Satu-satunya penanda bahwa kawasan sini merupakan Pecinan |
11-2-2018 ....
AHAD pagi yang kelewat cerah. Sang surya sudah sangat garang meskipun jarum jam belum genap menunjukkan pukul 8. Sungguh. Hal demikian kurang kondusif untuk berkegiatan di luar ruangan. Kepala berpotensi pusing sebab kepanasan, ciiin.
Namun sebagai peserta Jelajah Kampung Ketandan, yang diselenggarakan oleh Komunitas Malamuseum, kami mesti tangguh. Baik tangguh lahir maupun batin. Yup! Kondisi cuaca tak sepatutnya kami jadikan sebagai penghambat untuk berkegiatan.
Jangan lupa. Kami ini 'kan peserta Jelajah Kampung Ketandan. Berarti (saat itu) sebutan kami adalah "penjelajah". Masak sih, kaum penjelajah lembek? Ya harus tangguh, dong.
Lokasi
Sesuai dengan nama acaranya, tentu saja yang kami jelajahi adalah Kampung Ketandan. Tepatnya Kampung Ketandan Yogyakarta; bukan Kampung Ketandan kota lain. Jangan sampai salah, ya. Sebab di kota lain, ada pula tempat yang bernama Kampung Ketandan.
Lalu, di manakah lokasi Kampung Ketandan Yogyakarta itu? Yang disebut Kampung Ketandan merupakan kawasan Pecinan, yang terletak di
seputaran Malioboro. Yakni meliputi daerah di sebelah
tenggara perempatan antara Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo, Jalan
Pajeksan, dan Jalan Suryatmajan.
Paling mudah untuk mencapainya ya melalui gapura megahnya itu. Itu lho, yang fotonya kupampang di awal postingan. Gapura tersebut gampang ditemukan, kok. Sebab berada di Jalan Malioboro, persis di sebelah kanan Ramayana (toko busana). Kalau Anda berjalan dari utara, dari arah Stasiun Tugu, gapura itu berada di sisi kiri Anda.
Ada Apa dengan Kampung Ketandan?
Sebenarnya ada apa dengan Kampung Ketandan? Mengapa perlu dijelajahi? Hmm. Pastilah ada sesuatu yang asyik bin seru di situ. Sebab kalau tidak, bagaimana mungkin Malamuseum sampai mengadakan #kelas heritage untuk menjelajahinya?
Yoiii. Kampung Ketandan memang istimewa. Seistimewa rasa rinduku kepadamu. Beneran. Kalau kurang percaya dengan pernyataanku itu, silakan amati dululah foto-foto berikut ini.
Pada jajaran biru itu aku menyimpan sebagian rinduku kepadamu |
Sementara sebagian yang lain, aku titipkan pada langit biru itu |
Begitulah kau dan aku. Eh? Begitulah adanya kondisi Kampung Ketandan. Di situ banyak terdapat bangunan dengan arsitektur Tionghoa. Yeah .... Meskipun di sana sini sudah mulai terlibas arsitektur kekinian, Alhamdulillah jejak arsitektur Tionghoanya masih bisa terasa.
Selain perihal arsitektur yang mulai terlibas kemoderenan, ada pula perubahan signifikan dalam hal fungsi bangunan. Begini. Dahulunya bangunan-bangunan di Kampung Ketandan berfungsi sebagai ruko; rumah-toko. Tapi kini fungsi "ru"-nya banyak yang hilang. Tinggal fungsi "ko"-nya. Jadi bangunan yang di situ hanya untuk berjualan. Sementara sang penjual banyak yang berumah di wilayah lain.
Mirip lampu jalan khas Jogja, tapi yang ini lebih terlihat jejak Tionghoanya |
Jika dibandingkan dengan kota lain, kawasan Pecinan Yogyakarta memang paling samar-samar eksistensinya. Idem ditto dengan eksistensimu di hidupku. *Halah* Untung saja masih ada bangunan-bangunan ngejreng seperti di bawah ini. Jadi, nuansa Tionghoanya masih bisa terasa.
Datanglah pagi-pagi sekali untuk bisa narsis di pintu ini. Sebab kalau waktunya tiba, sang pemilik akan membukanya. Itu 'kan sebenarnya warung .... |
Maaf, aku numpang narsis di sini |
Maksudku bukan mau narsis, melainkan ingin menunjukkan keunikan jajaran pintu kayu merah-kuning ini. Haha! |
Karena banyak bangunan menarik sekaligus penting dan bersejarah di Kampung Ketandan, pemkot Yogyakarta pun menetapkannya sebagai kawasan khusus. Dan kelak, kawasan Pecinan ini akan dikembangkan lebih lanjut. Semua bangunannya akan
dibuat berarsitektur Tionghoa. Adapun yang sudah berarsitektur Tionghoa tinggal diperbaiki dan pertahankan.
