Rabu, 23 Agustus 2017

Profesi yang Setengahnya adalah Pengabdian

KEMARIN di blog ini, aku menulis Catatan Mengenai Profesi Guru. Sekarang--melalui postingan--ini aku hendak mengaku. Mengaku tentang apa? Mengaku bahwa bapakku adalah seorang guru. Hehehe ....  

Itulah sebabnya aku lumayan paham mengenai hal-ikhwal (profesi) guru. Terlebih beliau berasal dari keluarga besar guru. Kakekku dulu guru. Dari tujuh bersaudara yang hidup sampai dewasa, hanya seorang yang tak menjadi guru.  

Lalu para ipar dan keponakan bapakku, mayoritas juga guru. Sementara adikku--yakni anak tengah bapakku--dan suaminya juga guru. Ditambah lagi, para keponakan bapakku juga banyak yang berjodoh dengan guru. Alhasil boleh dibilang, kami adalah keluarga guru sejati.   

Kini bapakku tidak lagi aktif mengajar secara formal.  Namun, ada satu prinsipnya sebagai guru yang sangat kuingat. Di banyak kesempatan, baik setelah pensiun maupun saat masih aktif menjadi guru, beliau kerap mengatakan bahwa profesi guru itu setengahnya merupakan pengabdian.  

Entahlah. Beliau mengutip pernyataan siapa atau dari mana. Ataukah itu merupakan kristalisasi pikiran (pendapat) yang beliau yakini setelah puluhan tahun berprofesi sebagai guru? Aku kok malah lalai untuk menanyakannya hingga detik ini. Padahal, sebenarnya sangat ingin tahu. 

Namun, aku paham sekali dengan maksud beliau bahwa profesi guru itu setengahnya merupakan pengabdian. Artinya,  seseorang yang memilih pekerjaan sebagai guru tidak boleh sedikit-sedikit mikirin duit sebagai upahnya mengajar. 

Dengan kata lain, tidak selayaknya betul-betul seratus persen menggantungkan hidup “mewah” dari gaji menjadi guru. Kalau mau hidup mewah ya jangan menjadi guru. Atau kalau tetap nekad menjadi guru, carilah penghasilan sampingan yang bisa memadai upahnya/honornya.  

Jika terpaksa mesti kerja lembur, yakni mengajar melebihi jam yang seharusnya, tak patutlah serta-merta meminta tambahan gaji/honor seperti halnya karyawan swasta dan buruh pabrik. Tak mengapa sesekali lembur sedikit dan pulang telat demi memintarkan anak didik. Menghadapi situasi dan kondisi yang demikian mestinya guru tak boleh mengeluh. Bukankah guru adalah sang pengabdi?       

Jangankan lembur sedikit. Bagi seorang guru yang berjiwa penuh pengabdian, lembur banyak pun acap kali tak diperhitungkannya sebagai lembur. Apalagi jika lemburnya adalah dalam rangka mengoptimalkan kepandaian para anak didiknya.

Semoga bapakku dan seluruh keluarga besarku tergolong sebagai guru yang ikhlas. Sebagai kaum pengabdi tanpa pamrih duniawi. Demikian pula halnya dengan seluruh guru di seantero muka bumi ini. Semoga. 

#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia




6 komentar:

  1. Zaman dulu, guru memang gitu, Mbak. Nek sak iki ? Mudah2an tetap seperti itu. Meskipun aku nggak setuju kalau ilmu seseorang itu nggak dihargai dengan layak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau dari pihak guru mestinya selalu berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah pengabdian, nah yang wajib menghargai dengan setimpal jerih payah guru adalah kita (pihak yang selain guru)

      Hapus
  2. Podo Mbak..Toss! Bapakku guru, paklikku, bulikku, 4 mbakyuku..guru semua..Dan memang pengabdian mereka luar biasa. Aku aja nyesel nggak jadi guru kwkwkw:)

    Hidup guru!

    BalasHapus
    Balasan
    1. lhooo, bahkan penyesalan kita pun sama ...aku yo skarang pingin dadi guru ...

      Hapus
  3. Aku dan suami juga guru. Bahagianya jadi guru

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!