APA yang
tebersit di benak Anda demi membaca judul di atas? Mendadak teringat monyet di
bonbin? Mendadak baper sebab monyet peliharaan tetangga pernah merampas pisang
yang Anda makan? Jadi ingat bahwa monyet pun memiliki keluarga; punya kakak dan
adik? Jadi geli sebab membayangkan adik Anda menjadi monyet? Wuahduh!
Begini
saja, deh. Sebaiknya segera singkirkan segala macam bersitan pikiran Anda itu. Sebab
adik monyet yang kumaksud adalah… monyet imut dalam topeng monyet. Alias si
pemeran utama dalam ledhek munyuk
(istilah dalam bahasa Jawa). Alias si bintang pementasan dalam kethek ogleng (istilah lain dalam bahasa
Jawa).
Eit,
hati-hati. Sebutan “imut” itu bukan berarti cakep dan kiyut, ya. Bukan berarti
secakep dan sekiyut Nicholas Saputra. Tapi lebih cenderung bermakna “kecil dan
bertingkah kocak”. Hehehe…. #Maaf ya Om NichSap, kubawa-bawa namamu dalam
urusan monyet ini
Lalu,
mengapa kupanggil si dia dengan sebutan adik? Adik monyet? Aih. Aku ‘kan cuma
menirukan Adiba, putri semata wayangku. Dahulu tatkala masih berusia batita,
Adiba selalu memanggil si dia dengan panggilan sayang begitu. Cateeet.
Panggilan sayang, lho!
Mengapa
Adiba menyebut si dia adik monyet? Tidak monyet begitu saja? Penyebabnya, si
monyet imut itu berpakaian. Tidak telanjang seperti monyet di bonbin. Nah, nah.
Di mata Adiba batita, monyet imut yang bercelana monyet itu mirip adik-adik.
Namun
syukurlah makin bertambah usia, Adiba jadi ogah memanggilnya adik. Sekarang
kalau menyebut monyet dalam topeng monyet ya “monyet” begitu saja. Tanpa
embel-embel “adik”. Alhamdulillah.
Tapi sayang sekali, aku justru yang susah move on. Begitu melihat rombongan topeng
monyet di mana pun dan kapan pun, seketika aku berdesis, “Ada adik monyet!”
Parah.
Yoi!
Kukira siapa pun akan tersenyum bilamana menonton pementasan topeng monyet. Si
(adik) monyet memang lucu, sih. Monyet kok berpakaian. Mana aksinya
bermacam-macam pula. Sok-sokan bergaya menirukan gaya manusia.
Tak
sekadar gaya mau ke pasar, komplet dengan payung dan tas belanjanya. Tapi
kadang kala juga bergaya kebut-kebutan pakai sepeda motor supermini. Atau
bergaya bak fotomodel, lengkap dengan jaket dan kacamata ribennya. Wow! Dan…
senyum mrengesnya itu, lho. Selalu bikin keki.
Mengingat
kekocakan dan kekonyolan si (adik) monyet, maka wajar kalau banyak orang suka
menonton topeng monyet. Tapi mayoritas suka menonton saja, sih. Tidak suka
menanggapnya.
Kalau menanggap, berarti mengundangnya untuk pentas. Setelah pentas/pertunjukan selesai,lalu membayarnya. Di sini ini yang rerata orang tidak mau. Maunya 'kan menonton saja. Ckckck. Termasuk aku
juga, sih.
Maka
ketika serombongan topeng monyet lewat dan seseorang menghentikannya,
bersukarialah orang sekampung. Maksudnya menghentikan dan menanggapnya lho, ya.
Bukan sekadar menghentikan lalu kabur. Itu sih namanya hit and run.
Hmmm. Begitulah fakta kehidupan. Ternyata banyak orang
suka hal/barang gretongan alias G-R-A-T-I-S-A-N. Lagi-lagi, termasuk saya juga.
Oke. Mari
balik ke soal (adik) monyet. Sebetulnya tiap kali menonton pertunjukan topeng
monyet, aku disergap kegalauan. Aku terjebak di antara rasa pilu dan perasaan
terhibur.
Memang sih, aku banyak tersenyum ketika menonton ulah kocak si (adik)
monyet. Bahkan sesekali ikut tergelak-gelak, bila tingkahnya cenderung
gila-gilaan. Akan tetapi, senyum dan gelak tawaku itu beraroma getir.
Bagiku,
ada banyak hal kontradiktif di balik sebuah pertunjukan topeng monyet. Yeah,
bagaimana ya? Hatiku bimbang untuk menentukan. Apakah harus tegas berpihak pada
aturan yang melarang topeng monyet, ataukah mesti kekeuh berdiri di pihak yang tidak melarangnya? Sungguh, aku
betul-betul disergap kebimbangan akut saat berada di titik ini.
Bila tak
ada lagi orang yang menanggap topeng monyet, berarti tukang topeng monyetnya tak
bakalan berpenghasilan. Padahal, ia butuh uang untuk menafkahi keluarganya. Ia juga
mesti membiayai hidup si (adik) monyet.
Bisa saja kita bilang, solusinya ‘kan mudah. Tinggalkan
profesi sebagai tukang topeng monyet. Cari pekerjaan lain. Iya, sih. Tapi
masalahnya, tidak semua tukang topeng monyet mampu
langsung move on.
Sementara di sisi lain, jika rombongan topeng monyet ditanggap,berarti si (adik) monyet
dieksploitasi. Duh! Kasihan, bukan? Walaupun sebagai kompensasinya, ada sejumlah duit buat rombongan topeng mnonyet tersebut.
Maka aku sepakat dengan Pak Jokowi, yang
dulu sempat meminta para (adik) monyet dibebaskan dari ikatan profesi mereka.
Tidak lagi disuruh mengamen. Dipensiunkan dari rombongan topeng monyet.
Ngomong-ngomong, Anda masih ingat kebijakan Pak Jokowi yang itu ‘kan? Itu, lho. Sebelum beliau menjadi RI-1.
Sejujurnya
aku susah menempatkan rasa dalam persoalan ini. Mengeksploitasi monyet berarti
tidak sesuai dengan perikebinatangan. Akan tetapi, serta-merta menghentikan
pekerjaan tukang topeng monyet pun kurasa lumayan kejam.
Terlebih bila kita
sekadar melarang tanpa mau mencarikan solusinya. Baik solusi jangka pendek maupun
solusi jangka panjang.
Sementara
di sisi lain, uang yang didapat dari pertunjukan topeng monyet amat dibutuhkan
oleh si tukang topeng monyet. Bahkan, diperlukan juga oleh keluarganya dan si
(adik) monyet sendiri. Hadeuh! Betul-betul pusing deh, jika mikirin topeng
monyet secara serius begini.
Ya, sudahlah. Hidup toh merupakan deretan perkara
yang acap kali bikin pusing. Dan kali ini, giliran perkara monyetlah yang
memusingkanku. Huft!
MORAL CERITA:
Dalam hidup ini, kita kerap kali berhadapan dengan hal-hal yang kontradiktif.
MORAL CERITA:
Dalam hidup ini, kita kerap kali berhadapan dengan hal-hal yang kontradiktif.
#Tanpa foto sebab rombongan keburu lenyap di tikungan sana
iya mbak, sama... rasanya nyesek lihat "hiburan" topeng monyet, tapi masih saja ada warga yang nyewa mereka untuk ditonton anak - anak kecil :(((
BalasHapusdilematis memang mbak...
Hapus