KEMARIN di blog ini, aku
menulis Catatan Mengenai Profesi Guru. Sekarang--melalui
postingan--ini aku hendak mengaku. Mengaku tentang apa? Mengaku bahwa bapakku
adalah seorang guru. Hehehe ....
Itulah sebabnya aku lumayan
paham mengenai hal-ikhwal (profesi) guru. Terlebih beliau berasal dari keluarga
besar guru. Kakekku dulu guru. Dari tujuh bersaudara yang hidup sampai dewasa,
hanya seorang yang tak menjadi guru.
Lalu para ipar dan keponakan
bapakku, mayoritas juga guru. Sementara adikku--yakni anak tengah bapakku--dan
suaminya juga guru. Ditambah lagi, para keponakan bapakku juga banyak yang
berjodoh dengan guru. Alhasil boleh dibilang, kami adalah keluarga guru
sejati.
Kini bapakku tidak lagi aktif
mengajar secara formal. Namun, ada satu prinsipnya sebagai guru yang
sangat kuingat. Di banyak kesempatan, baik setelah pensiun maupun saat masih
aktif menjadi guru, beliau kerap mengatakan bahwa profesi guru itu setengahnya
merupakan pengabdian.
Entahlah. Beliau mengutip
pernyataan siapa atau dari mana. Ataukah itu merupakan kristalisasi pikiran
(pendapat) yang beliau yakini setelah puluhan tahun berprofesi sebagai guru? Aku kok malah lalai untuk menanyakannya hingga detik ini. Padahal, sebenarnya sangat ingin tahu.
Namun, aku paham sekali
dengan maksud beliau bahwa profesi guru itu setengahnya merupakan pengabdian.
Artinya, seseorang yang memilih
pekerjaan sebagai guru tidak boleh sedikit-sedikit mikirin duit sebagai
upahnya mengajar.
Dengan kata lain, tidak selayaknya betul-betul seratus persen
menggantungkan hidup “mewah” dari gaji menjadi guru. Kalau mau hidup mewah ya
jangan menjadi guru. Atau kalau tetap nekad menjadi guru, carilah penghasilan
sampingan yang bisa memadai upahnya/honornya.
Jika terpaksa mesti kerja
lembur, yakni mengajar melebihi jam yang seharusnya, tak patutlah serta-merta
meminta tambahan gaji/honor seperti halnya karyawan swasta dan buruh pabrik.
Tak mengapa sesekali lembur sedikit dan pulang telat demi memintarkan anak
didik. Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian mestinya guru tak boleh mengeluh.
Bukankah guru adalah sang
pengabdi?
Jangankan lembur sedikit. Bagi
seorang guru yang berjiwa penuh pengabdian, lembur banyak pun acap kali tak
diperhitungkannya sebagai lembur. Apalagi jika lemburnya adalah dalam rangka mengoptimalkan kepandaian para anak didiknya.
Semoga bapakku dan seluruh keluarga besarku tergolong sebagai guru yang ikhlas. Sebagai kaum pengabdi tanpa pamrih duniawi. Demikian pula halnya dengan seluruh guru di seantero muka bumi ini. Semoga.
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia
Zaman dulu, guru memang gitu, Mbak. Nek sak iki ? Mudah2an tetap seperti itu. Meskipun aku nggak setuju kalau ilmu seseorang itu nggak dihargai dengan layak.
BalasHapuskalau dari pihak guru mestinya selalu berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah pengabdian, nah yang wajib menghargai dengan setimpal jerih payah guru adalah kita (pihak yang selain guru)
HapusPodo Mbak..Toss! Bapakku guru, paklikku, bulikku, 4 mbakyuku..guru semua..Dan memang pengabdian mereka luar biasa. Aku aja nyesel nggak jadi guru kwkwkw:)
BalasHapusHidup guru!
lhooo, bahkan penyesalan kita pun sama ...aku yo skarang pingin dadi guru ...
HapusAku dan suami juga guru. Bahagianya jadi guru
BalasHapusIya, MBak... Betullll bangeettz
Hapus