Angkringan di pojok jalan itu pun dibikin ngejreng |
Bangunan serupa inilah yang akan dipertahankan |
Orang-orang Cina yang tinggal di Kampung Ketandan mayoritas membuka
toko emas dan perhiasan. Hal ini sangat melegenda, lho. Anda mesti tahu, nih. Wong Ngayogyakarto itu kalau hendak membeli ataupun menjual emas serta-merta pasti menuju Kampung Ketandan. Sebab memang di situlah, terdapat deretan toko emas dan perhiasan.
Tentang Gapura
Mari sedikit bicara tentang gapura masuk Kampung Ketandan. Yang fotonya mengawali postingan ini. Gapura itu ternyata merupakan bangunan baru. Dibangun pada tahun 2012, untuk menyongsong penyelenggaraan PBTY (Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta) ke-8.
Gapura tersebut dibangun atas inisiatif sultan. Adapun pembiayaannya ditanggung dengan danais. Yakni dana keistimewaan Yogyakarta. Syukurlah ada inisiatif untuk membangun gapura. Sebab hingga kini, gapura itulah satu-satunya penanda bahwa kawasan situ merupakan kawasan Pecinan Yogyakarta.
Demikianlah sekelumit cerita mengenai Kampung Ketandan. Semoga ada manfaatnya bagi Anda sekalian. Terutama bila Anda ingin narsis di lokasi yang sama denganku. Narsis sembari belajar sejarah di situ tepatnya. Hehehe ....
Terimakasih ya, Malamuseum. Tanpamu aku kemungkinan belum ngeh mengenai masa lalu Kampung Ketandan ini. Daaan ... enggak bakalan punya pose-pose narsis di situ. Haha!
Terimakasih ya, Malamuseum. Tanpamu aku kemungkinan belum ngeh mengenai masa lalu Kampung Ketandan ini. Daaan ... enggak bakalan punya pose-pose narsis di situ. Haha!
MORAL CERITA:
Menjelajahi kota sendiri memang wajib diupayakan agar kita paham sejarah dari kota yang kita tinggali.
Setuju dengan moral ceritanya. Karena itulah, saya juga bertekad menjelajah Jakarta :)
BalasHapusPernah lihat penampakan gapura Kampung Ketandan, tapi baru ngeh ada apa di baliknya setelah baca artikel ini...#thanks:)
Oke, sama-sama ....
HapusTerima kasih buat sharingnya..nanti kl main ke Yogya semoga bisa berkunjung kesana :)
BalasHapusyooii Daissy, kutunggu yaa
Hapuswah... semoga rencana untuk menambah arsitektur tionghoanya segerta terwujud, biar makin khas dan asyik buat poto-poto hahayyy
BalasHapusyup, yup, aku juga menunggunyaa hahaha
HapusSeruju mba. Kota sendiri harus kita kenali ya. Aku sering banget kok, jalan-jalan dan mengenal wisata kota sendiri.
BalasHapusYoiii, Mbak. Kukira, memang bgitulah semestinya.
HapusHai, tunggu kisah kotaku ya ... entah kapan hihihi, nek sempet nulis
BalasHapusAku akan sabar menanti. Bahkan mungkin, hingga aku lupa pada penantianku itu....hihihihi....
HapusLangit birunya secarah banget beneran dikasih panasnya matahari ya, Mbak. Menjelajahi kampung pecinan selalu menarik ya. Salah satunya energi yang diberikan dari warna merah dan kuning. Cinta banget lah sama warna yang gonjreng, bikin semangat nyalaaa.
BalasHapusYuhuuuiiii, Mbak. Emang yang gonjreng selalu bikin semangat kita menyala-nyala maksimaaal. Piool pokoke ... :)
HapusJadi semacam heritage gitu ya kampung ini.
BalasHapusiya, betul bangeeettt
HapusWarna-warna bangunannya eye-catching banget ya, Mbak :)
BalasHapusIyaaa. Cetar-cetar
HapusDEkat rumah hihihii. Kalau pake motor suka nrabas2 sini.
BalasHapusIyakah? Di mana rumah, Mbak?
HapusSetuju bangunan gedung kuno seperti ini patut dilestarikan, jangan sampai dirubuhkan diganti dengan gedung bangunan baru.
BalasHapusSelain sarat sejarah juga bisa difungsikan sebagai destinasi wisata.
yoiiii Kak.... idealnya emang bgitu
HapusSekarang aku mulai rajin jalan2 dalam kota Mbak. Selain irit, yo ben kenal jakarta sak tenan tenane. hehehe. Dan ternyata buanyak yang bisa diexplore. Sebal aku dulu nggak rajin jalan2 ke kawasan wisata pas di Jogja. Hmm... nyesel
BalasHapusaku yo nyesel, pas kuliah biyen kurah akeh dolane...hahaha
HapusSaya suka dengan warna-warna yang berani di Ketandan.
BalasHapusYoiii, Pak. Berani dan pinya makna tertentu.
Hapusindah bangged yaaa
BalasHapusIyaa.... Instagramable hehehe...
HapusKampung-kampung traditional itu memang perlu dipertahankan, supaya generasi muda ikut merasakan suasana tempo dulu. Semoga rencana pemerintah tersebut bisa terlaksana.
BalasHapusIya. Semoga bukan rencana doang. Hehehe ...
Hapus