"JAJAN
apa tadi di sekolah?" Begitu selalu tanyaku pada Adiba tiap kali ia
pulang sekolah. Lalu, bidadari kecilku itu pun menyebutkan satu per satu
makanan dan minuman yang tadi dibelinya.
Jika yang dibelinya makanan dan minuman yang relatif sehat (misalnya telur puyuh dadar, buah, pisang goreng, susu kedelai, atau es jeruk), perasaanku lega. Aku pun memberinya pujian sebagai anak hebat. Kukatakan kepadanya, "Pinter, deh. Jajanannya tidak berpengawet."
Sebaliknya, jika yang dibelinya jajanan kemasan murahan, aku beranjak galau. O, ya. Yang kumaksud itu jajanan kemasan harga lima ratus atau seribu rupiah. Yang kandungan MSG, zat pewarna, dan zat pengawetmya sangat tinggi. Anda tentu sudah mafhum kalau jajanan sejenis itu kosong gizi.
Demi melihat wajah galauku, biasanya Adiba langsung paham. Dia kemudian buru-buru minta maaf karena telah melanggar kesepakatan kami. Katanya, "Maaf ya, Bunda. Tadi Diba pingiiin banget. Soalnya teman-temanku beli semua."
Apa boleh buat? Namanya juga anak-anak. Masih belum mampu bersikap. Masih kerap kali terpengaruh oleh teman. Kalau sudah begitu, sekali lagi aku hanya bisa mengingatkannya. Yakni mengingatkan tentang bahaya memakan jajanan tak sehat.
Kuakui, kadang-kadang diri ini merasa bosan dan kesal juga. Sudah ratusan kali diulang-ulang, eh, masih saja saja si Adiba melupakannya. Tapi demi kebaikan, kutikam saja rasa bosan dan kesal tersebut. Inilah kiranya salah satu perjuanganku untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hehe ....
Begitulah pengalamanku terkait jajanan sekolah untuk anak. Yup! Sejak Adiba masuk SD hingga kelas VI sekarang, aku tetap merasa perlu untuk menanyainya. Dengan pertanyaan yang sama, "Di sekolah tadi jajan apa?"
MORAL CERITA:
Menanamkan kebiasaan sehat pada anak-anak memang tak mudah. Perlu proses dan waktu.
Jika yang dibelinya makanan dan minuman yang relatif sehat (misalnya telur puyuh dadar, buah, pisang goreng, susu kedelai, atau es jeruk), perasaanku lega. Aku pun memberinya pujian sebagai anak hebat. Kukatakan kepadanya, "Pinter, deh. Jajanannya tidak berpengawet."
Sebaliknya, jika yang dibelinya jajanan kemasan murahan, aku beranjak galau. O, ya. Yang kumaksud itu jajanan kemasan harga lima ratus atau seribu rupiah. Yang kandungan MSG, zat pewarna, dan zat pengawetmya sangat tinggi. Anda tentu sudah mafhum kalau jajanan sejenis itu kosong gizi.
Demi melihat wajah galauku, biasanya Adiba langsung paham. Dia kemudian buru-buru minta maaf karena telah melanggar kesepakatan kami. Katanya, "Maaf ya, Bunda. Tadi Diba pingiiin banget. Soalnya teman-temanku beli semua."
Apa boleh buat? Namanya juga anak-anak. Masih belum mampu bersikap. Masih kerap kali terpengaruh oleh teman. Kalau sudah begitu, sekali lagi aku hanya bisa mengingatkannya. Yakni mengingatkan tentang bahaya memakan jajanan tak sehat.
Kuakui, kadang-kadang diri ini merasa bosan dan kesal juga. Sudah ratusan kali diulang-ulang, eh, masih saja saja si Adiba melupakannya. Tapi demi kebaikan, kutikam saja rasa bosan dan kesal tersebut. Inilah kiranya salah satu perjuanganku untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hehe ....
Begitulah pengalamanku terkait jajanan sekolah untuk anak. Yup! Sejak Adiba masuk SD hingga kelas VI sekarang, aku tetap merasa perlu untuk menanyainya. Dengan pertanyaan yang sama, "Di sekolah tadi jajan apa?"
MORAL CERITA:
Menanamkan kebiasaan sehat pada anak-anak memang tak mudah. Perlu proses dan waktu.
pertanyaan sering diutaran ibuku , mbak :)
BalasHapushmmm, dan... apakah jawabanmu selalu seperti anakku? hihihi ....
Hapuskayaknya sama mbak, hehehe
HapusHOHOHO....jawaban mainstream ya itu rupanya
Hapus