SESUAI janjiku kemarin, hari ini akan kuceritakan mengenai film yang kutonton bersama duo kakak hebat. Masih ingat 'kan pada janjiku itu? Kalaupun Anda lupa tak mengapa. Yang penting kali ini janji telah kutunaikan. Hehehe....
Kalau lupa pada janjiku atau malah belum tahu janjiku itu, silakan baca dulu di sini deh Me Time Us Time with XXI .
Baiklah. Langsung saja kuberitahu, ya. Film yang kami tonton berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. Supaya makin jelas, ini aku download-kan posternya. Maklumlah. Pas di Gedung XXI diriku tak melihat posternya. Tak sempat pula mencari-carinya. Jadi, tak bisa memotret poster yang asli.
Kalau lupa pada janjiku atau malah belum tahu janjiku itu, silakan baca dulu di sini deh Me Time Us Time with XXI .
Baiklah. Langsung saja kuberitahu, ya. Film yang kami tonton berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. Supaya makin jelas, ini aku download-kan posternya. Maklumlah. Pas di Gedung XXI diriku tak melihat posternya. Tak sempat pula mencari-carinya. Jadi, tak bisa memotret poster yang asli.
Poster filmnya. Dan, beberapa wajah yang tampak di situ tak kuhafal namanya. Diriku hanya tahu kalau mereka bintang film. Yaiyalaaah.... |
Begitu Kak Vivi menyebutkan judulnya, aku langsung teringat Pak Amien Rais. Serius. Bukankah Rangga dan Hanum (si empunya projek novel dan film ini) adalah menantu-anak beliau?
Ah! Mari balik ke Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. Menurutku, jika Anda belum menonton bagian pertamanya (yaitu film Bulan Terbelah di Langit Amerika), maka cenderung akan bingung mengenai hubungan tokoh-tokohnya.
Bingung sekali sih, tidak. Tapi sampai akhir film, Anda bisa jadi akan setia bertanya-tanya, "Di mana Hanum dan Rangga kenal dengan Azima? Bagaimana pula Rangga bisa punya kawan pemabuk seperti Stefan? Siapa sebenarnya suami Azima? Meninggal atau dipenjara?"
Maka kusarankan, sebelum menonton film apa pun yang punya embel-embel "2" atau tanpa embel-embel begitu tapi jelas merupakan sekuel, sebaiknya tonton dulu film jilid pertamanya. Atau minimal, cari informasi mengenainya. Jangan terbalik seperti diriku, ya. Menonton jilid keduanya dulu, baru cari-cari info jilid pertamanya. Lalu, baru ngeh dengan film yang barusan ditonton. Haha!
O, ya. Merujuk pada judulnya, aku membayangkan sebuah semiotika yang rumit. Tapi o la la! Ternyata di ujung film, di otakku melintas sebersit protes. Ya, aku ingin berkomentar, "Kok begini doang? Rasanya kurang greget. Filmnya keberatan judul."
Flashback tentang sejarah Islam di Cina terkesan sekadar tempelan pemanis. Padahal mungkin, justru itulah yang menjadi pokok utama film. Aduh, bagaimana ya? Pokoknya begitu, deh. Aku keluar dari ruangan film tanpa kesan mendalam. Aku agak gagal fokus dengan makna yang disampaikan.
Begitulah penilaianku terhadap Bulan Terbelah di Langit Amerika 2. Setelah kutelusuri novelnya dan film jilid pertamanya, aku berkesimpulan begini: Ini hanya sebuah film yang merupakan projek pemanjangan romantisme. Sebenarnya kisah sudah selesai di film jilid pertamanya.
Sudahlah. Mungkin pula hanya ekspektasiku saja yang amat tinggi terhadapnya. Mungkin, ya?
MORAL CERITA:
Kurasa, film sekuel pada umumnya memang kurang oke. Betul atau tidak?
#O, ya. Sebagai bukti bahwa aku menonton beneran, ini kusertakan bukti tiketnya. Haha....
11-12 lah sama kesanku pada film tersebut....
BalasHapushehehe...berarti ku tak keliru
HapusIdem.... He... He... Melu... Melu....
BalasHapuswokeee...idem ideemm..hahahha..
Hapus