YUP! Kali ini aku mau menulis tentang Kartini dan dangdutan. Lho, lho, lho. Kok dangdutan? Bukan emansipasi? Apa tidak salah ketik? Oh, tentu tidak. Memang dangdutan, kok. Lihat saja dua foto di bawah itu. Keduanya foto dangdutan 'kan?
Begini. Dalam postingan sebelumnya, kutulis tentang karnaval yang mendompleng peringatan Hari Kartini (jika Anda belum membacanya, silakan klik di sini ya ...). Dan, kalimat pamungkasnya berupa pengakuan bahwa hatiku terbelah. Yakni terbelah karena puncak acara karnaval adalah karaoke dangdutan.
Tapi Anda belum tahu mengenai penyebab keterbelahan hatiku itu 'kan? Nah! Melalui tulisan inilah diriku hendak memberitahukannya. Aih! Apa memang penting untuk diberitahukan? Hmm. Bagaimana, ya? Kalau aku sih, menganggapnya penting. Andaikata Anda tidak menganggapnya penting ya silakan saja. Diriku tak hendak memaksa Anda untuk mengikuti sudut pandangku. Aku tak memaksa, aku tak marah, dan aku tak meremehkan sudut pandang Anda.
Baiklah. Mari kembali ke soal Kartini dan dangdutan. Apakah hatiku terbelah sebab aku tak suka lagu dangdut? Atau, aku menganggap dangdut itu kampungan? Oh, no! Keduanya salah. Aku tidak pernah membenci dangdut. Sejauh lagunya bagus, liriknya oke, why not? Buktinya beberapa lagu Bung Rhoma Irama kufavoritkan. Untuk lirik-lirik yang muatannya bagus, mengapa mesti enggan untuk mengacungkan jempol?
Kalau begitu, apa penyebab keterbelahan hatiku? Sebab lagu-lagu yang dikaraokekan--sesudah acara karnaval di kampungku--semua liriknya buruk. Iya, buruk sekali. Tidak mengandung muatan edukasi dan nasihat apa pun. Justru sebaliknya, bikin gatal telingaku.
Mengapa bikin gatal telinga? Sebab isinya mengumbar hal-hal yang melecehkan kaum wanita. Sungguh gila, bukan? Sebuah acara yang diselenggarakan (konon) untuk memeriahkan Hari Kartini, tapi lagu-lagunya malah melecehkan kaum wanita. Semangat emansipasi yang diperjuangkan Kartini pun diinjak-injak tanpa ampun di situ. Mengerikan!
Sekali lagi, aku tidak alergi pada dangdutannya. Yang bikin aku alergi itu pilihan lagu-lagunya. Huft!
Mungkin Anda yang membaca tulisan ini akan berkata, "Mengapa kamu hanya menulis di blog? Mengapa tidak protes langsung kepada panitianya?"
Maka aku akan menjawab begini, "Maaf, aku juga panitia. Tapi aku kalah suara. Aku saja yang tidak setuju. Sekian belas panitia yang lainnya oke-oke saja. Bahkan, antusias untuk ikut tampil ...."
Maka aku putuskan untuk mengeluarkan unek-unek melalui blog ini. Supaya dapat menjadi bahan renungan lebih banyak orang. Selain itu kepada anakku, aku pun telah langsung memberikan penjelasan panjang lebar. Bla-bla-bla bahwa sesungguhnya karaokean dangdutan itu mengkhianati semangat emansipasi Kartini.
MORAL CERITA:
Meluruskan kesalahkaprahan masyarakat umum itu memang tak mudah.
Kukira, Kartini menangis keras sebab emansipasi wanita yang diperjuangkannya dimaknai melenceng #tepok jidat kuat-kuat |
Bolehlah busana tradisionalnya. Bolehlah bersukaria dangdutan. Tapi sebaiknya, foto Kartini itu dicopot saja ... |
Jadinya maknanya hilamg ya mba..
BalasHapusiya, mbak, maunya mengenang jasa Kartini tapi kenyataannya menggerus makna dari perjuangan Kartini
Hapus