SEMBARI beberes rumah dan
sesekali corat-coret ide di buku coretan aneka warna, aku mengikuti
siaran langsung peringatan HPN 2017. Tentu via RRI, tapi entah pro
berapa. Eh, seru lho pidato-pidatonya. Bikin diriku tertawa-tawa
sendiri (tidak kuwakilkan).
Sambutan sang penanggung jawab
peringatan HPN gokil banget, deh. Dalam satu bagian pidatonya, beliau
mengatakan begini, ".... Di sini berkumpul para pemilik media. Di
antaranya bapak A, B, C, bla-bla-bla....
Ada pula yang tidak bisa hadir sebab sudah tutup usia,
yaitu...bla-bla-bla.... Ada bapak X yang tidak hadir sebab alasan usia,
bapak Y yang alasannya juga usia.... Lalu bapak DI dengan alasan tidak
bisa naik pesawat...."
Dan, entah mengapa? Alasan tidak bisa naik pesawat itu bikin aku kembali tertawa-tawa. Tapi sekaligus mikir keras (dasar sok bisa berpikir keras).
Lalu, tiba saatnya Bapak Presiden RI berpidato. Wuih, sama saja. Meskipun isi pidatonya serius dan disampaikan dengan serius, aku awet tertawa-tawa. Tahu sendirilah. Mana bisa aku tak merasa geli, jika beliau mengatakan bahwa saat ini siapa saja bebas main medsos...bla-bla-bla...bupati, gubernur, presiden, semua main twitter, fesbuk, path.....
Coba, bagaimana aku tak ngakak sendirian sembari memegang kemoceng? Mendengar perkataan beliau itu, imajinasiku malah terbang ke mana-mana. Pada tagar #SayaBertanya; pada status fesbuk Kaesang yang mempertanyakan sakit akibat mencintai diam-diam, apakah ditanggung BPJS atau tidak; pada seorang mahmud cantik yang ngamuk-ngamuk di path; pada seorang ibu yang.... Halah sudahlah. Haha!
Imajinasiku kadang kala memang terlalu liar. Beliau bisa jadi sekadar mencontohkan. Sekadar memberikan paparan. Kalau aku menangkapnya sebagai sebuah sindiran, ya apa boleh buat? Haha!
Lumayanlah. Pagiku kali ini dibuka dengan hal-hal berbau humor. Alhamdulillah.
O, ya. Selamat Hari Pers Nasional juga, deh. Bagi insan pers Indonesia di mana pun dan yang sedang melakukan aktivitas pers apa pun. Semoga makin tangguh dan kokoh sebagai salah satu pilar bangsa tercinta ini.
MORAL CERITA:
Kalau sebuah pidato resmi isinya mengenai hal-hal kekinian, jadinya asyik dan menarik. Tidak terasa monoton gitu, lho.
Senja yg muram. Mentari sembunyi takut keluar seperti anak kecil yg bermain petak umpet. Petani tersenyum kecut melihat buliran buliran gabah yg mulai berkecambah di dalam karung. Jauh dari hingar bingar orang orang yg tdk tahu betapa susah mengumpulkan segenggam asa dari sebutir padi. Tak ada pidato tak ada orasi. Yang ada hanya nyanyian kodok dan harapan hati semoga mentari cepat terbangun dari sembunyi dan bersinar lagi.
BalasHapusHahahaha...sip sip sip.... Ini kalimatmu yang perlu digarisbawahi: betapa susah mengumpulkan segenggam asa dari sebutir padi....
HapusBetul sekaliii, banyak orang tak peduli akan susahnya mengumpulkan harapan yang bermula dari sebutir padi. Kalu tahu, kalau peduli, pasti mereka akan selalu penuh syukur manakal menghadapi apa pun isi piring mereka...