Reranting kering pun menghiasi langit senja Malioboro yang bermendung. Entah sendu, entah syahdu? |
TUMBEN. Dalam kurun waktu 14 hari saja, aku sudah dua kali berkunjung ke Malioboro. Berkunjung dalam arti yang sebenarnya. Sengaja datang untuk menikmati Malioboro ala-ala para pelancong luar kota/luar negara. Ya, semata-mata datang untuk berwisata. Melebur dalam sukacita para wisatawan yang berasal dari mana pun. Bukan sekadar lewat. Bukan pula cuma datang untuk membeli suatu barang di sebuah toko.
Ada apa gerangan? Jawabannya jelas. Sebab Malioboro makin cantik. Makin nyaman untuk disinggahi. Sama halnya dengan hatiku. Ehem. Aku sih merasa makin ke sini hatiku makin cantik. Bahkan mungkin pula, makin nyaman untuk disinggahi. Haha!
Sebagai orang yang ber-KTP DIY, terkhusus beralamat di wilayah kodya Jogja, terlebih tinggal di daerah yang 15 menit saja jarak tempuhnya dari Malioboro, aku tak sungkan berperan sebagai wisatawan. Tak merasa perlu untuk mengalah dari para wisatawan luar kota dan wisatawan mancanegara. Maksudku, mengalah dalam rebutan kursi-kursi cantik dan bola-bola semen unik untuk duduk.
Dari ujung ke ujung, tak ada kursi kosong. Sebetulnya kursi itu muat untuk tiga sampai empat orang. Tapi kalau sudah ada sepasang sejoli begitu, masak sih aku nekad ndusel di samping mereka? |
Anda tentu mafhum. Rasa capek dan rasa ingin duduk itu 'kan universal. Tidak monopoli para turis pendatang. Turis lokal banget seperti diriku pun berhak untuk menikmati tempat duduk di Malioboro. Iya 'kan? Hehe... Maka berkunjung ke Malioboro tatkala senja = siap untuk berebut kursi cantik. Maaf. Ini sama sekali tak bermaksud menyinggung soal politik, lho. Hanya soal kursi untuk duduk sebab kaki yang pegal-pegal usai berjalan-jalan.
Alhamdulillah, akhirnya menemukan sebuah bola semen untuk duduk plus narsis. Memang sebola semen untuk berdua. Tapi amat lumayan daripada ngedeprok di trotoar 'kan? |
Begitulah adanya Malioboro tatkala senja. Tak peduli mendung tak peduli cerah, senantiasa ramai tiada tara. O, ya. Sebab kedatanganku bukanlah pada Sabtu senja, tidak kujumpai sekelompok orang yang sedang melakukan Malioberen. Apa itu Malioberen? Silakan klik di sini untuk tahu penjelasannya, ya.
Apa boleh buat? Malioboro menjelang malam justru makin menawan. Selain pedagang lesehan yang mulai berdatangan untuk menggelar lapak, kaum pelancong juga makin menyemut di situ. Yang belum lelah masih hilir-mudik menyusuri area pedestrian. Yang sudah lelah nongkrong cantik di mana-mana. Sudah pasti aktivitas selpie-selpie terlihat di sana-sini.
Buat apa duduk saja tanpa melakukan aksi selpie? |
Puas-puasin selpie deh.... |
Pada akhirnya, ketika senja benar-benar pamitan pulang, malam pun datang menggantikannya. Pendar lampu-lampu jalan makin nyata adanya. Lampion-lampion merah sisa perayaan Imlek juga mulai menyala.
Lampion-lampion merah itu pun mulai benderang.... |
Seiring berkumandangnya azan Magrib, orang-orang yang butuh untuk menuntaskan rindu kepada-Nya segera mencari mushola. Jangan cemas soal mushola di Malioboro. Ada banyak toko yang menyediakan mushola apik. Yang menjadi mushola langgananku sih, yang berada di lantai tiga Mirota Batik Hamzah Batik.
Jadi, kapan Anda menikmati senja di Malioboro?
MORAL CERITA:
Menikmati keindahan senja di Malioboro sangat afdal bila ditutup dengan melakukan shalat di salah satu mushola yang ada di situ. Apa salahnya berterima kasih kepada-Nya barang sebentar, setelah sekian lama menerima nikmat berupa keindahan senja? Belum lagi bentuk nikmat-nikmat yang lainnya.
makin cantik , jalanan marlboro nya. ya mbak. kayak bandung juga
BalasHapusya, Mas. Tapi Malioboro masih perlu berbenah kok, menurutku masih kalah cantig dari jalanan kota Bandung
Hapusyogya dan bandung memiliki kulturnya masing-masing mbak. yogya kalau dibenahi lagi , bandung bakal kalah. :)
Hapusyoi, benar juga ya, yang terpenting adalah memaksimalkan potensi daya tarik masing-masing.
HapusBila saat sholat, saya suka yang di lantai atas Toko Alfath, atau kadang yang di depan DPRD :)
BalasHapusTernyata, Malioboro pun berpotensi membuat para pengunjungnya memiliki mushola pujaan masing-masing. Haha...
HapusSaya sudah beberapa kali ke sini tapi belum bisa dapat foto yang menurutku bagus buk. Sepertinya tanggal 15 nanti coba ke sini kan libur nasional heheheheh
BalasHapushihihi...Anak muda, Rabu dikau liburan total ya, klo diriku mesti ke TPS dulu. BTW waaahhh...aku jadi malu nih dg kualitas foto-fotokuuh...
HapusWaaahh, aku malah blm kesampaian menikmati new Malioboro nih mba. Makasih ya ceritanya.
BalasHapusoke, sama-sama mamah syantiiik... dirimu memang belum sempat ke New Malioboro, tapi malah sudah sempat ke sono-sonooooo... :D
HapusIya, sekarang Malioboro kian cantik dengan trotoar yg dihiasi kursi2 menawan. Aku pun pas jalan2 ke sana nggak kebagian kursi, Mba :)
BalasHapusNah, kan...apa memang rebutan kursi itu enak dan perlu? Haha... Tengkiyu, Mbak, atas kunjungannya.
HapusAh jadi kangen jogja... :D
BalasHapusAyolah Mbak, monggo menuntaskan kangen ke Jogja, saya siap memandu...
HapusAda kursi-kursinya gitu ya di jalan pedestrian.. mantap.
BalasHapusIya, Bang. Makin mantap kalau enggak hujan dan kita kebagian kursi... :D
HapusDan aku pun cuma bisa duduk di rumah, belum sempat menikmati hangatnya malioboro, padahal deket juga...hadeeiuh
BalasHapushehehe ... iya, Mbak Pipiet. Dekat bukan berarti selalu sempat hahaha ...
Hapus