Senin, 09 Oktober 2017

Tentang Jogja yang Makin Tua

PADA tanggal 7 Oktober 2017 usia Jogja mencapai tahun yang ke-261. Wow! Ternyata sudah lebih dari 2,5 abad. Tak terasa, ya? Tahu-tahu sudah makin berumur saja. Sama halnya denganku. Dengan Anda juga 'kan? Haha! 

Lalu, apa kabar Jogja yang makin berumur? Apakah makin renta sehingga perlu diremajakan? Apakah makin membahagiakan para warganya? Atau justru makin membuat para warganya gampang nyolot

Harapan semua kalangan masyarakat sih, Jogja makin membahagiakan. Makin nyaman untuk ditinggali. Makin kondusif untuk bekerja dan berkarya. Pokoknya makin asyik untuk melakukan apa saja.


Titik nol Jogja yang sedang tenang-tenangnya. Kiranya serupa inilah secuil gambaran kondisi Jogja yang dirasa asyik oleh warganya. *Mungkin* 


Lalu sejauh ini, sudahkah Jogja memenuhi harapan semua kalangan masyarakatnya? Hmm. Menurutku sih, belum. Duh! Maafkan kejujuranku ini, bapak-bapak pemimpin Jogja. Bukan maksudku sekadar mengajukan protes. Tapi entah mengapa kesimpulan seperti itulah yang hinggap di benakku.

Tidak. Kesimpulan tersebut bukan sebab aku membenci Jogja. Meskipun ada orang-orang Jogja yang pernah lancang melukai hatiku, Jogja tetap istimewa bagiku. Insya Allah demikian. Percayalah.

Sekali lagi aku tegaskan, aku hanya ingin berpendapat secara jujur. Toh faktanya, kondisi di titik nol lebih kerap tidak asyik. Penyebabnya yang terutama ya macet.  Selain itu, di trotoar yang mengarah ke barat masih saja beraroma samar-samar pesing.

Nah 'kan? Geser sedikit saja sudah tampak kekurangasyikan titik nol. Berdebu! Berantakan selalu sebab renovasinya tak rampung-rampung 

Hmmm. Tahukah Anda? Kejujuran pendapatku mungkin terasa menyakitkan. Namun, justru kejujuran yang (sedikit) pahit itulah yang menjadi tanda betapa aku mencintai Jogja. *GUBRAKS* Yup! Karena mencintai Jogja, aku sungguh ingin melihatnya jauh lebih baik.

Makin Genit Bersolek

Jogja memang makin tua. Tapi terbukti bahwa makin berumur, Jogja makin genit bersolek. Lagi-lagi ini sejauh pengamatanku lho, ya. Di sini dan di sana banyak perbaikan dan pembangunan.  Ya perbaikan jalan, ya pembangunan hotel. Apa pun, deh.

Penampakan trotoar depan Gedung Agung yang berdebu (sebab perbaikan yang tak kunjung kelar), pada suatu pagi, dua minggu setelah kedua foto sebelumnya dibuat.

Perhatikan sekitar bawah lampu. Setelah dua minggu memang makin rapi. Tapi tetap berdebu. Pembenahan belum usai, Jendral!

Selain perbaikan jalan, pembangunan hotel juga marak di Jogja. Bikin orang-orang seperti aku, yang rakyat jelata tulen, terpukau habis. Lha piye tho? 'Kan heran bin takjub melihat bangunan hotel yang mewah dan tinggi-tinggi itu? Mesti dicari solusinya nih, supaya kami tak terpukau habis.


Balada Titik Nol

Ada apa dengan titik nol? Ada perbaikan trotoar, dong. Tepatnya perbaikan yang mengabadi. "Kan sedari tadi foto-foto yang ada menunjukkan demikian? Haha! 

Entahlah. Entah sejak kapan titik nol mulai diperbaiki. Yang jelas saat melintasi kawasan ini menyebabkanku bertanya-tanya. "Ini kapan beresnya, ya? Sudah cakep, dibongkar lagi. Dipercantik lagi. Setelah cantik, dibenahi lagi supaya makin cakep. Hmmm. Dua minggu lalu belum ada onde-onde marmer itu ...."


Aksesoris terbaru di titik nol Jogja. Onde-onde keramik!

Baiklah. Sudah terlampau panjang aku menulis. Kiranya sudah tiba saatnya aku membubuhkan tanda titik terakhir. Insya Allah lain waktu, 'kan kubahas lagi tentang Jogja. Tentu dari sudut pandang yang lainnya. 

Apa boleh buat? Jogja itu kupikir memang ngangeni, kok. Serupa candu. Asyik tak asyik, tetap bikin ketagihan. 

Nah. Supaya percaya kalau Jogja memang seperti itu, silakan nikmati tulisanku yang ini Jogja Itu Candu yang Kontradiktif. 

MORAL CERITA:
Hati-hati dengan candu Jogja.


6 komentar:

  1. kota yogya, kota tua yang eksotis ya mbak. berbenah tanpa melupakan masa lalu. mbak lgi diyogya ya?:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoiii, aku kan emang berdomisili di Jogja😀😀

      Hapus
  2. Selamat ulang tahun kota jogja, semoga semakin tambah istimewa.

    Mudahan saya bisa ke jogja lihat langsung kehindahannya.

    BTW itu batunya emang namanya Onde-onde mamer iya mbak, kok jadi lucu namanya, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Septian, itu yg ngasih nama aku sendiri kok....hihihi....

      Hapus
  3. Justru karena cinta Jogja, jangan terlena. Tiap pembangunan pasti ada yg harus dikorbankan sesaat, antara lain kenyamanan warga. Tapi kalau pohon yg segede itu ditebang, namanya bukan sesaat tapi mbuh sampai kapan krn pohon nggak bisa ujug2 besar, kecuali di meikarta. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah, Mbak..... kita sebagai rakyat Jogja kerap kali dibikin gemeeess oleh kebijakan-kebijakan yang "ajaib"

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!