga detik ini aturan tersebut masih tetap kugenggam erat-erat. Takut meletus soalnya. Eh? Maksudku, takut kalau anakku kelak tumbuh dewasa dengan sikap tak menghargai buku.
Oke. Sebagai bagian dari pasukan writer, aku masih sanggup menerima kenyataan diskon gila tersebut. Tapi ada satu hal yang bikin aku memeram geram dalam temaram rasa. Yang membuatku... terbakar amarah sendirian! Wow, sudah seperti Pram saja lagakku.
Bagaimana aku tidak marah dan geram? Aku melihat satu foto yang sangat tak senonoh. Ada pengunjung (calon pembeli) bazar buku yang kakinya menginjak-injak sekumpulan buku. Ah, parah! Hasil karya intelektual, sebuah bukti buah pikir, yang didesain sebegitu rupa sebelum dicetak massal; eh... lha kok seenak perut diinjak-injak begitu. Bukankah itu sebuah tindak pelecehan intelektual?
Yeah! Bagiku boleh-boleh saja buku berserakan di lantai. Baik di lantai bazar buku, lantai toko buku, maupun lantai rumah. Syaratnya, ENGGAK BOLEH diinjak. Diinjak saja tak boleh. Apalagi diinjak-injak. Camkan itu! Sejak Adiba batita pun syarat tersebut sudah kuberlakukan kepadanya. Jangankan untuk buku, koran pun enggak boleh diinjak.
Dan seingatku, aturan demikian aku warisi dari bapak tercintaku. Alhamdulillah hingga detik ini aturan tersebut masih tetap kugenggam erat-erat. Takut meletus soalnya. Eh? Maksudku, takut kalau anakku kelak tumbuh dewasa dengan sikap tak menghargai buku.
Pokoknya kalau di depan mataku Anda berani menginjak-injak buku, tak segan-segan sebuah jitakan akan kupersembahkan bagi Anda. Beneran ini. Kalau Anda berkawan akrab denganku, jitakanku pun lebih keras. 'Kan kanca dewe?
Ngomong-ngomong, sikap Anda sendiri bagaimana?
MORAL CERITA:
Ngomong-ngomong, sikap Anda sendiri bagaimana?
MORAL CERITA:
Adab terhadap buku pun merupakan satu materi parenting yang penting, yang tak boleh dilalaikan. Setuju, ya?
Di ruang tamu, di bawah meja, ada serakan buku pelajaran. Huft! Asal tidak diinjak sajalah. |
Ada kemungkinan di dalam buku PAI itu ada nukilan ayat Alquran. Nah, lho! Bagaimana coba kalau buku tersebut diinjak-injak? |
Penghormatan terhadap buku menunjukkan bahwa manusia itu beradab.
BalasHapussipa, Pak. Demikianlah adanya. Terima kasih atas apresiasinya :D
Hapus