SELAMA April 2018, ada dua acara terkait Hari Kartini yang kudatangi. Keduanya berupa gelar wicara alias talk show. Tempatnya berlainan. Penyelenggaranya berbeda. Nuansanya pun jelas tak sama.
Yang satu diselenggarakan di sebuah museum. Yang nuansanya sudah pasti cenderung formal. Yang satunya berlangsung di sebuah resto pizza. Dan tentu saja, nuansanya lebih santai.
Akan tetapi, tema perbincangannya idem ditto. Serupa meskipun tak sama persis. Tak jauh-jauh dari isu perihal emansipasi wanita. Terkhusus dalam hubungannya dengan situasi zaman now.
Yup! Intinya, Kartini memungkinkan kaum wanita Indonesia berkarya sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Memungkinkan kaum wanita Indonesia lebih
leluasa untuk berkarya dan beraktivitas. Sesuai dengan minat dan
kapasitas masing-masing.
Lalu pengharapannya, wanita Indonesia modern mampu meneladani semangat ingin maju dari Kartini. Mesti berani mengejar
mimpi-mimpinya. Mesti bisa membaca peluang untuk meraih kesuksesannya. Boleh kekinian, tetapi tetap memegang teguh unggah-ungguh alias sopan santun.
Hmm. Sungguh keren dan idealis 'kan? Memang bagus, sih. Hanya saja aku merasa ada yang kurang. Iya. Menurutku, dari tahun ke tahun memang cenderung ada yang kurang. Yang terlupakan dari kenangan tentang seorang Kartini.
Kartini itu dikenal dunia 'kan sebab menulis. Karena surat-surat yang ditulisnya. Yang kemudian dikirimkannya kepada seorang sahabat Belandanya. Yang tinggal di negeri kincir angin.
Yang artinya, Kartini sesungguhnya sah bila dijadikan inspirator bagi wanita Indonesia dalam hal menulis. Menurutku sih, demikian. Entah kalau menurut Kang Armand Maulana. Entah pula kalau menurut kalian.
Namun yang jelas, Kartini sangaaat disayangi oleh Pramoedya Ananta Toer sebab ia menulis. Sekali lagi, sebab ia menulis. Maka wajar toh, bila aku merasakan ada yang kurang dari dua gelar wicara yang kuikuti?
Yeah, apa boleh buat? Apa mungkin karena para narasumbernya tak ada yang penulis? Sehingga kiprah Kartini dalam menulis justru tak dibahas sama sekali? Duuuh.
MORAL CERITA:
Karena menulis, jejak perjuangan Kartini terasa jelas gaungnya hingga kini. Jauh lebih jelas daripada pahlawan wanita Indonesia yang lainnya. Jadi, mengapa Kartini masa kini tak sekalian ikut menulis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!