Kamis, 10 Agustus 2017

Menakar Cinta kepada Jogja

ALHAMDULILLAH, akhirnya aku--sekali lagi--bisa menyombongkan diri pada teman-temanku yang asli Jogja. Hihihi .... Bisa sombong, kok malah bangga. Parah, parah, parah. *sungguh, ini ajaran yang menyimpang, jangan memahaminya mentah-mentah*

Yoi. Maaf, maaf. Di atas sekadar kalimat pembuka yang sengaja dibikin mengguncang jiwa. Begitu saja. *sungguh, ku tak punya niatan untuk mengajak orang bertindak negatif*

Tapi ... ya memang faktanya aku menyombongkan diri pada teman-temanku yang wong Ngayogyakarto Hadiningrat tulen. Apa boleh buat? Haha! *tetap jail*

Hal ihwalnya begini. Aku bermaksud mencairkan voucher makan yang kudapat dari suatu acara . Yakni makan sate di kedai Sate Podomoro. 

Kalau ingin tahu lebih detil mengenai asal muasal si voucher ini, silakan baca Aku dan Buku Sejarah Lokomotif Uap. 

Nah. Sebelum mencairkannya, aku bermaksud melit alias kepo mengenai sate tersebut. Berhubung aku bukan asli Jogja, sementara sate tersebut diinformasikan sebagai sate legendaris (berdiri sejak 1959), maka aku ingin tahu pendapat teman-temanku yang wong Jogja tulen. Yeah, semacam testimoni ala-ala begitu.

Namun, fakta yang kudapat malah menggubrakkan duniaku. Betapa aku tidak tergubrak? Ndilalah semua teman yang kutanya menjawab kompak (meskipun kutanyai pada waktu dan tempat yang berlainan). Yakni kompak tidak tahu.

Mereka belum ada yang pernah mencicipinya. Sebagian bilang kalau sekadar tahu warungnya. Sebagian yang lain malah bilang kalau belum pernah mendengar tentang Sate Podomoro. 'Kan aku kageeet. Mereka yang kutanya tinggal di wilayah kodya Jogja sejak orok, sedangkan aku baru tinggal di Jogja (wilayah Sleman) sejak kuliah di Bulaksumur.

O la la! Aku telah salah terka. Kukira aku saja yang keterlaluan belum mencicipi kuliner-kuliner tenar di kota tempatku berdomisili. Ternyata teman-temanku yang wong Jogja asli itu malah lebih keterlaluan. Haha! 

Terusterang saja, saat kuliah aku kerap melewati warung Sate Podomoro yang berlokasi di Jalan Mataram. Tapi sebagai mahasiswa kos beruang saku pas-pasan, aku tak kuasa untuk mampir makan di situ. Takut mahal, dong. Cukuplah bahagia dengan membaui aroma bebakaran satenya. *duh, masa lalu yang memiriskan hati*

Alhasil, kejadian di atas menyadarkanku akan suatu hal. Hal apa? Yakni fakta bahwa tak semua orang Jogja mengenal kota mereka dengan baik. Jangankan mengenal Jogja secara umum. Sekadar mencicipi sate legendaris di Jogja saja belum sempat. Parahnya, malah ada yang mengaku belum pernah mendengar tentang Sate Podomoro. 

Dan sesungguhnya, amat banyak orang Jogja tulen yang belum berkesempatan untuk menjelajahi kota mereka sendiri. Penyebabnya? Tentu keadaan. Bukankah keadaan masing-masing individu tak sama? Sebagai contoh, kalau seseorang selalu sibuk berjibaku untuk mencari uang demi menafkahi keluarga (itu pun selalu tak terpenuhi), mana sempat berpikir untuk menjelajahi seantero Jogja?  

Mereka pun--kuduga--tak pernah menakar-nakar seberapa besar rasa cinta mereka kepada Jogja. Ketika tiba-tiba ditanya, "Apakah kamu mencintai Jogja? Kalau iya, seberapa besar?" Aku khawatir mereka tak segera menjawab. 

Kalaupun  cepat menjawab, "Cinta, dong." Belum tentu juga sanggup mendetilkan jawaban atas pertanyaan lanjutannya, "Seberapa besar rasa cinta itu?"

Apalagi jika kemudian pertanyaannya diperpanjang, "Apa yang kaulakukan untuk menunjukkan rasa cintamu itu kepada Jogja?"

Baiklah. Cinta memang sebuah rasa yang rumit. Tak bisa dilihat dan diraba. Hanya bisa dirasakan. Hanya dapat dihayati. Tapi masalahnya sedikit berbeda dong, jika cinta itu dikaitkan dengan Jogja. Bukankah dunia mencintai Jogja? Indonesia juga. Orang-orang di luar Jogja juga. Jadi, masak sih...  wong Jogja asli sampai abai terhadap kota mereka sendiri?

Lalu, bagaimana halnya denganku sendiri? Seberapa besarkah cintaku kepada Jogja? Yang kini telah menjadi alamat KTP-ku? Alhamdulillah cintaku masih 100% utuh. Meskipun salah seorang dari warga Jogja telah pernah bikin aku terluka .... *nyengir lebaaar*

Kalau aku tidak mencintai Jogja, aku pasti tak akan sudi narsis dengan latar belakang ikon-ikon Jogja seperti ini. Oke?


#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia


 

2 komentar:

  1. Wah inspiratif kak..
    Aku mencitai Bogor, tapi belum banyak hal yg kulakukan untuknya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh, Aisyah tinggal di Bogor? baiklah. Let's do something for our city ...

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!