SUATU pagi mendadak kuteringat pada seorang kawan lama. Maka segera kukirim sapaan via WA.
Hai? YTH Om X ... Apa kabar?
Pesan itu pun dibalas seperti ini:
Alhamdulillah, baik. Yang biasa saja. Jangan pakai yang terhormat..
Saya balas lagi:
Oke siap, bos. Kalau begitu saya ulang, ya. ‘Kan tidak boleh YTH. Saya ganti, deh. YTC Om X .... Apa kabar? Hehehe ....
(tentu
saja saya menuliskan semua pesan itu dengan riang gembira). Tanpa
pretensi apa pun kecuali mengajak bercengkerama seorang kawan lama yang
kini jadi PNS berpangkat tinggi. Sebab pangkat tingginya inilah, di awal
tadi ia saya sebut YTH..)
Tak diduga tak dinyana, inilah balasan pesan darinya:
Jangan
suka latah pakai yang terhormat, yang tercinta, yang ter-… yang ter-…
lainnya! Hanya Allah SWT yang berhak pakai yang ter-…. Hati-hati kamu!
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT . Tak ada yang lebih ter- daripada
Allah SWT.
DEG! Seketika saya merasa hati ini
terpatahkan. Mendadak saya merasa sedih, terluka, dan merasa jadi
makhluk-Nya yang tak tahu diri. Saya juga merasa sangat malu atas
tegurannya. Meskipun sebenarnya, saya pun merasa tak salah ucap/salah
ketik.
Sungguh, membaca pesan tegurannya itu saya tak tahu harus
membalas apa. Maka hingga hari ini, saya tak pernah lagi mengirim pesan
apa pun via BBM kepadanya. Saya trauma. Kalau tiba-tiba diksi yang saya
pilih dianggapnya melecehkan Allah lagi, bagaimana? Saya kan bisa malu
dua kali.
Sebab merasa semuanya baik-baik saja, hingga hari ini
kerap kali saya baca ulang rangkaian obrolan kami yang berujung
terlukanya hati saya. Sebagai editor bahasa, terkhusus bahasa Indonesia,
saya tak menemukan kerancuan makna di situ. Apalagi makna yang mengarah
bahwa saya menomorsekiankan-Nya.
Apa boleh buat? Saya menyapanya
YTH (yang terhormat) menirukan kata pembuka sebuah surat dinas resmi.
Tujuan saya untuk menggodanya sebab dia seorang kepala bagian di
kantornya.
Lalu saya sebut dia YTC (yang tercinta) sebab saya
mencintainya sebagai kawan baik. Ini pun dengan nada bercanda.
Tapi
ternyata, oh, rupanya. Demikian serius dia menanggapi candaan saya. Dia
koreksi candaan saya dari sudut pandang agama dengan cara yang naif.
Yang justru bikin saya merasa jadi seorang pendosa.
Astaghfirullah. Saya
yakin kalau Tuhan pasti paham dengan candaan saya. Lagi pula, ketika
mengucapkan YTH ataupun YTC pun saya tak punya pikiran sedikit pun untuk
menyekutukan-Nya. Terlalu deh, tuduhannya ke saya itu.
Tapi saya tahu bahwa banyak orang yang
sejenis dengan kawan lama saya itu. Duh! Bikin obrolan jadi tak asyik.
Mengeluarkan kesan bahwa ketakwaan kepada-Nya berakibat seseorang tak
lagi punya selera humor. Padahal, Tuhan itu tidak katrok. Saya yakin
itu. Yakiiin sekali.
*Tulisan ini awalnya ditayangkan di website milik indoblognet. Ditayangkan ulang di sini untuk keperluan arsip pribadi. Namun, ada sedikiiit revisi*
yang membaca ini juga ikut tertampar mbak, semoga. karena terbuai dengan pujian seperti yang mbak tulis :)
BalasHapusHahaha ... Makasih telah singgah dan berjejak di sini, ya. Asal tahu saja, gara-gara teguran teman yang satu itu daku batal ikutan reuni SMA ... Traumaku gedeee ternyataa 😀
Hapus